Saya Memulai Hari dari Jam 3 Pagi dan Hidup Saya Berubah

Bukan hal yang mudah di awal. Namun, sangat layak dimulai, dijalankan dan dijadikan kebiasaan.

Saya bukan seorang “morning person” bila definisi itu adalah untuk menyebut seseorang yang memiliki suasana hati terbaik kala pagi tiba. Mood saya tidak selalu oke ketika pagi datang. Saya bahkan lebih sering diliputi rasa bersalah. Terutama ketika bangun kesiangan. Dan celakanya, itu terlalu sering terjadi.

Hal yang lumrah, sebenarnya: Saya seorang ibu dengan tiga anak di mana masih ada satu anak berusia bayi yang membuat tidur nyenyak adalah kemewahan karena saya masih harus menyusuinya sesekali sepanjang malam. Kurang tidur adalah hal wajar. Kesiangan juga wajar, tapi hanya bila itu terjadi sesekali. Akan tetapi, menjadi tidak lumrah ketika bangun kesiangan itu terjadi berulang-ulang hingga terancam menjadi rutinitas yang buruk. Seperti efek bola salju, bangun kesiangan bisa menyeret jam-jam setelahnya menjadi sebuah kekacauan.

Baca: Pengalaman Menyusui Selama 7 Tahun: Keras Kepala adalah Koentji

Kamar kami ada di lantai atas. Kamar ini memiliki jendela besar dari arah timur. Tidak aneh bila kala pagi tiba, sinar matahari menerobos dengan begitu baik hati. Suara dari menara mesjid dari berbagai arah juga terdengar dengan mudah dari kamar ini. Saya tidur dengan anak saya yang masih berusia 18 bulan di sisi supaya saya mudah memberinya ASI kapan saja ia mau. Suami saya menempati ruang tersisa di sisi mana saja di ranjang itu. Lebih seringnya, sih, di sisi kanan saya. Saya tidak pernah tahu pasti karena saya seringkali sudah pulas kala ia selesai bekerja di kamar kerja di lantai bawah, dan masuk ke kamar tidur. Sedang dua anak kami, masing-masing berusia 7 tahun dan 5 tahun, walau kami sudah siapkan kamar sendiri untuk mereka, masih tidur bersama kami di kasur tambahan yang kami letakkan di samping ranjang.

Sering terjadi hari-hari di mana saya baru terbangun ketika matahari sudah menerangi langit pagi. Saya sama sekali tidak mendengar suara adzan shubuh dari mesjid sekitar. Saya hanya sekali mendengar alarm berbunyi dari ponsel saya, yang menandakan itu pukul 4.30 pagi. Tapi, selalu terlalu berat bagi saya untuk membuka mata, walau mata mengantuk saya masih sanggup mendorong tangan saya mematikan alarm itu. Lalu, tiba-tiba saja saya terbangun dengan matahari telah menerobos masuk ke kamar. Suami saya membangunkan. Ia pun sama kesiangan. Haha.

Yang terjadi selanjutnya adalah semacam pandemonium. Kekacauan. Ketergesaan. Saya segera bangunkan anak saya sulung yang harus bersekolah jam 7 pagi. Menyuruhnya salat shubuh dan segera mandi. Lalu saya segera berlari ke lantai bawah menyiapkan sarapan. Di hari-hari yang baik, suasana dapur sudah cukup baik. Tidak ada tumpukan cucian kotor berarti. Rumah tidak dalam kondisi yang kacau berlebihan. Sehingga, saya bisa menyiapkan sarapan dengan kondisi dapur cukup nyaman.

Kami memang tidak mau lagi memiliki asisten rumah tangga menginap. Sejak tahun 2018, kami memakai jasa ART pulang pergi. Nah, gara-gara pandemi, saya tidak lagi memakai jasa ART karena terlalu besar risikonya membiarkan orang luar keluar masuk rumah tanpa kami tahu seketat apa ia menerapkan protokol kesehatan di luar sana.

Namun, ada banyak hari di mana lantai bawah masih menyisakan kekacauan luar biasa. Suasana hati saya mudah jatuh menghadapi hal itu. Tapi, tidak ada pilihan lain. Saya tetap harus bekerja di tengah kekacauan itu: membuatkan roti panggang atau sandwich serta susu panas atau jus buah untuk anak-anak saya. Jangan lupa teh panas untuk suami tercinta. Di antaranya, saya membuat lemon madu peras dan mengupas buah sepiring.

Baca juga: 8 Pelajaran Finansial yang Saya Dapatkan dari Pandemi Covid-19

Di antara itu pula, ada sahutan, ada suara yang tak sabar. Berkelindan dengan anak bayi yang menangis, anak tengah yang masih ngantuk sehingga rewel, dan sebagainya. Di antara waktu itu pula saya meminta anak sulung saya membaca ulang pelajaran mengajinya dan bersiap masuk ke sekolah online. Saya juga harus menghentikan apapun yang tengah saya kerjakan bila si bayi berusia 18 bulan merengek meminta jatah susu. Saya baru bisa bernafas lega kala anak sulung saya sudah masuk sekolah dengan perut kenyang sehingga saya bisa mengurus hal lain setelahnya.

Rutinitas seperti itu bukan hal yang patut untuk dibanggakan. Ada yang tidak wajar ketika kami, sebagai orang tua, tidak mampu memberikan rutinitas yang baik dan sehat untuk anak-anak, menyuguhkan sisi diri yang terdesak dan serba terburu-buru kala jam bahkan belum berdetak di angka 7 pagi! Terburu-buru dan grusa grusu itu tidak enak. Harus ada perubahan. Tapi bagaimana dan mulai dari mana?

Lalu, saya ingat obrolan dengan ibu saya. Ibu saya bercerita, pada saya dan suami tentang pentingnya setiap orang tua melakukan tirakat atau laku prihatin. Ini adalah upaya untuk membangun kekuatan dari sisi spiritual agar tugas dan tantangan sebagai orang tua dapat terpenuhi secara lebih baik. “Ibu dulu berbagi tugas sama bapak kamu… karena Ibu susah bangun kalau udah tidur nyenyak (karena kelelahan urus anak sepanjang hari), sedang bapak kamu tidak tahan lapar… akhirnya berbagi saja: ibu tirakatnya lewat berpuasa sedang bapak yang sholat malam,” cerita ibu saya waktu itu. “Menjadi orang tua itu harus kuat tirakatnya, prihatin dan perbanyak doa…” imbuh ibu.

Saya tahu dari dulu hal itu memang seharusnya sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Tapi, susah juga memulainya, haha. Namun, tantangan dari hari ke hari yang saya hadapi membutuhkan solusi agar ada perubahan rutinitas keluarga yang lebih baik, apalagi di tengah pandemi yang meletihkan seperti ini. Saya butuh hal yang mendongkrak semangat. Kami butuh memiliki kultur keluarga dan family habit yang lebih sehat.

Baca juga: Pandemi, Aku, Tuhan juga Cinta

Motivasi juga makin kuat setelah membaca buku di bawah ini. Buku yang sangat menggugah. Di antara sekian banyak buku selfimprovement yang pernah saya baca, buku ini menyajikan pendekatan yang lebih kena bagi saya dan bisa langsung saya praktekkan. Bukan sekadar buku berisi hikmah ayat-ayat suci Al Quran, melainkan memberi sisi lain yang selama ini tidak terlalu saya pertimbangkan. Motivasi juga datang usai mengikuti kelas mindfulness dengan sebuah komunitas perempuan bersama pakar psikolog. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menunda perbaikan.

Inilah yang akhirnya saya lakukan untuk memulainya.

Langkah pertama: No more begadang!

Begadang adalah godaan besar. Bagi saya, begadang sudah menjadi kebiasaan yang sudah lamaaaa sekali terjadi sejak kuliah. Kuat-kuat saja melek sampe shubuh. Kebiasaan ini berlanjut saat saya masih jadi jurnalis sekian tahun. Ya, tidak selalu begadang sampai shubuh juga, sih. Namun, jam 11 malam tidur adalah kemewahan. Rata-rata saya baru bisa tidur jam 12 malam atau jam 1 pagi. Maklum, ya, sebagai jurnalis, hari kerja itu baru dimulai siang hari. Baru ada berita di atas jam makan siang bahkan sore hari. Kala jadi editor, laporan reporter baru masuk sore. Bila tidak mendapat jatah berita headline, saya bisa selesai jam 7-8 malam. Lain halnya bila mendapat headline, saya baru bisa selesai bekerja jam 9 malam. Alhasil, otak malah di puncak keaktifan di jam di mana orang pada umumnya sudah istirahat.

Saat masih lajang, usai bekerja, biasanya juga saya main-main dulu. Karaoke atau sekadar nongkrong dulu di mana gitu sama teman-teman. Pulang ke kos sekitar jam 11 malam, paling cepat 🙂 Jadilah jam 12 malam atau jam 1 pagi baru tidur. Bangun untuk salat shubuh pun akhirnya suka kesiangan karena jam 5.30 baru bisa melek. Tapi, karena masih lajang dan cuma mengurus diri sendiri, hal itu belum menjadi masalah besar. Kelar shubuhan juga masih tiduran lagi kecuali ada liputan pagi yang mengharuskan saya berangkat pagi.

Baca juga: Hectic Week: Pregnant Mom in Journo Life

Bahkan kala masih awal-awal menikah, belum ada anak, rutinitas serupa masih berjalan. Maklum, suami istri sama-sama jurnalis dengan jam kerja yang seperti itu. Pergi ke kantor aja baru jam 11 siang atau malah after lunch. Terutama bila tidak ada janji temu narasumber atau liputan ke lapangan di pagi hari. Rutinitas seperti ini baru berubah begitu ada anak. Kami pun perlahan berubah menjadi sedikit lebih normal menjalani hari. Terlebih saat saya pindah kerja dengan jam kerja 9to5, tidak ada lagi berleha-leha di pagi hari.

Anyway, dari pengalaman itu, satu hal yang pasti: saat saya baru tidur di atas jam 11 malam, bisa dipastikan saya pasti kesiangan alias baru bisa bangun jam 5 pagi atau bahkan jam 5.30 pagi. Memang tidak mudah menuntut tidur yang nyenyak dengan kondisi saya yang menyusui anak selama 7 tahun beruntun tiga anak. Anak terbangun ingin menyusu beberapa kali dalam semalam adalah makanan sehari-hari. Jadi, mustahil tidur nyenyak juga. Kebayang, kan, bila saya masih berani begadang ditambah tidur yang tidak bisa nyenyak, makin berkuranglah jatah tidur itu. Maka itu, langkah pertama yang harus saya benahi bila ingin memulai kebiasaan bangun dini hari adalah, saya tidak boleh begadang lagi. Maksimal jam 10 malam saya sudah harus tidur.

Supaya tidak terjebak begadang, setelah menidurkan anak-anak jam 8.30 malam, saya taruh ponsel saya. No main-main HP lagi karena HP itu bikin otak menyala terus kendati matanya ngantuk. So, ponsel saya taruh dan saya ganti rutinitas sebelum tidur dengan membaca buku. Sengaja beli lampu baca supaya saya tetap bisa membaca di tengah gelapnya kamar.

Hari pertama, susah juga memaksa bangkit dari kasur. Saya butuh setengah jam untuk bertarung dengan diri sendiri agar bangun, duduk dan berjalan ke kamar mandi.

Hari kedua, lebih mudah bangunnya. Tapi, selepas shubuh, kok, saya mengantuk lagi. Hari ketiga, si bayi menangis minta susu dan tidak bisa lepas sampai adzan shubuh terdengar. Hari-hari berikutnya, relatif lebih mudah. Dan setelah dua minggu, it works like magic! Jam tubuh saya mulai terbentuk. Jam 3 pagi berbarengan dengan alarm, otomatis saya ikut terjaga. Kalaupun tertidur lagi, jam 4 saya otomatis melek juga.

*Tips: baca buku sebelum tidur tidak perlu ambisius juga. Tetap disiplin ketika jam sudah menunjuk jam 10, walau bacaannya masih seru, tutup saja buku dan mulailah tidur.

*Tips: bagi ibu yang masih menyusui seperti saya dan masih sangat dibutuhkan oleh si bayi, sikap fleksibel dan mengelola ekspektasi bahwa melenceng dari jadwal atau rencana itu tidak apa-apa, perlu sekali dimiliki. Di awal saya sempat kesal, karena “interupsi” si bayi ini membuat berantakan schedule yang saya susun. Tapi, lalu saya ingat nasihat kakak lelaki saya. Ibadah itu bukan cuma salat atau puasa dan semacamnya. Menyusui anak juga ibadah. Mengurus rumah tangga, suami dan anak-anak juga ibadah. Bekerja apalagi, itu juga ibadah yang nilainya tak kalah mulia. Luruskan saja niat dan berusahalah tetap fleksibel serta tetap bersemangat.

Langkah kedua: Mandi dinihari

Ini sebetulnya terinspirasi dari sebuah tulisan di Medium.com. Si penulis bercerita ia membangun kebiasaan mandi pagi-pagi sekali selama 30 hari dan efeknya enak banget ke mood dan tubuh. Lebih segar, fokus dan tubuh terasa lebih fit. Jadi, saya tiru aja, deh. Bangun, langsung minum air putih, lalu jalan ke kamar mandi untuk mandi.

*Tips: Mandi dengan air hangat tidak jadi pilihan saya karena di rumah memang kami tidak memasang heater dan air hangat justru membikin kita rileks yang ujung-ujungnya malah mengantuk. So, mandi air dingin itu opsi terbaik. Apabila belum siap untuk langsung mandi dini hari karena ga kebayang dinginnya, bisa juga cuci muka dan sikat gigi saja. Itu sudah cukup meningkatkan mood dan mengusir kantuk.

Langkah ketiga: Tahajud

Begitu mandi, kantuk langsung lenyap. Saya lalu beranjak ke kamar kerja di bawah. Iya, saya sengaja salat di kamar kerja saja, hehe. Soalnya kalau di mushola yang terletak di atas, saya kuatir membangunkan anak-anak bila lampu saya nyalakan. Mushola bersebelahan dengan kamar tidur. Jadilah saya langsung saja ke kamar kerja dan salat di sana. Tidak ambisius langsung tahajud 8 rakaat. Bertahap saja hingga pelan-pelan saya bisa tegakkan 8 rakaat. Selesai tahajud, saya bisa ambil waktu untuk tafakkur, atau mengaji Al Quran.

*Tips: Hindari pegang HP untuk membuka medsos, ya. Medsos itu distraksi yang serius dan menyebalkan. Sekrol tanpa henti for nothing! Fokus saja dengan aktivitas kita di waktu itu dan nikmati pikiran sendiri.

Langkah keempat: Journaling

Bila ada jadwal puasa hari itu, seusai tahajud, saya sahur. Menu simpel: secangkir hangat lemon madu, buah sepiring dan semangkuk muesli dicampur susu. Karena saya masih menyusui, saya tenggak juga suplemen busui dan air putih yang banyak. Sembari sahur, saya dengarkan musik instrumental atau murrotal dari Alafasy.

Bila tidak ada jadwal sahur, saya gunakan waktu usai tahajud untuk menulis. Journaling. Menulis apa saja yang ada dalam pikiran. Atau, bila tidak mood menulis, saya ganti dengan membaca saja atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda. Begitu sampai adzan Shubuh terdengar sekitar jam 4.45, saya berkesempatan salat Shubuh dengan tenang…

Setelah itu, baru saya kembali lagi ke lantai atas membangunkan suami dan anak-anak untuk salat Shubuh dan memulai aktivitas harian masing-masing.

To-do-list is the key

Dalam satu hari kita memiliki waktu 24 jam. Sering kali saya merasa 24 jam itu kurang. Ini mungkin perasaan umum yang dirasakan para ibu yang harus juggling antara mengurus anak, mengurus rumah tangga, suami dan masih bekerja. Namun, ternyata dengan pengaturan waktu dan disiplin, 24 jam masih bisa dioptimalkan. Kuncinya, kalau bagi saya adalah di pembagian waktu yang jelas kapan dan untuk apa.

Supaya membantu anak-anak memiliki direksi sendiri tanpa perlu saya ingatkan berulang kali, saya susunkan jadwal harian juga untuk mereka. Saya cetak To-Do-List untuk saya, anak-anak dan suami. Lalu saya tempel di dinding agar siapa saja bisa membacanya. Beberapa kali anak-anak masih diingatkan dengan jadwalnya. Lama-lama mereka paham jam sekian harus ngapain. Mamak juga jadi berkurang ngomelnya, haha. Energy saver banget, deh!

Tidak selalu mulus, tapi layak dimulai, dijalani dan dibiasakan

Selama hampir sebulan menjalankan kebiasaan baru ini, bukan berarti selalu mulus berjalan semuanya sesuai harapan dan jadwal. Seperti saya singgung di atas, yang saya alami lebih seringnya adalah interupsi dari si bayi. Misalnya, saat tengah salat atau hendak makan sahur, tiba-tiba anak saya bungsu nangis nyari susu, hehe. Jadilah saya berlari lagi ke atas untuk menyusuinya agar ia terlelap lagi. Alhasil, jadwal lainnya mau tidak mau ikut bergeser mengikuti si Tuan Kecil ini.

Ada pula hari di mana saat saya mendapatkan periode menstruasi, lalu saya jadi kehilangan motivasi untuk bangun sepagi itu. Ya, kalau sedang mens, saya, kan, tidak wajib salat dan puasa. Namun, bila saya geser lagi jam bangun, kok, khawatir itu mempengaruhi jam tubuh saya lagi. Belum tahu, sih, solusinya gimana agar periode menstruasi tidak mengganggu susunan jadwal harian. Lebih-lebih saat mens datang, tubuh biasanya terasa remuk redam, mood juga ikutan labil. Masih jadi tantangan bagi saya agar tetap disiplin dengan komitmen tersebut.

Yang masih jadi pertanyaan juga adalah bagaimana kelak bila saya kembali bekerja di luar rumah, bukan lagi work from home dengan waktu sefleksibel sekarang, apakah jadwal seperti ini masih bisa saya terapkan dengan mudah? Tidak tahu juga. Saya memilih untuk menjalani saja dulu. Tidak perlu memikirkan yang belum pasti mengingat pandemi di negeri ini membuat frustrasi.

Yang pasti, selama hampir sebulan menjalankan kebiasaan baru ini, saya merasakan dampak yang sangat positif. Bangun jam 3 pagi memberi saya kemewahan optimal untuk merasakan me-time sesungguhnya. Suasana dini hari yang sunyi, hening,…. semesta beristirahat dan saya berkesempatan berduaan saja dengan diri sendiri dan berdialog denganNya tanpa interupsi. Menakjubkan efeknya.

Mood lebih positif, lebih berenergi, perlahan saya memiliki perspektif yang lebih jernih dalam menjalani hari dengan segala tantangannya. Menjadi lebih sabar dan bersyukur. Anak-anak pastinya juga ikut terdorong lebih berdisiplin juga. Apakah tidak mengantuk di tengah hari? Anehnya enggak ngantuk-ngantuk yang gimana. Saya biasanya power nap aja saat nemenin anak-anak tidur siang. Power nap 20 menit cukup, kalau bablas, ya, itu kala saat saya tidak punya tanggungan pekerjaan lain.

So far so good. Saya akan berusaha supaya ini semua bisa berjalan konsisten dan menjadi habit yang kuat. Semoga istiqomah 🙂

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi