Kapan Waktu Tepat untuk Memulai Investasi?

Investasi bukan untuk gaya-gayaan. Kalau keuangan masih boncos, lupakan investasi!

Pernah lihat meme legend ini?

meme legend yang keluar setiap kali nitijen diserbu FOMO investasi, hehehe

Meme itu ngena bener, deh, hehehe. Walau urutan tangga di dalam konten itu saya tidak 100% sepakat, tapi moral cerita alias pesan yang disampaikan si meme itu kurang lebih tepat. Bila tahapan finansial alias financial stage diibaratkan seperti anak tangga, adalah ngaco bila kaki kita melompat langsung ke investasi tanpa lebih dulu menapaki tangga-tangga di bawahnya.

Meme ini selalu keluar terutama ketika jagad nitijen diramaikan oleh hype investment product yang sedikit banyak dikerek oleh para influencer saham dan kripto. Ada cerita yang sempat viral dulu di mana seseorang jeblos investasinya di saham atau kripto memakai tabungan yang sebenarnya disiapkan untuk pernikahan. Runyam, deh.

Di tulisan sebelumnya, saya sudah pernah menyinggung mana urutan fokus yang “tepat” bila kita bicara tentang financial stage. Semua ada tahapannya mana yang lebih prioritas didahulukan dan mana yang lebih baik ditunda dulu bila langkah sebelumnya belum mapan.

Kesadaran investasi kian meningkat

Harus diakui, kesadaran masyarakat, terutama kelas menengah ngehe untuk memulai investasi, memang makin tinggi belakangan ini. Itu sepertinya tidak terlepas dari booming internet yang membuat informasi dan edukasi seputar investasi dan pengelolaan keuangan pribadi, menjadi semakin mudah kita dapatkan. Gratis pula. Di saat yang sama, kehadiran begitu banyak perusahaan teknologi finansial (fintech) yang menawarkan platform berinvestasi semudah berbelanja online, membuat investasi yang mungkin dulu begitu “eksklusif” dan “mewah” menjadi aksesibel dan inklusif.

“Investasi reksa dana mulai Rp10.000”

“Nyicil beli emas mulai Rp5.000”

“Beli saham seharga kopi kamu…”

dan lain sebagainya.

Belum lagi bombardir konten influencer pamer aset finansial yang banyak bertebaran kayak di Tiktok, Instagram, dan kawan-kawan. Sedikit banyak memberikan kesan bahwa investasi adalah bagian dari gaya hidup yang “wajib” dilakukan bila memang kita pengin mewujudkan hidup sejahtera, kaya raya, masuk surga, hehehehe.

Hmm, tapi benarkah investasi itu wajib dilakukan setiap orang?

Sebelum menjawab itu, perlu bagi kita memahami apa sebenarnya investasi itu. Apakah menabung sebagian pendapatan di bank dalam bentuk tabungan adalah bagian dari investasi? Atau, sesuatu hanya bisa disebut investasi bila berbentuk emas, saham, reksa dana, obligasi dan kawan-kawan? Benarkah kalau kita membeli sebuah buku keren, itu bisa disebut sebagai sebuah investasi? Betulkah saat kita rajin mengoles skincare tiap pagi dan malam itu juga bagian dari investasi? Hiyaaa, bisa kemana-kemana, deh, haha.

Baca juga: Menabung dan Investasi di mana Kala Pandemi Masih Merajalela

Secara sederhana, pengertian investasi pada dasarnya merujuk pada setiap upaya kita mengakumulasi kapital atau modal atau aset yang kita punya saat ini, supaya mampu terus bertumbuh melampaui laju inflasi (laju kenaikan harga barang/jasa), juga agar nilainya bisa berlipat ganda dengan keajaiban compound interest. Untuk membantu tujuan investasi agar terwujud, seseorang bisa memanfaatkan beberapa instrumen atau produk yang menjadi kendaraannya. See? Tujuannya adalah melipatgandakan kekayaan sesuai target yang kita tetapkan, sedang produk investasi sekadar kendaraan saja untuk membantu kita sampai di tujuan tersebut.

Apa saja INSTRUMEN INVESTASI?

  1. Instrumen investasi pasar keuangan (financial market product), antara lain: saham, reksa dana (mutual fund), obligasi (bond), ETF (exchange trade fund).
  2. Instrumen investasi sektor riil, antara lain: emas, properti.
  3. Instrumen investasi derivatif, antara lain: opsi, swap, kontrak opsi saham, kontrak berjangka, dan lain-lain.
  4. Instrumen investasi kripto (cryptocurrency), antara lain: bitcoin, dogecoin, litecoin, dan sebagainya.

Deposito bank apakah bisa disebut investasi?

Bisa saja, selama ia kasi imbal hasil di atas laju inflasi tahunan di mana itu agak jarang terjadi. Lantas, gimana dengan tabungan rencana di bank? Nope, itu bukan produk investasi. Mengapa? Ya, kalau laju inflasi 4%-5%, tapi tabungan rencana cuma bisa kasi 1%-2%, itu, sih, bukan mengembangkan uang melainkan mengecilkan nilai uang, hahaha.

Unitlink bukankah produk investasi juga?

Ini debatable. Bila melihat kerumitan di dalamnya, saya lebih melihat unitlink pertama-tama sebagai produk asuransi saja, yang dilengkapi fitur investasi. Di mana fitur investasi itu sebenarnya tersedia atau diperuntukkan untuk “membantu” si nasabah memastikan proteksinya terus berjalan (itupun hanya bila hasil investasinya bagus sesuai harapan). Bila hasil investasi di unitlink jelek, ya produk itu 100% produk asuransi yang mengharuskan nasabahnya membayar premi agar proteksi terus aktif.

Baca juga: Gagal Paham Asuransi, Salahnya di Mana?

Menjadi investor di sebuah bisnis riil, apakah itu bisa disebut investasi?

Ya, bisa, dong. Ada yang investor pasif yang tinggal nerima dividen/keuntungan hasil bisnis. Ada juga investor aktif yang turut serta dalam membangun dan menjalankan bisnis tersebut.

Ada begitu banyak pilihan kendaraan investasi. Semua bisa kamu pilih sesuai profil risiko dan time horizon tujuan keuangan (pendek, menengah atau panjang). Nah, satu hal yang perlu selalu kita ingat bila bicara tentang investasi adalah HUKUM INVESTASI. Semakin besar potensi keuntungan investasi, semakin tinggi pula risiko kerugiannya. Iya, bila menempatkan dana di sebuah produk investasi, dana kita berpotensi tumbuh berlipat sekaligus ia berisiko habis sama sekali. Serem! Benarkah seekstrem itu? Yes. Maka itu jangan asal nyemplung.

Apa bedanya dengan judi? Beda, dong. Judi itu muterin duit berdasarkan spekulasi saja alias untung-untungan semata tanpa ilmu dan rasionalisasi sama sekali. Sedang investasi, ada ilmu dan metodologi yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan/rasionalisasi. Bisa diperhitungkan, disimulasikan dan secara historis bisa dibuktikan metodologinya.

Lupakan investasi bila cashflow masih senen-kemis!

Nah, bila sudah tahu investasi itu memiliki risiko yang juga sebanding dengan potensi untungnya, apa, iya, kita berani berinvestasi ketika kondisi keuangan masih engap?

Dalam financial planning yang tepat, semua tahap memiliki urutan dan prioritas yang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa membangun keuangan yang sehat, stabil dan sustain, sebelum akhirnya sejahtera kaya raya. Hahaha.

Jadi, urutannya apa? Yuk, kita bedah!

Pendapatan sudah cukup?

Pendapatan masih senen-kemis, lupakan saja dulu hal-hal inah inuh. Untuk memastikan apakah pendapatan kita memang sudah memadai atau belum, kita harus tahu berapa nominal yang kita butuhkan untuk mampu hidup “normal”. Ya, anggaplah pendapatan minimal untuk kebutuan primer dan sekunder. Apa saja itu? Biaya makan, tempat tinggal, pakaian, biaya kesehatan, biaya sekolah anak, dan lain-lain. Jangan lupa pengeluaran rutin untuk menunjang hidup: listrik, air, internet (sekarang udah jadi sangat penting, kan, beli pulsa itu?), bensin, dan lain-lain. Lalu, pengeluaran wajib seperti cicilan utang seperti cicilan rumah.

Bila pendapatan kita untuk menutup hal-hal di atas masih kembang kempis, itu artinya kita masih di tahap sangat awal. Alih-alih mikir mau investasi di mana, PR utama bila kita masih di tahap ini adalah: MENCARI TAMBAHAN PENDAPATAN LAGI SUPAYA KELAK ADA RUANG UNTUK MENABUNG.

Dana Darurat

Nahhhh, selanjutnya adalah stage di mana pendapatan kamu sudah bisa menutup kebutuhan-kebutuhan utama di atas dan masih memiliki sisa yang bisa ditabung. Saatnya mulai membangun dana darurat. Dana darurat itu bisa juga kamu sebut tabungan yang kamu siapkan untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan yang datang mendadak dan harus segera ditutup, dengan dana tunai tentu saja.

Berapa dana darurat yang perlu disiapkan? Bila masih lajang, siapkan antara 3-6 kali nilai pengeluaran rutin bulanan. Bila sudah menikah atau menikah dan punya anak, nilainya harus lebih besar. Wajar, ya, secara nilai pengeluaran tentu jauh lebih gede setelah menikah dan beranak pinak.

Dana darurat ini jadi bantalan utama ketika terjadi shock keuangan, semacam bemper-lah. Makanya, penempatannya juga tidak boleh sembarangan. Tempatkan di instrumen yang minim risiko kayak deposito bank, tabungan biasa/tabungan rencana.

Emas gimana, Ruisa? Ya boleh aja sebagai diversifikasi dana darurat. Tapi, sebaiknya tidak dalam bentuk emas semua. Jangan tempatkan semua telur di satu keranjang yang sama. Itu prinsip dasar, termasuk dalam penempatan aset yang kita dedikasikan sebagai dana darurat. Contoh mudah, anggap saja dana darurat kita sebesar Rp50 juta. Bagi aja penempatannya, misal 50% dalam bentuk deposito berjangka, 25% dalam bentuk emas dan sisanya dalam bentuk reksa dana pasar uang sebagai reksa dana dengan risiko terendah.

Asuransi

Setelah dana darurat mulai dibangun, secara paralel kita bisa ke tahap berikutnya yaitu menutup risiko finansial dengan berasuransi. Ingat, ya, asuransi itu produk proteksi BUKAN PRODUK TABUNGAN! Asuransi juga BUKAN PRODUK INVESTASI. Asuransi adalah cara kita mengelola risiko keuangan dengan mengalihkan risiko tersebut ke perusahaan asuransi (dalam asuransi syariah, berarti kita membagi risiko itu dengan nasabah lain dan perusahaan asuransi selaku pengelola). Untuk keperluan transfer/sharing risiko itu, kita membayar sejumlah premi pada perusahaan asuransi.

Baca juga: Gagal Paham Asuransi, Salah Siapa?

Asuransi yang dibutuhkan apa? Asuransi jiwa sebaiknya kita miliki apabila kita sudah punya tanggungan jiwa dan asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan apakah harus asuransi komersial? Tidak juga. Itu tergantung preferensi dan kebutuhan. Setiap orang Indonesia kini menjadi peserta BPJS Kesehatan sebagai jaminan sosial kesehatan dasar yang wajib diikuti. Bila kita merasa membutuhkan layanan asuransi yang lebih privat, nyaman dan cepat, kita bisa menambahkan dengan asuransi komersial.

Tabungan “wajib”

Lho, abis asuransi, kok, balik lagi ke tabungan, sih? Ada yang nanya gitu ya, hehe… Well, ini tuh bukan tabungan dalam arti harfiah. Yang dimaksud tabungan wajib di sini adalah persiapan dana untuk kebutuhan yang sudah pasti wajib kita penuhi di masa mendatang. Apa saja itu? Bila kita sudah punya anak, ya, persiapan dana kebutuhan sekolaha anak itu wajib diamankan. Dicicil sedini mungkin. Atau, dana persiapan nikah bagi kamu yang berencana melepas masa lajang dalam waktu dekat. Dana-dana seperti ini memang bisa kita siapkan menggunakan produk investasi sebagai “kendaraan”. Milih kendaraan yang mana, pastikan sudah menimbang matang-matang dan memperhitungkan profil risiko kamu selaku investor dan time horizon alias target waktu pemakaian dana.

Baca juga: Menabung Emas untuk Persiapan Dana Sekolah Anak, Dari Mana Memulai?

Investasi

Nah, setelah tahapan di atas sudah berjalan dan “aman”, baru deh kita bisa lebih leluasa berinvestasi memakai pendapatan yang tersisa dan tak terpakai (disposable income). Hanya UANG DINGIN yang bisa kita gunakan untuk berinvestasi. Uang yang saat hilang atau menurun nilainya, tidak langsung membuat hidup kita amburadul ke titik nadir. Ya, nyesek dikit karena nilai aset turun itu manusiawi, tapi tidak sampai membuat sekolah anak terancam, uang buat beli beras tidak ada… uang buat bayar katering kawinan amblas, dsb. Just don’t…

Mungkin ada yang bertanya: “Lha, kalau nunggu semua aman trus baru investasi, keburu kita kehilangan kesempatan (oppportunity loss) dong?”

Saya balikin deh pertanyaannya: “Lebih mending mana opportunity loss (ketinggalan kesempatan saja, tidak merugi dalam arti kehilangan uang riil) dengan loss beneran lalu keuangan amburadul di titik dasar?”

Baca juga: Reksa Dana, Saham, ORI, SBR, P2P Lending: Mana yang Paling Menguntungkan?

So, take it easy saja. Kita yang tahu kondisi keuangan kita sendiri. Kita yang merasakan. Kita yang jalani. Kita dituntut jujur melihat kondisi finansial secara angka susah boong, hehe. Uang kita, finansial kita adalah 100% tanggung jawab kita. Belum memulai investasi karena kita masih berada di tahap-tahap awal memapankan keuangan, tidak lantas membuat kita ketinggalan zaman, kok. Buang jauh-jauh tekanan FOMO itu (fear of missing out). Dengan menyadari di mana kita berdiri, kita bisa menghindari risiko kerugian konyol, wkk. Selain itu, menyadari ada di tahapan mana finansial kita saat ini akan lebih membantu kita terhindar dari tindakan spekulatif yang bisa berujung sesal dan bangkrut..

Karena,

Pada akhirnya yang lebih penting adalah HIDUP TENANG ketimbang HIDUP HALU NGAREP PANEN CUAN tapi maksa padahal modal tiris, sampai-sampai bela-belain pinjem duit untuk modal investasi. Duuuuuh.

Jangan, ya.

Hidup tenang, damai, ayem tenterem, itu lebih mendasar. SEPAKAT?

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi