Gagal Paham Asuransi, Salahnya di Mana?

Asuransi mungkin bisa disebut sebagai produk finansial paling bikin baper di negeri ini. Suka memicu keributan, bun!

Tahukah kamu berapa indeks literasi keuangan Indonesia saat ini? Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis data terbaru Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019. Data itu menyebut, indeks literasi finansial Indonesia kini berada di angka 38,03%. Indeks literasi ini mengukur tingkat literasi atau pemahaman orang Indonesia terhadap produk finansial dan seputar financial industry atau financial market. Nah, di saat yang sama, indeks inklusi finansial justru sudah melambung ke angka 76,19%. Indeks inklusi ini mengukur seberapa tingkat aksesibilitas masyarakat atas produk keuangan. Eh, tapi, kok, timpang banget, ya angka dua indeks itu?

Ketimpangan dua indeks itu sebenarnya memperlihatkan realita yang kurang ideal: banyak orang sudah memiliki atau mengakses produk finansial, akan tetapi tidak diikuti oleh pemahaman yang memadai atas produk finansial tersebut. Nah, lho! Idealnya, kan, kita paham apa yang kita beli, ya? Yang bener, kan, memang, kita seharusnya hanya membeli barang atau jasa yang kita pahami.

Bagi saya, gambaran paling sempurna tentang ketimpangan dua indeks itu adalah asuransi unitlink. Banyak yang punya, tapi yang sungguh-sungguh paham apa sejatinya produk tersebut seberapa banyak? Jadi, enggak heran, kan, kalau jadinya kayak sekarang ini, hehe.

Baca juga: Mengapa Banyak Orang Merasa Tertipu Unitlink?

Kalau boleh dibilang, di antara sekian banyak produk finansial yang bervariasi itu, asuransi sepertinya menjadi urutan nomer satu di daftar produk finansial yang paling banyak disalahpahami. Menurut saya, ya. Coba aja bikin social experiment atau survei kecil-kecilan, nanya ke siapa gitu random, apa yang ada dalam pikiran mereka tentang asuransi.

“Asuransi itu tabungan, kan, ya. Di tahun kesekian, uangnya bisa kita ambil. Mayan, buat tambahan sekolahan anak…” (ini pasti merujuk produk asuransi pendidikan)

“Asuransi itu, ya, investasi…” (ini kemungkinan yang jawab punya unitlink)

“Ih, asuransi, ga tertarik, ah. Takut ketipu.. katanya bisa rugi besar…” (kalo ini, entahlah rujukannya asuransi apaan… bisa jadi semacam Jiwasraya atau Bumiputera, ya.. skandal…)

Jadi, di tahap pertama memahami asuransi aja kita itu masih nggrambyang berjamaah, gaes!

(Eh, bukan saya sok pintar, ya, ini. Lha, wong, tahun 2009 lalu saat saya masih berstatus sebagai jurnalis ekonomi saya juga BELUM PAHAM apa sejatinya asuransi itu, hahahah. Asal beli aja dan emang salah beli. Ya, gitulah, wkkk).

Gagal paham asuransi, pangkal masalah akut

Ketika kita mendefinisikan sesuatu sebagai A, kita punya ekspektasi ia juga A. Yang jadi masalah, dalam kasus asuransi ini, definisi kita itu keliru tentang A. Ekspektasi kita pun akhirnya juga jadi terbentur tembok. Pahit. Akhirnya, merasa tertipu, dikibulin habis-habisan.

Dalam hal asuransi, inilah memang yang kerap terjadi.

Apa kira-kira yang menyebabkan gagal paham ini menyeret masalah yang tak habis-habis? Nyatanya di luar sana banyak banget orang yang merasakan hal yang sama: merasa tertipu asuransi. Valid dong, ya. Berarti ada sistem yang kurang jalan apa gimana?

Menurut saya ada dua hal yang perlu dilihat.

Pertama, faktor agen atau perusahaan asuransi. Agen menjadi ujung tombak di lapangan, melakukan direct selling ke target pemasaran. Ketika sampai ada nasabah asuransi yang merasa dikibuli gara-gara asuransinya ternyata tidak sesuai ekspektasinya, maka itu jelas menunjukkan si agen gagal menjelaskan secara mendetil dan jujur tentang produk asuransi tersebut.

Berapa banyak, sih, agen yang terang-terangan bicara tentang risiko produk yang ia jual, dalam hal ini asuransi non-tradisional alias unitlink/endowment fund/whole life, itu? Bahwa ada risiko investasi yang bisa fatal di mana dana yang disetor si nasabah bisa hilang sama sekali… Lha, iya, namanya juga investasi… Coba, berapa banyak?

Trus, bila bicara tentang asuransi tradisional yang hanya memberi proteksi, berapa banyak agen yang mau repot menjelaskan pada prospeknya bahwa asuransinya itu punya inner limit, ada pre-existing condition, waiting period, dan sebagainya. Iya, betul, semua itu sebenarnya ada di buku polis (yang hurufnya kecil buanget itu, hahah). Tapi, menurut saya penting juga sejak awal mengkomunikasikan pada calon nasabah tentang informasi mendasar seperti itu.

“Eh, tapi, Ruisa, masak, iya, sih cuma agennya aja yang disalahin? Ya, salah sendiri juga nasabahnya tidak mau cermat membaca… padahal udah ada buku polisnya kan…” Mungkin ada yang nyeletuk begini.

It takes two to tango. Nasabah tentu saja turut andil.

Berapa banyak nasabah asuransi yang paham apa sebenarnya produk asuransi dan bagaimana cara kerjanya? Apa sebenarnya yang akan ia dapatkan bila membelinya? Lebih mendasar lagi: Apakah memiliki asuransi memang kebutuhan Anda?

Baca juga: Balada Skandal Jiwasraya: Bagaimana Menghindari Jebakan Ponzi?

Berapa banyak nasabah asuransi yang tahu bahwa mereka itu membeli jasa proteksi yang dijual oleh perusahaan asuransi, alih-alih menabungkan uang lantas berharap uangnya akan mekar ratusan persen dalam sekian tahun. Berapa banyak nasabah asuransi yang tahu bahwa mereka punya hak untuk meminta dummy polis untuk ia baca dan pelajari sebelum memutuskan pembelian? Berapa banyak nasabah yang sungguh-sungguh membaca isi polis dia yang setebal ganjelan pintu itu?

Literasi finansial kita memang masih minim. Namun, menurut saya, porsi tanggung jawab terbesar untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang sebuah produk finansial adalah MEREKA YANG BEKERJA DI INDUSTRI FINANSIAL (termasuk saya ini, wkk). Bukan masyarakat awam. Betul masyarakat atau dalam hal ini calon nasabah perlu juga berinisiatif meningkatkan literasi, tapi bolanya terutama, ya, di tangan pelaku industri. Toh, mengedukasi juga menjadi investasi jangka panjang terhadap kelanggengan bisnis di masa depan, bukan? Daripada makin banyak yang memaki-maki dan akhirnya trauma dengan asuransi (dan merembet ke produk finansial lain), lebih baik menggemburkan tanah dulu, kan…. sebelum menanam lebih banyak dan memanen besar-besaran. Kira-kira begitu.

Cerita tentang satpam dan maling….

Sampai tahun 2021 ini, saya masih sering menemui seperti ini: orang membeli asuransi dengan ekspektasi seperti kala ia membeli emas. Beli di harga rendah lalu menangguk untung kalau berhasil menjual di harga tinggi. Ini tentu saja salah! Asuransi bukanlah seperti itu.

Asuransi lebih mirip kita membeli jasa satpam untuk menjaga rumah kita agar aman dari satronan maling. Atas jasanya tersebut, satpam kita gaji setiap bulan. Keuntungannya apa menyewa jasa satpam? Rumah kita insyaallah lebih aman dari maling. Kita tenang ketika sesekali keluar kota meninggalkan rumah karena ada satpam yang menjaga rumah.

Baca juga: Mengenal Jenis-Jenis Asuransi Jiwa

Nah, kalau selama memperkerjakan satpam, rumah kita aman dari maling, apakah kemudian kita menyimpulkan bahwa punya satpam itu tidak ada gunanya karena si satpam tidak kasi duit ke kita? Atau, yang lebih parah lagi, ketika rumah aman dari maling, lantas kita meminta gaji si satpam balik?

Membeli asuransi artinya kita membeli JASA yang diberikan oleh perusahaan asuransi. Yaitu, jasa transfer risiko (dalam asuransi konvensional) atau sharing risiko (dalam asuransi syariah). Atas jasanya itu, kita membayar premi pada perusahaan asuransi. Risiko apa yang ditransfer/dibagi? Ya, risiko keuangan. Saat kita sakit dan perlu biaya rawat, kita mengeluarkan uang untuk akses biaya rawat. Uang yang kita keluarkan itulah risiko keuangan yang dimaksud. Atau, dalam konteks asuransi jiwa, risiko keuangannya adalah terhentinya pendapatan yang menjadi sumber penghidupan keluarga ketika si pencari nafkah utama tutup usia.

Nah, dengan membeli asuransi kesehatan, kita bisa membatasi risiko itu di nilai tertentu. Apakah kemudian risikonya hilang 100%? Ya, belum tentu. Tapi, yang pasti risiko itu relatif jadi lebih terkelola. Dengan asuransi, kita membatasi tingkat kerugian finansial. Yang tadinya harus membayar biaya Rp200 juta untuk perawatan medis; karena punya asuransi, jadinya kita bayar Rp100 juta saja karena separo lagi bisa ditanggung asuransi. Ini contoh gampangnya.

Apa ada asuransi yang bisa bayar (hampir) SEMUAnya? Ya, ada aja kalau dicari. Tapi, tidak ada makan siang gratis. Untuk asuransi dengan benefit lengkap, preminya tentu mahal. Ada, sih, yang relatif murah dengan benefit cukup lengkap. Bisikin dong? BPJS Kesehatan, ferguso *winks

Baca juga: Perlukah Kita Memiliki Asuransi Jiwa?

Lalu, sebaiknya hindari mencampuradukkan dua tujuan – dua ekspektasi dalam satu produk. Misalnya, kalau beli asuransi, ya perlakukan ia seperti produk proteksi. Fokus pada manfaat proteksi yang diberikan, memenuhi kebutuhan kamu atau tidak. Jangan campur adukkan dengan investasi atau tabungan. Terkecuali sekali kamu sudah kaffah 100% memahami seluk beluk produk itu, sudah membuat riset perbandingan dengan produk-produk lain yang dijual terpisah, dan siap dengan konsekuensi menyangkut efektif tidaknya produk campuran itu nanti dalam membantu tujuan keuangan…

Selanjutnya, wajib hukumnya bagi kita untuk memahami detil isi polis asuransi yang kita beli. Jangan pernah beli kucing dalam karung. Setidaknya pikirkan beberapa hal ini sebelum memutuskan membeli asuransi.

Pertama, kebutuhan kita apa, sih? Tujuan kita apa? Proteksi, investasi atau menabung? Ini membawa kita pada penelusuran, produk apa yang bisa membantu kita mencapai tujuan itu. Asuransi jenis apa yang kita butuhkan. Riset juga kekurangan dan kelebihan tiap jenis asuransi. Jadi, saat berhadapan dengan agen, kita gak blank sama sekali gitu, lho. Kalau blank, yang ada kita disetir… hahaha. Lebih baik saat menghadapi agen, kita sudah tahu apa yang kita butuhkan.

Kedua, bila membeli asuransi berbalut investasi atau tabungan, pahami risikonya. Investasinya diputar di mana? Risiko paling pahit apa? Siapkah kita dengan risiko itu? dan sebagainya. Ketiga, selalu pahami dan ketahui apa saja cakupan atau coverage asuransi yang kita beli. Apakah kalau kaki patah gara-gara kecebur got akibat pas jalan kaki ngelamunin Lee Min Ho, asuransi bisa mengganti biaya pengobatannya? Semacam itu.

Keempat, kondisi perkecualian apa saja yang TIDAK ditanggung oleh perusahaan asuransi. Pelajari apa itu pre-existing condition, waiting period, survival period, dan sebagainya. Kelima, ketahui juga adakah limit maksimal biaya yang ditanggung per tindakan atau per manfaat. Biasanya disebut dengan istilah inner limit. Misalnya, biaya rawat inap maksimal Rp1 juta per hari, biaya bedah maksimal Rp100 juta per tindakan, dan sebagainya. Ini biar kita gak kaget misalnya amit-amit harus dioperasi yang biayanya sampai Rp200 juta, eh ternyata asuransi hanya cover setengahnya. Jadi, ga perlu drama. Juga, ketahui adakah/berapakah yearly limit atau batas maksimal biaya ditanggung selama setahun.

Tiap berapa lama, ada baiknya juga kita review apakah coverage yang diberikan oleh asuransi kita saat ini masih memadai atau tidak dengan kondisi saat ini. Misalnya, 10 tahun lalu belinya yang biaya kamar Rp500ribu per hari. Nah, untuk sekarang kamar rawat inap Rp500ribu per hari itu apakah masih sesuai kebutuhan kita? Dsb.

Eh, tapi, Ruisa, kalau misalnya kita tidak pernah klaim asuransi berarti kita rugi dong? Nah, ini. Ini mindset yang keliru. Kalau kita ga pernah klaim asuransi, ya, seharusnya justru bersyukur karena dikasi sehat sama Gusti Allah.

Tapi, kan, kita udah bayar premi, percuma dong kayak buang duit jadinya? Nah, lagi-lagi mindset-nya kurang pas. Coba baca lagi analogi bayar satpam untuk jagain rumah. Saat rumah aman, apa iya kita merasa rugi udah menggaji satpam?

Ruisa, aku gak mau beli asuransi. Aku asuransinya sedekah aja dan menyantuni anak yatim.

Monggo, silakan banget. Membeli asuransi itu juga pilihan individu. Bukan paksaan siapapun. Setiap orang punya value sendiri. Setiap orang juga bertanggung jawab atas kondisi finansialnya masing-masing. Your money, your responsibilty. Asuransi itu hanya salah satu cara saja dari sekian banyak strategi dalam mengelola risiko keuangan. Kalau ga punya asuransi apapun, ya, tidak apa-apa juga, bila kamu nyaman dengan itu. Di Indonesia, minimal tiap orang kini juga udah diwajibkan jadi peserta BPJS Kesehatan. Iya, itu asuransi kesehatan, tante… heheheh… konsepnya social security, layanan kesehatan dasar, bukan asuransi komersial. Kalau udah cukup dengan BPJS Kesehatan, ya tidak apa-apa banget. Kita tidak harus selalu mengikuti standar yang didengungkan oleh suara-suara di luar kita.

Kita manusia bebas, merdeka dan bisa memilih mana yang tepat untuk diri sendiri. Jadi, kita usahakan juga untuk selalu merdeka saat mengambil keputusan, apapun itu.

Demikian. Semoga bermanfaat, ya.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi