Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Lama sekali tidak menulis lagi di laman ini. Ada banyak hal terjadi dan berubah yang membuat waktu saya kini menjadi semakin sempit karena peran yang kian banyak dan menuntut dipenuhi. Alhamdulillah. Praise to Allah. Memasuki 2023 dengan semangat dan optimisme yang lebih cerah.

Catatan ini saya tulis pada akhir pekan yang spesial. Bulan Ramadan. Di pengujung Maret yang cuacanya masih labil. Terkadang sangat panas dan terik juga lembab. Kadangkala kering dan sejak kemarin sore, mendung disertai hujan dengan angin yang begitu dingin.

Malam pertama Ramadan kemarin, alhamdulillah saya bisa berkumpul dengan keluarga: kakak dan adik saya yang tinggal di selatan. Sholat tarawih berjamaah dan berkumpul bercerita tentang masa-masa awal merantau di ibukota. Mengingat cerita-cerita itu, saya jadi ingin menuliskannya di sini karena sepertinya belum pernah saya abadikan dalam tulisan, haha… yah, tentang kehidupan awal saya di kota besar ini. Biar jadi cerita juga untuk anak-anak kelak.

Bahwa saya hari ini adalah hasil dari ribuan bahkan mungkin jutaan langkah yang sudah terjalani sejak hari pertama hijrah ke kota yang sungguh besar ini. Ibukota Indonesia dengan jumlah penduduk 10,64 juta jiwa (BPS, 2022). Bila siang hari, mungkin jumlah orangnya bertambah lebih dari 1 juta. Pekerja yang berumah di daerah penyangga (Bodetabek) dan memakai KRL sebagai transportasi utama saja mencapai 1,2 juta orang per hari. Belum yang memakai sepeda motor, mobil pribadi, transportasi publik lain. This is a super huge city. Lebih besar daripada jumlah penduduk Norwegia atau Uni Emirat Arab.

Juni 2007

Saya lupa persis hari saya datang kesini itu tanggal berapa. Yang pasti, sekitar Juni atau Juli. Ini berdasarkan Surat Keterangan Lulus (SKL) yang saya gunakan untuk melamar kerja di salah satu media ekonomi di Jakarta. Saya ke kota ini naik kereta api, entah Gumarang atau Bima, lupa, wkkk. Yang pasti sesampai di stasiun, saya dijemput kakak lelaki saya pagi itu. Lalu diajak sarapan di warung dekat TMP Kalibata situ. Lalu, saya diajak ke kos kakak saya -masih ngekos saat itu- di Kalibata.

Sampai di kos, yang cukup mewah walau kamar mandinya bukan di dalam kamar, saya disuruh istirahat dulu -mandi lalu membayar tidur yang kurang nyenyak di kereta. Setelah itu kakak saya yang waktu itu tengah merintis bisnis penerbitan pasca resign sebagai jurnalis di majalah mingguan besar, menyuruh saya bersiap-siap untuk diajak ke sebuah kantor. Saya, kurus sekali kala itu, haha. Super lugu, penuh kebingungan, pertanyaan, tapi masih terpendam dan serba grambyang. Diajaklah saya mendatangi sebuah rumah di bilangan Pengadegan, masih di selatan Jakarta.

Di sana saya diperkenalkan dengan beberapa orang. Oh, rupanya saya di”suruh” ngenger dulu di situ sebagai reporter di Majalah Pendidikan. Berkenalan dengan anak seusia namanya Fathoni, sama-sama reporter. Sebuah kantor penerbitan milik Pak Iwan, mantan Pemred Gatra. Di sana saya bertemu Pak Ipul, Pak DH (eks jurnalis majalah mingguan terkenal), Mba Arin (sekarang tinggal di Belanda) dan Mas Robi (kini ngetop jadi analis terorisme).

Ada alasan mengapa kakak saya “melempar” saya kesini, wkk. Saya punya pengalaman di pers kampus dengan jabatan tertinggi sebagai Pemred LPPM Sintesa di Fisipol UGM, Jogja. Ya udah, saya mingle aja dan langsung dikasi penugasan. Inget banget, liputan dan tulisan pertama saya adalah tentang Lomojari di Kemendikbud, ha ha ha. Meski belum pernah jadi jurnalis profesional sama sekali sebelumnya, baru sebatas jurnalis pers kampus, saya sudah terbiasa liputan dan mewawancara orang ketika terlibat dalam berbagai riset di kampus, mulai riset terkait pemilihan presiden pertama kali dalam sejarah, wawancara untuk riset project Bank Dunia, dan lain sebagainya.

Di Kemendikbud itu, saya meliput pameran hasil karya siswa, mewawancara peserta pameran juga guru-guru yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Di sana juga saya pertama kali melihat bagaimana para jurnalis media-media besar bekerja, beramai-ramai mengejar Mendikbud kala itu, Pak Bambang Subianto. Batin saya kala itu, “Penting banget ya, orang itu sampai dikejar kayak begitu…” tanpa sadar bahwa suatu hari kelak saya bertindak yang sama sebagai jurnalis, wkwk.

Selain menjadi reporter, saya juga kadang diminta kakak saya menyumbang tulisan resensi buku, lupa untuk media mana.

Pertama kali liputan ketika itu saya diantar kakak ke Kemendikbud dan saya seperti banyak orang daerah pada umumnya yang pertama datang ke kota megapolitan ini, sibuk mendongak ke atas melihat skyscrapper itu, hahahaha. Norak yo ben, wkkkk. Dari balik punggung kakak saya, di atas sepeda motor, saya terpana. “Tinggi ya?” ledek kakak saya seolah membaca kenorakan saya di balik punggungnya, wkwk.

Hari-hari awal di Jakarta, saya menjalankan rutinitas sebagai reporter media internal di kantor Pengadegan sembari menunggu panggilan dari media ekonomi Kontan, yang saat itu baru melahirkan lini Harian Kontan (awalnya adalah Tabloid, masih ada sampai sekarang). Saban hari saya pergi ke Pengadegan naik angkot. Jalan kaki dari kos ke depan jalan raya Pasar Minggu itu, naik Kopaja atau angkot saya agak-agak lupa.

Menjalani hari penuh kebingungan dengan arah hidup dan serba tidak yakin benarkah ini jalanku, benarkah ini mauku, apa yang aku cari, apa yang aku inginkan…

Urusan Jogja tinggal menunggu jadwal wisuda. Hari-hari sendu penuh galau kala itu memberi nuansa yang membuat kehidupan awal di kota ini menjadi begitu membekas ingat.

Kebayoran Lama 1119

Suatu hari kakak saya mengabari bila saya dipanggil wawancara di Kontan. Hmm, ini akan jadi pengalaman pertama wawancara kerja. Sejak di kampus saya sebenarnya sudah beberapa kali bekerja, cari duit sendiri kecil-kecilan, tapi tanpa wawancara tetek bengek karena bekerja di kampus ketika itu saya mengandalkan networking jadi tidak pernah melewati fase formal seperti wawancara kerja dan semacamnya, apakah itu saat menjadi asisten dosen, membantu riset NGO, membantu riset Pusat Studi dan semacam itu.

Kakak saya hari itu mengantarkan saya ke sebuah kantor yang lebih terlihat seperti bangunan rumah di bilangan Kebayoran Lama 1119. “Jauh sekali ya…” batin saya. Bersepeda motor dari Kalibata-Palmerah, tentu saja jauh. Pegel pantat, wkwk.

Sebelum hari itu, saya belum pernah mendengar dan membaca yang namanya KONTAN, apakah itu Tabloid ataupun Hariannya. Kakak saya yang selalu bisa diandalkan dan perhatian, membelikan saya koran dan tabloid Kontan untuk saya baca, malam hari sebelum jadwal wawancara itu. Koran ekonomi, hmm, tema yang tidak pernah menarik minat saya selama saya di pers kampus. Sesampai di sana, saya bertemu dua orang lelaki yang juga hendak diwawancara, tapi sepertinya mereka jauh lebih senior -sudah menjadi jurnalis di media lain. Sandy Baskoro salah satunya.

Saya diminta mengisi formulir biodata termasuk ekspektasi gaji. Saya tidak tahu harus mengisi berapa. Iya, sebuta itu, wkk. Saya telpon kakak saya dan dia menyarankan saya mengisi Rp 4,5 juta (ekspektasi gaji yang sempat diketawain oleh Pak Direktur perusahaan karena dinilai halu hahahah, ketinggian cuy… dan diceletukin sama redaktur saat itu: “Ah pasti udah dimark-up itu angkanya” tanpa saya paham maksudnya markup apaan, ha ha.. Ya, meski akhirnya dapetnya ga terlalu jauh juga sih dari situ, mayanlah untuk fresh graduate daripada manyun, wkwk).

Acara interview molor dari jam yang dijadwalkan. Saya diminta datang jam 10 pagi tapi sampai jam 12 siang belum ada tanda-tanda pewawancara datang. Kata resepsionis, si pewawancara terjebak banjir. Hmm. Memang waktu itu hujan deras, sih. Sampai akhirnya orangnya datang, dan saya mendapat giliran wawancara pertama.

Saya tidak punya pilihan selain berusaha percaya diri dan mengusahakan yang terbaik. Saya anak daerah, polos dan lugu walau datang dari universitas terkenal -nomor satu di Indonesia sampai detik ini, ehem, wkwkwk, walau selama di kampus cukup aktif sebagai aktivis persma; tapi tanpa pengalaman kerja di media besar sebelumnya. Saya tidak yakin bakal lolos. But I’ve got nothing to lose. Selesai wawancara, saya dijemput mbak Elmy, jurnalis Gatra -teman kakak saya yang kebetulan kosnya di Kalibata juga. Bersepeda motor saya diajaknya pergi ke pasar Tanah Abang.

Setelah dari Tenabang, kami meluncur ke Siaga Raya, Pejaten, kantor kakak saya waktu itu. Di sana saya mendapat telpon dari si pewawancara tadi dan mengabari bila saya diterima masuk kerja di Kontan dan saya diminta datang keesokan hari. Alih-alih senang, saya malah kaget dan bingung. Lha, kok gampang banget, batin saya waktu itu. Apakah di sesi wawancara saya tadi begitu mengesankan? Wkakkak. Embuh. 

Ketika itu pertengahan tahun 2007, Harian Kontan yang baru lahir Februari di tahun yang sama memang sedang butuh banyak tenaga jurnalis. Saya disuruh langsung masuk dan melanjutkan tes rekrutmen lain seperti psikotes dengan bagian HRD, juga tes kesehatan sambil jalan, di sela-sela liputan. 

Tapi saya masih ragu kala itu, mosok iya, sih, langsung masuk begitu saja? Tidak ada surat apa gitu yang resmi. Jadilah saya tidak langsung masuk ke kantor untuk bekerja. Mau bertanya untuk memperjelas juga sungkan, tidak tahu juga harus bertanya kemana.

Di Kalibata, tempat saya menumpang kamar kos kakak lelaki, saya nganggur-nganggur saja, tidak lagi pergi ke Pengadegan karena bingung itu tadi, wkkw. Kakak saya sempat bertanya-tanya ada kabar apa dari wawancara kemarin. Saya bilang, tidak ada, tidak tahu, bingung. Sekitar dua hari kemudian, telepon saya berbunyi :“Ruis, kamu sebenarnya mau kerja enggak di Kontan?” tanya si bapak pewawancara tanpa basa basi. 

“Ya, mau. Emang beneran udah diterima?” tanya saya ragu. 

“Kamu sudah diterima. Kesini, ya, jam 10. Nanti kamu cari yang namanya Syamsul atau Wawan,” terang beliau. Ternyata saya diterima, belum menanda tangani dokumen apapun, sebagai cub reporter atau calon reporter. Strata terendah di dunia media.

Keesokan hari, saya datang ke kantor itu dan bertemu dengan dua orang tersebut, Syamsul Azhar dan SS Kurniawan, keduanya redaktur Harian Kontan. Lalu dikenalkan dengan beberapa awak media ekonomi itu. Termasuk dengan sang komandan, SBY alias Si Bos Yopie (Yopie Hidayat).

Kerjaan pertama, menyadur berita dari Bloomberg dalam bahasa Inggris yang diberikan oleh mas Syamsul. Soal obligasi negara, kalau enggak salah. Saya tidak paham sekali, haha. “Makhluk apa itu obligasi?” Penuh keringat dingin dan perut mulas saya coba memahami. Satu berita saja lama sekali itu saya tulis. Seharian kayaknya, hahaha. Tulisan itu untuk mengisi halaman 2, makroekonomi. Berita kecil saja. Tapi itu milestone pertama saya sebagai jurnalis ibukota.

Selama masa magang, 4 bulan awal saya ditempatkan di desk Nasional. Liputan awal di DPR, lalu bergeser ke Kementerian sepanjang Kuningan-Gatsu (kecuali KPK), hingga Setneg. Lalu, 4 bulan berikutnya di desk Energi. Keduanya di Harian Kontan. Hanya saat 4 bulan terakhir magang, saya lantas dipindah ke desk Investasi di Tabloid Kontan.

And the rest is history….

Kerasnya Jakarta…

Jakarta itu keras, kata orang. Banyak teman-teman saya di Jogja, terutama teman-teman di pers kampus, begitu anti bekerja ke Jakarta. Menurut mereka, Jakarta itu tidak manusiawi dan rentan membuat kita menjadi zombie. Mungkin mereka benar. Tapi, saya waktu itu tidak cukup peduli. Saya dipaksa keadaan untuk hanya fokus pada satu hal: melangkah maju, lakukan yang terbaik sebisanya, sampai mentok.

Hari-hari awal saya menjadi jurnalis adalah sebenar-benarnya perjuangan bagi saya.

Empat bulan pertama magang adalah perjuangan sangat berat. Beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis yang memang berat. Dealing with Jakarta’s traffic yang sangat mengerikan. Bersamaan dengan itu, saya juga menghadapi masalah pribadi: Hubungan jarak jauh dengan Borneo -seseorang yang tengah dekat saat itu, sesama alumni UGM yang bekerja di Kalimantan- tengah di ujung tanduk karena bentrok visi tentang keputusan saya ke Jakarta menjadi jurnalis. Hubungan yang akhirnya saya akhiri.

Namun, kinerja saya tidak malu-maluin. Saya sering mencetak berita utama alias headline, walau itu juga berkat bantuan banyak orang dan faktor keberuntungan. Berat badan saya susut 5 kilogram pada 6 bulan pertama di kota ini.

Ada beberapa momen yang melekat di masa-masa awal itu. Salah satunya adalah ketika saya ingin menyerah dan minta pulang pada kakak saya. Ketika itu bulan Ramadan. Saya tidak tahu hendak meliput apa. Hanya ada undangan acara di daerah Diponegoro. Saking sepinya berita dan acara, saya pergi kesana, siapa tahu ada beritanya. Jakarta kala itu belum mengenal ojek online. Kemana-mana saya naik bis. Sesampai di sana, ternyata acaranya diskusi tentang pertambangan. Tidak ada yang bisa dibikin berita karena isinya talking news saja, tentu redaktur tidak menerima berita isinya cuma statemen tanpa data baru atau informasi baru. Maghrib datang dan saya berbuka puasa, ngobrol basa basi dengan orang di sana, tapi dalam hati meringis merenungi nasib.

Di atas bis dalam perjalanan ke kantor (usai liputan selalu harus balik ke kantor untuk mengetik berita, belum musim bawa laptop sendiri boro-boro work from anywhere, hehe) usai acara lepas maghrib itu saya mengirim pesan ke kakak saya. Saya bilang, saya ingin pulang saja ke Gresik, saya capek.

Kakak saya membalas, “Ada apa? Kenapa? Coba dulu ya seminggu lagi…”, membaca balasan itu saya malah menangis. Bukan saya marah pada kakak saya atau merasa dipaksa olehnya, sama sekali tidak. Kakak saya justru berperan utama dalam fase hidup saya saat itu. Bahkan tiap pulang kantor bila masih sempat ketemu di kos, kakak saya kadang mijitin tangan saya sambil nanya, bikin berita apa hari ini? Ketemu siapa saja? dsb.

Saya menangis karena saya sendiri bingung mau saya apa saya ini. Hubungan yang di ujung tanduk dan hati yang masih tidak yakin dengan pilihan ini: menjadi jurnalis dan tinggal di kota segila Jakarta, am I sure? Apakah ini benar-benar yang saya mau? Menjalankan hidup 12 jam lebih di luar rumah, melepas hubungan lalu menjadi jomblo di tengah kota sedingin Jakarta, bekerja dengan jam kerja yang gila… Apakah saya yakin?

Dikepung copet di atas bis…

Lalu, ada episode lain saat saya sudah di desk energi dan harus meliput Rapat Dengar Pendapat di DPR yang dihadiri oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro kala itu. Saya naik bis 46 yang besar banget itu dari Kalibata. Penuh sekali pagi itu. Saya berdiri di dekat sopir. Saya susah payah mengeluarkan uang ongkos dan bodohnya tidak ada uang pas, saya beri 20ribu. Bodohnya lagi saya mengeluarkan hp waktu itu, Nokia Communicator. Hp bergengsi kala itu dan jadi hp andalan para wartawan.

Ketika semakin dekat dengan gedung DPR, uang kembalian saya belum dikasi. Terpaksalah saya berjalan ke ujung bis belakang mencari si kenek bis. Tak dinyana di belakang itu ternyata banyak copet. Mereka seperti sudah mengincar saya yang terlihat memegang Communicator. Saya kira si kenek bis komplotan juga. Ketika menunggu si kenek memberi kembalian, tiba-tiba ada yang melempar handuk ke muka saya. Handuk warna pink. Reflek saya tepis dan saat tangan kanan saya menepis, seseorang di dekat saya mengambil Communicator di kantong celana. Hp itu berpindah tangan.

Saya berteriak: “HP saya itu! Kembalikan!” Entah keberanian darimana yang saya dapat waktu itu, saya pukul tangan orang yang ambil HP itu sampai akhirnya si Communicator jatuh ke lantai bis. Saya tantang para copet itu, sekitar 4-5 orang… “Mau ngapain kamu? Jangan ambil HP saya!” teriak saya sebisanya. Saya berusaha mencari hp di lantai bis, di tengah bis yang masih penuh orang…

Tidak berhasil merebut hp, para copet itu lantas turun. Sekitar lima atau enam orang. Hp sudah di tangan saya tapi baterei-nya lepas, terjatuh entah di mana. Saya berusaha mencari ke seluruh sudut lantai bisa… bis mulai lengang penumpang turun bergantian. Saya berkeliling bis dengan nafas memburu. Sedihnya, tidak ada satupun orang yang berusaha membantu atau setidaknya memberi senyum simpatik…

Setelah berkeliling bis dari depan ke belakang, alhamdulillah akhirnya ketemu juga baterei itu. Gedung DPR sudah lewat, saya pun turun di Manggala.

Turun dari bis barulah saya merasakan ketakutan luar biasa. Kaki saya gemetar, jantung bergemuruh keras dan saya menangis. Menelpon kakak saya dengan tangan gemetar… “Aku dicopet, dikepung copet ada lima tadi, hapeku dicopet tapi aku ambil lagi hapenya…” isakku di telepon. Kakakku kaget dan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku bilang, aku kaget dan takut… tapi harus tetap pergi liputan di DPR. Lalu, berjalan kakilah aku ke DPR, bekerja seperti biasa dengan rasa gemetar yang masih tersisa. Sempat doorstop Pak Purnomo dan menanyakan pertanyaan titipan dari redaktur yang ternyata bikin Pak Menteri marah, dia menjawab sambil melotot ke saya (hahaha), untung saya dibantu senior dari Kompas yang membantu mem-breakdown lagi pertanyaan saya (yang saya sendiri kurang paham, hahahah. Iya, segeblek itu zaman itu, wkwkwk).

Saat kembali ke kantor untuk menulis berita hari itu, tetangga meja saya orang Batak berkata dengan gayanya -setelah tahu saya hampir saja dicopet di atas bis: “Selamat datang di Jakarta. Jakarta keras, bung! Siapa suruh datang ke Jakarta?!”

Haha. Benar, siapa suruh datang ke Jakarta?

Pernah ada satu kejadian lagi yang menegaskan bahwa kota ini memang sedingin dan sekeras itu. Saya sedang sibuk meliput isu Newmont yang tengah hot kala itu. Beberapa kali tulisan saya tentang divestasi saham Newmont menjadi headline koran dan isu itu saya running tiap hari. Di daerah Saharjo, saya menghadiri undangan konpers sebuah perusahaan, sepertinya Newmont. Ketika menyeberang jalan, saya tertabrak sepeda motor. Tergeletak di tengah jalan -untuuuuung sekali ga ada kendaraan lain lewat. Bisa-bisa kelindes saya di tengah jalan.

Saya tidak pingsan tapi terjatuh cukup keras. Dan, lagi-lagi tidak ada yang menolong saya untuk bangun. Terseok-seok saya bangkit berdiri sendiri lalu berjalan ke pinggir jalan. Kaki, lutut dan lengan saya sakit karena terjatuh gelundung dan sempat terkena stang motor cukup keras. Sepeda motor yang menabrak tadi juga terjatuh. Lalu ia, lebih tepatnya dua orang, menghampiri saya. “Mbaknya gakpapa? Mbaknya sih tadi ragu-ragu saat menyebrang jadi ketabrak deh,” celetuk si pengemudi.

Darah Jawa Timur saya sontak menggelegak. “Sampeyan sudah nabrak saya kok masih berani ngomelin saya? Apa perlu saya telpon polisi biar sampeyan diangkut? Brengsek!” Saya muntab lalu memilih berlalu pergi. Jakarta benar-benar brengsek saat itu.

Hari-hari itu, obrolan dengan dua sahabat saya -dua-duanya di luar kota- juga keluarga, yang masih bisa menguatkan saya. Kakak saya langsung mendatangi saya ke kantor malam itu dan menyuruh saya pulang saja daripada lanjut bekerja. Tapi kepalang tanggung, saya tuntaskan pekerjaan saya malam itu, hari Jumat kalau tidak salah jadi besok saya bisa libur. Badan saya ringsek sakit semua malam itu dan keesokan hari saya hanya bisa tiduran di kasur. Menyedihkan.

Bertemu teman-teman baru…

Periode 2007-2009, adalah masa struggling yang berat bukan cuma fisik atau pikiran tapi juga perasaan *tsaah. Saya sempat ambruk dan dirawat karena sakit Typhus, seminggu di rumah sakit. My lowest point…

Tapi tentu tidak ada hari-hari yang selamanya gelap. Ketika saya dipindahkan ke desk perbankan di Harian dan harus sering meliput ke lapangan -Thamrin markas Bank Indoensia dan perbankan, perlahan saya menemukan keseruan menjadi jurnalis di kota ini.

Bertemu teman-teman baru. Teman-teman desk perbankan yang masih berhubungan sampai hari ini. Bertemu orang-orang hebat, narasumber-narasumber yang inspiratif. Saya hampir selalu pulang tengah malam. Jam 11 malam mungkin paling cepat. Kalau sedang tidak ada acara nongkrong, jam 9 malam sudah di kos saya di Palmerah.

Usai kerja sering nongkrong bersama teman-teman. Maklum tidak ada yang menunggu di rumah, kan? Haha. Nongkrong di angkringan pesan wedang jahe susu dan sate kulit sambil bergosip tentang bos-bos di kantor atau rekan kerja yang aneh, hahah. Atau, bila nongkrong dengan teman-teman liputan di lapangan, seringnya di Melly’s, semacam cafe gitu. Kadang pergi berkaraoke atau sekadar nongkrong ngobrol-ngobrol sambil minum lemon tea *belum hype kopi kekinian waktu itu, wkk.

Walau sering ikut nongkrong, saya tidak pernah tergoda mencicipi miras, meski teman-teman saya banyak yang minum juga dan saya tidak menghakimi mereka, saya menghargai pilihan setiap orang. Alasan tidak pernah minum apa? Karena saya khawatir bila sampai mabuk nanti bakal lebih edan dibandingkan saat saya masih sadar (yang sebenarnya sudah cukup edan, menurut saya, wkwkk).

Berjarak dengan kantor kala itu, somehow membuat saya lebih bahagia. Saya tahu saya belum bisa resign waktu itu, meski berat menghadapi masa-masa itu -ketika itu, jadi ketika akhirnya saya bisa tetap bekerja, memiliki penghasilan dan bisa bertemu orang-orang baru, tertawa dengan teman-teman yang baik, saya kira itu jalan tengah yang tepat. Maktub.

Silih berganti nama datang dan pergi. Saya menikmati setiap momen yang hadir sepenuhnya. Teman-teman yang aku kenal tahun itu, merekalah juga kini yang bekerja sama lagi di tempat kerja saya saat ini di sini. Maktub.

Sebuah visi

Sekira akhir 2010 saya bertemu dia, pertama kali. Seseorang yang dikirimkan olehNya saat saya dinilai sudah cukup siap melangkah ke fase baru. Bukan cinta pandangan pertama. Tapi saya ingat, saya merasakan sebuah visi setiap mendapati ia mencuri pandang, ha ha ha. Bahwa lelaki ini akan menjadi seseorang yang istimewa bagi saya, entah dengan cara apa dan sebagai apa. Di Thamrin -markas bank sentral itu atau di Senayan saat meliput rapat anggaran di Komisi 11, saya tak ingat persis, kami pertama jumpa.

Saya meliput pejabat Bank Indonesia dan dia meliput Menteri Keuangan.

Walau sama-sama tahu, kenal nama, kami justru jarang ngobrol. Saya lebih dekat dengan geng yang lain. Saya juga agak segan, tidak berani akrab. Selalu menjaga jarak. Pun halnya dia.

Lalu 2011, perlahan semua semakin terang. Saya merasa, Tuhan begitu baik. Untuk diri yang sudah melewati banyak hal, seribu kesalahan, aneka macam kebodohan dan sejuta penyesalan, Dia masih memberiku kesempatan. Memberikan yang saya butuhkan. Sebuah batu karang yang kokoh untuk saya bersandar dari sekian petualangan yang melelahkan, menjemukan, sekian kegelisahan, skeptisisme dan kecemasan…

Tidak perlu waktu lama. Setahun berlalu dan ia menggandeng tangan saya tanpa ragu, tanpa syarat; hanya keteguhan -seperti namanya, juga kekeraskepalaannya mencinta dan menerima saya apa adanya, bahkan di saat saya sendiri sedang tidak cinta dan tidak menerima diri sendiri apa adanya. Seperti itu.

2023, here I am…

Jakarta bukan lagi kota yang dingin. Meski sejak 2013 saya tinggal di Tangerang, membangun keluarga kecil saya di sini, Jakarta masih tempat saya berkarya, memahat nama. Bersama teman-teman yang sudah saya kenal sejak 2009, saya kembali lagi ke dunia yang membuat saya jatuh cinta, dunia media. Back to the ball game dengan segenap tantangan juga hal baru menarik yang menanti saya di depan sana. Tetap dengan menulis, nafas saya.

Jakarta bukan lagi kota yang menyesakkan. Tempat ini telah menyimpan jejak perjuangan, sekian juta orang, yang sangat mungkin jauh lebih keras dan pahit ketimbang apa yang sudah saya jalani…

Setiap kali saya berjalan pulang, menaiki tangga penyeberangan itu lalu memandangi gedung-gedung pencakar langit itu, saya mengingat darimana saya berasal dan kemana langkah ini ingin saya ayunkan. Seberkas rasa syukur atas semua kasih sayangNya melindungi saya selama ini… menjaga saya agar tak oleng, mengingatkan saya agar selalu rendah hati… dan mempercayai proses.. apapun itu…

Kembali ke rumah, dengan tiga anak yang lahir dari rahim saya, menunggu saya setiap hari. Juga bahu tempat saya bersandar tanpa berlama-lama resah. Tidak ada kata yang bisa mewakili apa yang saya rasakan selain kata ini: Alhamdulillah. Praise to Allah.

Comments

Banyak dibaca

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi