Telanjur Punya Asuransi Unitlink: Lebih Baik Tutup Polis atau Lanjut Saja?

This is the ultimate question in Unitlink Saga.

Ketika kita telanjur beli unitlink dengan pemahaman yang keliru tentang cara kerja produk ini, seringnya yang terjadi adalah MENYESAL SUDAH BELI. Dalam banyak kasus yang saya temui, kebanyakan orang menyesal sudah membeli karena sejak mula mengira unitlink ini semacam produk tabungan di mana ketika di periode tertentu, semua dana setoran premi yang sudah dibayarkan, bisa ditarik 100% atau berkembang fantastis seperti yang dipaparkan oleh agen ketika menawarkannya dulu. Hmm.

Tentu saja harapan itu rada naif, kalau tidak bisa dibilang salah alamat. Unitlink bukanlah produk tabungan! Asuransi unitlink merupakan produk asuransi berbalut investasi. Dia memang makhluk dua jenis kelamin alias hibrid. Disebut asuransi karena memiliki fitur proteksi (asuransi jiwa dan rider atau manfaat tambahan berupa asuransi kesehatan, kadangkala dilengkapi juga dengan asuransi penyakit kritis). Tapi, ia juga disebut sebagai produk investasi mengingat sebagian dana premi yang kita setor, akan diinvestasikan ke produk investasi seperti reksa dana atau mutual fund. Sebagaimana produk investasi, ia mengikuti hukum investasi: high return, high risk. Ada risiko yang sebanding dengan potensi untungnya. Ia bisa jatuh nilainya, bisa amblas hilang sama sekali juga, dia bisa tumbuh berlipat ganda dengan hitungan compound interest, dst.

Sedikit cerita, ya. Saya dulu pernah beli asuransi unitlink juga sekira tahun 2009, berbekal ketidaktahuan tentu saja, hahaha. Lha, iya. Wong, saya itu butuhnya asuransi kesehatan, ngapain juga saya malah nyasar beli asuransi jiwa ditambah embel-embel investasi? Dari sana saja sudah salah kedaden dan berujung kebingungan sendiri. Namun, karena sudah telanjur, saya berusaha mempelajari lagi apa opsi yang tersisa bagi saya. Kala berdiskusi dengan agen saya kala itu, saya menangkap kesan bahwa si agen juga tidak terlalu paham, lho, ini produk apa sebenarnya, hahahah. Jadi, kayak orang buta menuntun orang buta jalan-jalan ke taman ria, wkkk. Pertanyaan saya banyak yang tidak terjawab.

Baca juga: Benarkah Kita Butuh Asuransi Jiwa?

Sampai akhirnya, ketika saya pelajari lagi (sambil nanya para kolega financial planner yang kebetulan narasumber di media tempat saya bekerja), saya memutuskan untuk menutupnya saja. Why? Produk ini tidak sesuai kebutuhan saya. Kebutuhan saya adalah asuransi kesehatan, bukan asuransi jiwa (saya belum ada tanggungan jiwa ketika itu). Untuk kebutuhan berinvestasi, saya sudah memulainya di reksa dana dan nyaman dengan itu.

Ketika hendak menutup, saya memang tidak serta merta jebret gitu. Saya akhirnya memilih opsi cuti premi dahulu selama beberapa bulan. Jadi, saya berhenti membayar premi dan membiarkan hasil investasi yang sudah terbentuk digunakan untuk membiayai proteksi dari unitlink. Sampai akhirnya, di akhir cerita, saya menarik sisa dana sekitar Rp1,5 juta. Iya, kecil nilainya karena sudah digunakan membiayai proteksi selama saya tidak membayar premi. Selain itu kepesertaan saya juga masih belum lama dengan nilai premi setoran belum banyak. Maka, berakhirlah hubungan saya dengan unitlink. Selama memiliki unitlink, alhamdulillah saya diberikan kesehatan sehingga belum pernah sekalipun mengklaim manfaat. Kalaupun jatuh sakit, saya seringnya rawat jalan karena memang sakit-sakit ringan. Benefit kesehatan dari tempat kerja kala itu sudah lebih dari cukup untuk menutupnya.

Baca juga: Mengapa Banyak Orang Merasa Tertipu Asuransi Unitlink?

Nah, sekarang pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan bila telanjur membeli unitlink: mau nutup, kok, sayang udah jalan lama… mau lanjut, kok sudah setengah hati…

Yuk, mari kita bahas!

1. Ketahui kebutuhan dan tujuan keuangan

Sebelum keburu emosi mau nutup sebuah asuransi, langkah prinsip yang perlu kita lakukan terlebih dulu adalah mengetahui apa kebutuhan kita sebenarnya. Asuransi unitlink itu makhluk berkelamin ganda. Proteksi jiwa digabung dengan investasi. Nah, kebutuhan kita apa? Apakah proteksi jiwa, proteksi kesehatan, investasi untuk hari tua/dana pensiun, menabung dana pendidikan anak atau apa? Memahami kebutuhan adalah hal mendasar. Dari titik, ini setelah kita paham betul apa sebenarnya kebutuhan kita, akan lebih mudah bagi kita untuk menentukan langkah selanjutnya.

Misalnya, nih, kebutuhan kita adalah asuransi jiwa. Kita ingin memproteksi penghasilan kita supaya saat kita mendadak tutup usia, keluarga yang kita tinggalkan memiliki bekal finansial untuk melanjutkan hidup. Gampangnya, kita pengin kasi warisanlah ke keluarga yang selama ini kita nafkahi. Nah, kebutuhan asuransi jiwa ini tidak bisa sekadar menyebut asal nggrambyang begitu. Bila kebutuhan kita adalah asuransi jiwa, maka kita harus mengetahui berapa lama kita butuh memproteksi pendapatan kita itu dan berapa nilai pendapatan yang perlu kita proteksi?

Anggap saja kita perlu memproteksi pendapatan kita setidaknya hingga anak bungsu (usianya kini 5 tahun), bisa mandiri. Kira-kira 20 tahun lagi. Nilai pendapatan kita saat ini Rp20juta per bulan. Nilai pendapatan yang ingin kita proteksi adalah Rp10 juta (setelah dikurangi pengeluaran tabungan/investasi dan pengeluaran pribadi kita). Maka dengan pendekatan Income Replacement Based, nilai uang pertanggungan asuransi jiwa yang kita butuhkan adalah Rp2,4 miliar.

Jadi, kebutuhan kita adalah mencari asuransi jiwa dengan perlindungan 20 tahun saja senilai Rp2,4 miliar. Kalau kebutuhannya cuma 20 tahun, ya tidak usah njeladrah cari yang kasi proteksi sampai 99 tahun, wkkkk. Fokus pada kebutuhan. Itu kuncinya.

Baca juga: Begini Cara Gampang Mengetahui Kebutuhan Uang Pertanggungan

2. Kenali lagi isi asuransi unitlink

Nah, setelah kita tahu apa kebutuhan kita dan tujuan finansial yang ingin kita capai, baru, deh, bisa kita nilai lagi secara obyektif: apakah asuransi unitlink yang kita miliki dapat membantu kita memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan keuangan tersebut?

Merujuk ilustrasi di atas, setelah kita tahu tujuan finansial kita adalah memiliki proteksi jiwa senilai Rp2,4 miliar, tinggal cek deh apakah asuransi unitlink menyediakan nilai proteksi sebesar itu?

Eng…ing…eng….

Ingat, selalu gunakan kepala dingin. Ambil buku polis asuransi unitlink yang tebal itu. Cobalah pelajari isinya. Apa, saja, sih, yang sebenarnya ditawarkan oleh produk tersebut untuk Anda? Bila pusing bacanya atau sudah eneg duluan, Anda memiliki hak untuk meminta bantuan agen asuransi agar membantu (kalau agennya baik pasti ia akan senang hati membantu).

Ruisa, kenapa, kok, masih perlu mempelajari manfaat asuransinya? Saya itu, kan, cuma galau ini duit saya nasibnya gimana?

Mungkin ada yang bertanya demikian? Jadi, begini, pertama-tama kita mau tidak mau harus legowo menempatkan produk unitlink ini sebagai produk asuransi . So, berangkatlah dari sana dulu. Kesampingkan dulu fitur investasinya, agar kita lebih fokus menilai bobot proteksi, worth or not. Sebanding atau tidak antara premi yang kita bayar dengan manfaat/benefit proteksi yang diberikan. Apa saja yang perlu dicek: manfaat proteksi yang dijamin, nilai uang pertanggungan asuransi jiwa, bila ada rider (manfaat tambahan) berupa asuransi kesehatan maka cek lagi apa saja coveragekesehatannya, dsb. Setelah memahami, baru kita bisa beranjak ke hal lain. Bisa saja nilai pertanggungannya tidak sesuai kebutuhan, akan tetapi saat dicek benefit kesehatannya, ternyata masih sesuai kebutuhan kita, ya, itu bisa jadi bahan pertimbangan, kan?

Terkait fitur investasinya, kita perlu menempatkannya sebagai fitur pelengkap saja dari keberadaan proteksi yang dimiliki oleh asuransi unitlink. Maksudnya, begini. Bila hasil investasi Anda di unitlink bagus, maka nilai tunai tersebut bisa digunakan untuk membiayai proteksi di unitlink yang Anda butuhkan (Anda bisa cuti premi) dan Anda tetap terlindungi asuransi. Sebaliknya, bila jeblok, ya tinggal Anda nilai-nilai lagi apakah masih sebanding jika terus membayar premi sejumlah itu dengan coverage asuransi yang diberikan. Kira-kira begitu.

3. Perhatikan jangka waktu kepesertaan

Ini penting. Kita tahu bila dalam skema premi unitlink, di tahun-tahun pertama kepesertaan -kira-kira lima tahun pertama- ada yang namanya biaya akuisisi atau cost of insurance atau biaya proteksi yang kita bayarkan (lagi-lagi kita harus ingat kalau unitlink ini produk asuransi juga). Biayanya cukup besar karena bisa mencakup 200% dari premi tahunan. Misalnya, ya, premi kita Rp1 juta. Selama 5 tahun pertama, jangan berharap nilai tunai akan terbentuk optimal (bahkan bisa jadi sama sekali belum ada hasil investasi). Karena dari Rp1 juta premi yang kita setor itu, bisa 50% hingga 100% diperuntukkan untuk menutup cost of insurance tersebut. Belum ada bagian premi yang diinvestasikan.

Dengan begitu, kalau sudah lebih dari 5 tahun membayar premi unitlink, pilihan untuk meneruskan polis boleh jadi akan lebih tepat. Asumsinya, setelah 5 tahun, premi yang dibayarkan akan mulai diinvestasikan dan diharap bisa tumbuh sehingga kelak nilai tunai yang dihasilkan bisa menutup biaya proteksi. Dengan begitu, kita tetap bisa menikmati manfaat proteksi tanpa perlu membayar premi.

Tapi, bagaimana bila ternyata hasil investasinya jeblok dan kita diharuskan terus top-up alias bayar premi supaya polis asuransi tetap aktif (tidak lapse/batal)? Ya, hitung lagi apakah sebanding antara manfaat yang kita dapat dengan premi yang kita bayarkan itu. Jangan jauh-jauh mikir bakal bisa menarik uang hasil investasi sesuai harapan 

4. Konsultasi dengan konsultan keuangan independen

Apabila Anda sudah melakukan tiga langkah di atas namun masih bingung memutuskan… atau boro-boro menempuh langkah itu, baru mikir dikit udah sakit kepala. Ya sudah, mau gimana lagi. Mungkin sudah saatnya meminta pertolongan dari profesional.

Di atas saya sudah singgung, sebenarnya kita bisa, kok, meminta pada agen untuk memberi penjelasan lagi terkait polis asuransi unitlink kita. Apa saja yang masih ingin kita perjelas dan apakah ada opsi-opsi kita yang lebih relevan dengan kebutuhan kita. Namun, apabila kita merasa tidak sreg karena agen asuransi terkait tentu saja terafiliasi dengan produk dan memiliki kepentingan agar kita terus lanjut menjadi nasabah… mungkin sudah saatnya kita menimbang untuk meminta bantuan profesional financial advisor yang independen.

Kita bisa berkonsultasi pada Certified Financial Planner yang kita percaya. Pastikan merujuk pada perencana keuangan bersertifikasi yang INDEPENDEN dan tidak memiliki kepentingan apapun dengan produk terkait. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan masukan yang obyektif yang berfokus pada apa yang menjadi kebutuhan kita selaku klien.

Kesimpulannya gimana?

Pada akhirnya, perihal membeli atau tidak, melanjutkan atau tidak, melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait keuangan kita, memang membutuhkan asesmen yang hati-hati supaya bisa kita bisa mengambil sebuah keputusan bijak dan rasional. Kita boleh sangat kecewa dengan sebuah produk finansial dan rasanya ingin mengulang lagi ke masa itu agar bisa mengambil keputusan yang tidak perlu kita sesali seperti saat ini… Sayangnya, waktu tidak bisa berulang. Yang bisa kita lakukan menerima bahwa telanjur mengambil keputusan salah adalah manusiawi sekali. Terima fakta itu dan tanggung konsekuensinya. Lalu, mulailah bergerak maju, bertindak rasional supaya “kerusakan” tidak makin besar.

Your money, your responsibility.

*disclaimer: apa yang saya paparkan di atas adalah opini, pandangan dan saran secara umum. Untuk menjustifikasi sebuah keputusan finansial yang bisa dipertanggungjawabkan, seorang financial planner perlu melihat kasus per kasus agar bisa memberi rekomendasi yang obyektif, efektif dan fokus pada kebutuhan klien. Jadi, saya tidak bertanggung jawab atas keputusan yang mungkin akan diambil oleh pembaca, setelah membaca artikel ini.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi