Terra Luna Kripto Ambrol, Ini 5 Kesalahan Mendasar saat Kita Berinvestasi

Investasi tidak bisa main asal tubruk. Pahami hal mendasar dulu!

Beberapa waktu lalu saya dihubungi oleh salah seorang jurnalis senior di sebuah media besar. Jurnalis senior ini kebetulan teman saya dulu saat saya masih sering meliput berita di lapangan. Teman saya ini meminta komentar saya untuk artikel yang tengah ia tulis. Komentar tentang apa? Itu, lho, tentang fenomena demam cryptocurrency dan kejatuhan salah satu aset digital Terra Luna yang sangat dramatis dan telah menjebak banyak investornya dalam kerugian luar biasa besar. Sedikit kilas balik, mengutip pemberitaan Katadata, pada perdagangan Jumat 13 Mei 2022, koin dengan kode perdagangan LUNA tersebut anjlok hingga 99,98% ke harga Rp0,5 per koin alias nilainya kurang dari satu rupiah! Padahal LUNA nilainya pernah menembus angka tertinggi US$119,55 per keping pada April lalu. Nilai itu setara Rp1,73 juta. Gejolak pasar membanting harganya hingga tak berharga lagi.

Saya tidak hendak menulis teknis tentang mengapa harga Terra Luna ambrol seperti itu. Yang menarik perhatian saya masih tentang fenomena FOMO dalam “investasi” kripto. Mengapa kata investasi saya beri tanda kutip? Personally, saya belum melihat nilai investasi dari koin kripto. Ya, saya masih cenderung konvensional dan konservatif dalam hal ini. Kripto di mata saya masih murni instrumen spekulasi saja. Dasar pergerakan harganya belum jelas dan terlalu liar. Makanya cocok buat spekulasi aja, bukan investasi.

Anyway,

Cerita kejatuhan instrumen “investasi-investasi” yang tengah hype dan booming, juga mengingatkan lagi pada kita tentang hal-hal dasar yang perlu kita pahami lebih dulu sebelum mulai berinvestasi. Ini yang sepertinya masih sering kita lupakan terlebih saat mata sudah dibutakan oleh rasa greedy alias kerakusan meraup untung sebanyak-banyaknya. Padahal, anak kemarin sore juga udah tahu, kan, kalau hukum investasi itu gak pernah boong: high risk, high return and vice versa.

Nah, karena prinsip mendasar itu gak boong, dalam memutuskan penempatan dana di sebuah instrumen, kita tidak bisa main asal tubruk atau latah semata. Ada banyak prasyarat penting yang perlu kita pahami dan jalankan saat hendak menginvestasikan dana di sebuah instrumen, apapun itu jenisnya. Mulai dari pemahaman komprehensif tentang instrumen yang menjadi kendaraan investasi tersebut hingga status dana yang kita tanamkan.. apakah dana “dingin” atau dana yang akan kita gunakan dalam waktu dekat, dan lain sebagainya.

Setidaknya ada 5 kesalahan mendasar yang sering terjadi ketika kita berinvestasi yang itu berujung pada kerugian. Ini yang saya catat:

1. Keuangan masih pincang

Basic cashflow aja masih empot-empotan, udah nubrukin duit ke saham, kripto dan kawan-kawan, yakin???! Sebelum jauh-jauh menempatkan dana untuk diinvestasikan di pasar keuangan, pastikan dulu keuangan kita sudah sehat dan aman. Apa, sih, kategori keuangan sehat itu? Yang pasti, tidak lebih besar pasak daripada tiang, ya. Pendapatan yang kita miliki mampu membantu kita menutup kebutuhan dasar dan wajib. Kan, gak lucu juga kalau naruh duit di aset investasi tapi uang sekolah bulanan anak aja gak aman? Jadi, sebelum memutuskan berinvestasi, cek dulu sudah sehat belum keuangan kita. Sudah punya dana darurat atau tabungan untuk menutup kebutuhan mendadak? Asuransi dasar sudah aman? Beban cicilan aman? Persiapan dana sekolah anak udah jalan? Bila kesemua itu masih belum aman, ya amanin dulu, baru mikir untuk investasi.

Baca juga: Kapan Waktu yang Tepat untuk Berinvestasi?

2. Investasi memakai “uang panas”

Uang panas di sini maksudnya bukan uang hasil korupsi atau maksiat, lho, ya, wkkk. Uang panas maksudnya uang yang sebenarnya kita butuhkan untuk menutup kebutuhan dasar dan wajib, termasuk juga uang yang akan kita gunakan dalam waktu dekat. Atau dalam definisi lebih tegas, uang panas adalah uang yang ketika itu hilang, bikin kita ga bisa tidur, patah hati dan depresi, kelangsungan hidup kita terganggu. Cerita Terra Luna tempo hari ada yang kehilangan uang banyak sekali yang ternyata uang itu sebenarnya adalah dana persiapan pernikahan. Salah sejak awal. Lha wong investasi, kok, pakai uang yang bakal dipakai. Apalagi ini naruh duit di instrumen yang spekulatif seperti itu… bener-bener salah kalau memakai uang yang hendak kita gunakan untuk kebutuhan lain. Apalagi kalau sampai memakai dana pinjaman untuk membiayai investasi. Duh, salahnya dobel-dobel itu, sih. Itu tandanya kita ga mikir saat investasi, sudah gelap mata, spekulatif dan ga beda ama judi.

Baca juga: Dana Darurat, Asuransi atau Investasi: Mana yang Lebih Penting?

Jadi, prinsip dasarnya ini harus inget: Hanya gunakan uang dingin, bahkan uang freezer bila memang mau berinvestasi. Apa itu uang dingin, uang freezer? Ini sebutan aja untuk uang yang bila kita investasikan, lalu terjadi fluktuasi penurunan harga nan tajam yang berujung pada kerugian, hidup kamu masih akan baik-baik saja. Nyesek dan sedih karena nilai aset turun atau hilang, itu sangat wajar, tapi ga sampai bikin kamu depresi apalagi kepikir bunuh diri. Nah, punya gak uang dingin kayak gitu? Kalau belum punya, udeh ga usah investasi-investasian segala, hehe. Nabung aja yang konservatif dan risikonya rendah.

3. Investasi tanpa tujuan

Influencer A pamer isi portofolionya yang ijo royo-royo karena investasi di A, B, C dan seterusnya. Gaya hidupnya instagrammable bisa dibiayai dari hasil investasinya yang wow itu. Kaum FOMO adalah target empuk aksi flexing akun-akun media sosial seperti ini. Gak heran banyak yang akhirnya latah ikutan. Ikutan doang dengan pemahaman yang masih minim, ibarat naik mobil tanpa tahu itu mobil kualitas remnya paten enggak, kapan terakhir diservis dan itu mobil hendak menuju kemana… asal naik doang. Serem, hehehe.

Baca juga: Risiko Inflasi Tinggi Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi, Ini yang Perlu Kita Antisipasi

Sebelum memutuskan berinvestasi di sebuah instrumen, kita wajib menentukan tujuan kita apa naruh uang di sana. Tujuan keuangan, maksudnya. Tujuan keuangan perlu memuat: target besar dana yang ingin dikumpulkan, target waktu pemakaian dana, asumsi return yang digunakan, exit strategy bila asumsi hitungan tidak berjalan sesuai hitungan awal. Tanpa menentukan itu di awal, investasi yang kita lakukan akan sulit kita ukur, sejauh mana efektif membantu kita membantu mewujudkan apa yang kita cita-citakan.

4. Tidak tahu profil risiko

Setiap orang punya preferensi risiko masing-masing yang itu dipengaruhi oleh kepribadian, latar belakang dan bahkan tujuan yang ingin diwujudkan. Seperti kita tahu, setiap investasi selalu mengandung risiko. Supaya investasi kita tidak berubah menjadi aksi spekulasi alias judi, kita wajib mengetahui apa profil risiko kita sebagai investor? Apakah kita tipikal konservatif, moderat atau agresif? Mengetahui profil risiko ini penting supaya kita tahu kapasitas kita, batas diri kita dalam keputusan-keputusan investasi tersebut.

Ada orang yang lebih nyaman menabungkan pendapatan mereka di emas, atau cari-cari tanah di pinggiran daerah asal sana untuk tabungan sekolah anak atau persiapan pensiun kelak. Ada juga yang memilih nabung konvensional di tabungan rencana bank atau menempatkannya di deposito bila sudah mencapai jumlah tertentu… tak peduli seberapa sering para pakar berceloteh tentang pentingnya melawan inflasi sehingga penting untuk naruh uang di instrumen dengan return di atas inflasi… simply karena mereka ini tidak nyaman bila menghadapi risiko rugi jadi gakpapa naruh uang di instrumen dengan return rendah. It’s ok, tho. Ada juga yang ga puas bila hanya di reksa dana saham dan siap menghadapi fluktuasi harga saham selama itu terukur dan terkelola karena saham berpeluang memberi return lebih oke.. itu pun sah-sah saja. Ada juga yang berani ambil risiko tinggi dan siap untuk merugi besar, itupun terserah. Yang penting, kita tahu diri kita di mana dan mendasarkan keputusan dari pengenalan diri itu.

Baca juga: Menabung Emas untuk Dana Pendidikan Anak, Mulai Dari Mana?

Preferensi dan profil risiko setiap orang bisa berbeda. Saya tipe yang konservatif, bila mengacu pada hasil kuesioner KYC yang harus kita isi setiap hendak berinvestasi itu… Namun, konservatif saya. masih bisa bernegosiasi di wilayah moderat bila itu menyangkut tujuan-tujuan keuangan yang masih jangka panjang. Ini mengapa saya ga pernah tertarik ke aset kripto bahkan P2P Lending sekalipun, hehehehe.

“If it costs you your peace, then it’s too expensive”

Itu bener banget. Ngapain ngotot berburu cuan besar bila tidur jadi ga nyenyak, wkkk. Bila kamu punya prinsip lain, ya itu gakpapa juga, toh yang bisa mengukur batas “ketenangan”, ya, kita sendiri, kan?

5. Salah memilih instrumen investasi

Ini masih berhubungan dengan poin ke-3. Ketidakjelasan tujuan keuangan menyulitkan kita menentukan time horizon atau target waktu pemakaian dana yang kita investasikan itu. Contoh gampangnya gini, kita berniat investasi di emas untuk kebutuhan uang pangkal sekolah anak tahun depan. Apakah ini tepat? Emas, bila menilik catatan kinerjanya, masih kurang oke pergerakan harganya dalam jangka pendek apalagi cuma setahun. Bila target waktu pemakaian dana sudah tahun depan, 12 bulan lagi, ya, jangan diinvestasikan, bahkan bila itu di emas yang katanya tahan inflasi. Terlalu berisiko bila menempatkan dana yang kita butuhkan dalam jangka pendek di instrumen yang memiliki potensi penurunan harga. Nabung aja biasa di rekening atau di celengan ayam, kalau memang duitnya udah mau dipake bentar lagi.

Sebaliknya, ketika target pemakaian dana masih 6 tahun lagi, boleh-boleh saja memilih emas atau reksadana saham sebagai kendaraan investasi. Dalam memilih instrumen investasi, kita perlu menimbang beberapa hal: target waktu pemakaian dana, profil risiko kita sebagai investor, kinerja historis instrumen investasi yang hendak kita pilih, potensi return di masa depan. Jadi, ndak bisa ngasaalll, hehehehe.

Lima hal itu mungkin tidak bisa 100% menghindarkan kita dari risiko kerugian investasi. Namun, setidaknya itu bisa meminimalisasi kita dari ketololan berinvestasi, hahahah. Lebih dari itu, satu hal penting yang sering juga kita lupakan perihal finansial adalah ketika kita justru pelit berinvestasi pada diri sendiri: malas baca, malas nanya, malas ngitung, malas-malas lain yang sebenarnya hanya merugikan kita sendiri. Kini udah banyak kelas finansial murah, udah banyak aplikasi keuangan yang dengan baik hatinya membantu kita mengelola keuangan agar lebih sehat, udah banyak blog finansial yang gratis dibaca kapan aja (ehem, ehehehe). Di instagram @mayruisa dan facebook saya juga masih rajin membagi konten finansial. Kalau mau lebih privat dan berkonsultasi hal detil, kamu bisa klik banner di bawah ini

*credit photo by Olya Kobruseva: https://www.pexels.com/photo/gold-round-coins-on-white-surface-8919543/

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi