5 Keputusan Penting yang Membantu Saya Bertahan Hidup di tengah Pandemi

Tanpa keberanian mengambil keputusan itu, pandemi Covid-19 akan jauh lebih tak tertahankan bagi saya.

Beberapa hari ini saya sering memutar kumpulan foto video lama anak-anak kala mereka masih bayi. Video dan foto saat mereka baru saja lahir beberapa jam ke dunia. Atau saat mereka belajar berjalan pertama kali, mengoceh dan bernyanyi, video mereka merayakan ulang tahun, atau saat berlarian di taman dan playground di mal. Saya juga putarkan kumpulan foto dan video saat saya dan suami menikah, pergi berbulan madu atau sekadar jalan-jalan berdua kala belum ada anak-anak hadir di kehidupan kami.

Saya memutar rekaman-rekaman itu di TV berlayar 40 inch di ruang keluarga, tidak seperti sebelumnya yang sebatas saya putar di laptop. Alhasil, tampilan video menjadi lebih nyata dengan layar sebesar itu. Anak-anak sangat terhibur menonton foto dan video lawas mereka. Berulang kali menanyakan hal-hal lucu seperti ini: “Itu kenapa aku tidak ada saat mama dan papa menikah?” tanya si tengah, Aqshal. Lalu, kakaknya menjawab,“Kamu, kan, belum lahir! Aku aja belum lahir..”

Hehe, menggemaskan.

Ada juga komentar yang menggiris hati, terutama kala mereka melihat video kami dahulu berjalan-jalan, liburan atau saat asyik bermain di taman. “Aku mau seperti itu lagi, ma…” atau seperti ini, “Nanti kalau pandemi selesai, aku mau main di sana yang lama ya, ma…”

Di tengah pandemi yang masih menggila, rekaman kenangan itu jadi terasa tak nyata. Surreal. Tentu saja tidak ada pemandangan orang-orang yang memakai masker di ruang publik. Tidak pula ada kekhawatiran atas ancaman penyakit yang bisa mematikan. Tidak ada kabar-kabar kesedihan massal. Tidak ada kabar kehilangan yang menyakitkan.

Sudah hampir 2 tahun kehidupan kita semua berubah dengan cara brutal karena pandemi. Kapan akan berakhir dan kehidupan kita semua bisa kembali seperti dulu kala, tidak ada yang bisa menjawab pasti. Jadi, apa yang tersisa? Satu-satunya pilihan adalah bertahan. Adapt or die.

Pandemic fatigue yang menggerogoti kewarasan…

Siapapun akan sepakat bila pandemi ini bukan cuma mengancam kesehatan fisik saja. Kesehatan mental tidak dapat disangkal lagi ikut babak belur menghadapi pagebluk. Saya sempat mengalami beberapa kali titik jatuh selama pandemi ini membekap. Kehilangan sahabat baik yang berpulang karena Covid-19, tidak bisa mudik lebaran, kegalauan memikirkan nasib sekolah anak-anak, pendapatan yang tersendat, pencairan invoice yang telat hingga berbulan-bulan, dan banyak lagi imbas pandemi yang nyata terasa di rumah kami.

Apa yang terasakan kala keletihan pandemi ini memuncak? Saya jadi semakin sensitif atau perasa. Semakin mudah bagi saya menangis. Persis seperti kisah “Airmata Buaya” di buku cerita anak karangan Clara Ng yang sering saya bacakan untuk anak-anak.

Saat pertama kali mendapatkan vaksin bulan April lalu, saya menangis di tenda observasi di tengah orang-orang yang juga diminta berdiam dulu mengantisipasi KIPI. Ada lagu Dream Theatre yang legendaris “Spirit Carries On” diperdengarkan di sana. Campur aduk rasanya. Tentu saja saja menangis diam-diam, hehe.

Pandemic fatigue juga membuat saya kerap geram dan marah, terutama setiap mendapati “keajaiban-keajaiban” penanganan pandemi di negeri ini. Hanya dengan izinNya, saya masih bisa bertahan sampai detik ini. Saya, suami, anak-anak dan keluarga besar, alhamdulillah masih sehat walafiat. Beberapa keluarga memang ada yang sempat terinfeksi Covid-19, baik di gelombang pertama maupun di gelombang kedua. Walau banyak juga yang diam-diam saja tidak bercerita kala terinfeksi. Yang terpenting, mereka semua sudah pulih dan kini telah kembali sehat.

Di titik ini, saya semakin menyadari, ada beberapa hal yang membantu saya lebih mungkin bertahan di tengah pagebluk nan brutal ini. Beberapa keputusan penting yang saya ambil di masa lalu, pada hari ini terbukti menjadi faktor besar yang membantu saya bertahan untuk tetap waras dan bertahan. Dan saya selamanya akan mengucap syukur telah berani mengambil keputusan-keputusan itu.

Keputusan pertama: Menikah

Saya akui saya dulu sempat skeptis dengan pernikahan. Ada masa di mana saya menilai hidup sendirian itu lebih cocok bagi saya: saya yang sering kali terjebak overthinking, overcriticsm, melankolis, skeptis, sinis, penggelisah, perfeksionis, endesbre, endesbre 🙂

Ada masa di mana saya ragu ada orang yang mampu memahami dan menerima saya apa adanya. Ada juga masa di mana saya merasa tidak akan cukup mampu menerima orang lain apa adanya, walau mungkin saya telah jatuh cinta setengah mati. Jatuh cinta itu mudah, namun mencintai dan berbagi hidup dengan apa adanya itu lain cerita. Memang ada masa-masa overthinking itu. Tapi, pada akhirnya segala skeptisisme itu runtuh ketika saya bertemu lelaki ini.

I knew he was the one 🙂

Prikitiewww 🙂

Walau dalam prosesnya saya sempat maju mundur meragu tidak berani berkomitmen, bawaannya overthinking dan pengin kabur selalu, hehe, namun keteguhannya -seperti namanya- meyakinkan saya bahwa kami memang ditakdirkan untuk hidup bersama. Hatinya yang bersih sering membuat saya iri, in a good way. Saya sering membatin: “Ternyata masih ada, ya, orang dengan hati sebaik dan setulus ini…”

Menikahinya adalah keputusan besar dan menjadi salah satu keputusan terbaik saya hingga detik ini. Tidak terbayangkan bila dulu saya tidak berani mengambil keputusan besar itu, kemudian bertemu tahun 2020 dan terjebak pandemi dalam kondisi lajang, sendirian, atau menikah tapi bersama sosok yang abusive, tukang selingkuh atau kualitas bobrok lain. Rasa-rasanya saya tidak akan mampu bertahan. Melewati pagebluk yang buruk ini bersama orang yang kita cintai, dengan sosok yang menyejukkan hati, terasa jauh lebih ringan, lebih masuk akal.

Keputusan kedua: Memiliki anak

Memutuskan memiliki anak tentu saja merupakan keputusan besar. Ada tanggung jawab sangat besar menyusul di belakangnya. Komitmen seumur hidup menjadi orang tua. Ya, sejak dulu saya memang ingin memiliki anak, menjadi ibu. Walau begitu, ketika menikah, semula saya ingin menunda kehamilan lebih dulu barang 3 atau 6 bulan. Tapi akhirnya batal menunda karena setelah saya renungkan, ya, saya merasa sudah cukup siap.

Baca juga: Anak-Anak di tengah Pandemi Covid-19

Dan memang Allah Maha Mengabulkan Doa. Tiga bulan setelah menikah, saya hamil. Walau berakhir kuret karena kasus blighted ovum. Namun, persis di bulan keenam pernikahan, saya kembali hamil. Lahirlah Attar, si sulung. Disusul Aqshal, 18 bulan kemudian dan Aidil, 6 tahun kemudian.

Oh, tentu saja tetap ada banyak drama. Hamil bagi saya alhamdulillah dibikin mudah oleh Allah; melahirkan juga alhamdulillah tidak terlalu drama. But, parenting is another story! Haha. Apalagi pagebluk ini membuat urusan sekolah mereka jadi lebih menantang, kebebasan bermain di luar rumah menjadi terbatas. Ada hari-hari menyenangkan. Ada hari-hari yang menantang. Kami semua masih dan terus berproses.

Namun, keputusan memiliki anak bagi saya menjadi keputusan penting terbaik yang saya syukuri setiap hari dan membantu saya bertahan hingga kini. Di tengah pandemi yang meletihkan, kehadiran mereka bak oase, sebuah “surga” yang dihadirkan khusus olehNya agar saya tetap berpengharapan dan tidak berlama-lama larut dalam keputusasaan….

Keputusan ketiga: Menambah jumlah anak

Jarak usia antara anak sulung dan anak kedua kami hanya 18 bulan. Iya, saya kembali hamil ketika si sulung baru 10 bulan. Dibilang kebobolan, ya, enggak juga. Dikatakan berencana, ya tidak pas juga, wkk. Kebobolan itu bila memang kami sengaja menunda dengan memakai kontrasepsi tapi lalu tetap hamil, bukan? Nah, saya maupun suami waktu itu tidak pernah memakai kontrasepsi, wkkk. Tapi, di saat yang sama, kami memang berharap ada jeda waktu yang “cukup” sebelum hamil lagi. Terlebih, persalinan pertama saya adalah dengan prosedur operasi bedah. Perlu jeda luka operasi, lazimnya.

Baca juga: Our 2nd Happiness: Kisah Kelahiran Aqshal

Lagi-lagi, selalu Tangan Tuhan bekerja begitu sempurna. Anak kedua lahir dan saya merasakan membesarkan dua bocah kecil bersamaan yang rasanya wow-luar-biasa-sibuk-hepi-sekaligus-pening, hehe. Kemudian disusul si bontot, yang cukup terencana kelahirannya, hadir ke dunia 4 tahun kemudian. Rumah ini tidak pernah sunyi. Selalu ramai oleh celoteh dan tingkah pola anak-anak yang sering tak terduga.

Saya tidak bisa membayangkan bila dulu kami memutuskan memiliki anak satu saja. Di tengah pandemi yang mengharuskan saya melindungi anak dengan membatasi kehidupan sosial mereka, apa jadinya bila hanya ia sendirian di rumah ini bersama dua orang dewasa yang adalah orang tuanya? Mungkin sekali akan terasa jauh lebih berat bagi mereka.

Kehadiran saudara di rumah membuat mereka tetap bisa bermain-main dengan gembira. Bermain lego, hotwheel, membuat kemah, lempar-lemparan bola, eksperimen sains bersama, membaca buku, mewarnai, bersepeda, bergulingan di taman belakang, sampai kejar-kejaran di dalam rumah… hingga berantem yang mustahil tidak terjadi, haha. Apalagi ada di bontot yang lahir persis sebelum pandemi menyapu bumi ini. Bahagia sekali ada bayi di rumah melihatnya tumbuh dari hari ke hari dengan celoteh cadel dan aromanya yang harum… I couldn’t ask for more!

Keputusan keempat: Merenovasi rumah

Semula saya membuat kesepakatan dengan suami, bahwa tinggal di rumah di Tangerang, rumah suami saya, adalah sementara. Lokasi di Tangerang, terlalu jauh dengan tempat kerja saya waktu itu -yang berjarak 18 kilometer, dan tempat kerja suami -yang berjarak 27 kilometer, keduanya di kawasan Jakarta Selatan. Saya ingin kami berdomisili di Jakarta Selatan saja, di kawasan pinggiran pun tidak masalah -seperti rumah kakak saya di Lenteng Agung, misalnya, asal jangan terlalu jauh dengan tempat kerja. Tapi, suami saya tidak setuju. Haha.

Well, isu rumah ini menjadi sumber perdebatan kami di 5 tahun pertama pernikahan, wkkk. Memang tricky. Kompromi adalah jalan satu-satunya. Saya sadar, bila memilih membeli rumah baru di kawasan yang lebih dekat ke pusat kota, kami mungkin hanya bisa mendapat rumah lebih kecil. Opsi lain, yaitu merenovasi menjadi lebih masuk akal karena biaya masih relatif terjangkau. Ya, meski biaya renovasi itu juga tak kecil dan cukup menguras tabungan.

Baca juga: Remarkable Year: Cerita Rumah Cendana – Ketika Tujuan Besar Keuangan Berhasil Terwujud

Maka, demi keharmonisan rumah tangga dan kewarasan kami berdua, keputusan harus segera diambil. Renovasi atau pindah sekalian dan beli rumah baru? Kami memutuskan renovasi rumah yang ada. Rumah ini, walau jauh dari ibukota, tapi lokasinya sangat strategis. Tak sampai 2 kilometer dari stasiun KRL, sekitar 3 kilometer saja dari gerbang tol Green Lake City. Kini ditambah lagi hanya sepelemparan kolor dari tol baru ke arah Bandara Soekarno Hatta. Di sini juga dekat dengan rumah bapak dan ibu mertua. Tetangga-tetangga pun baik-baik, alhamdulillah. Kendati lebih banyak tetangga yang berusia sepantaran ibu saya, haha.

So, jadilah pada tahun 2018 kami berhasil mewujudkan mimpi memiliki rumah sesuai kebutuhan dan selera. Alhamdulillah. Rumah yang kami bangun dengan rupa-rupa warna, airmata, pengorbanan juga suka cita. Our forever home.

Keputusan besar yang sangat saya syukuri setiap hari. Saya sulit membayangkan akan mampu bertahan melewati pandemi menyebalkan ini dengan kondisi “terkurung” di rumah lama kami dulu, yang panas, sempit, pengap, jauh dari selera. Apalagi dengan tiga anak. Di rumah kami sekarang, walau tidak mewah, namun sudah cukup membuat hasrat saya staycation ke hotel-hotel seperti dulu, surut tajam, hahahhaha. Anak-anak bisa berlarian di dalam rumah karena cukup luas, dan saya juga bisa tetap memiliki personal space saat membutuhkan.

Keputusan kelima: Financial Planning

Pandemi ini sudah melahirkan bencana lain yang tak kalah bahkan mungkin lebih buruk. Jumlah pengangguran melejit, angka kemiskinan makin besar, kesenjangan sosial kian tajam, dan rupa-rupa lain yang membuat tujuan hidup yang muluk-muluk menjadi terlalu rumit dan berat. Lalu menuntut disederhanakan menjadi satu fokus saja dulu: bertahan hidup. Literally.

Pandemi sudah berlangsung hampir 2 tahun. Bila pandemi telah merebut pekerjaan kita dan menjatuhkan nilai penghasilan -atau bahkan menjadikan kita kehilangan penghasilan sama sekali, apa, iya, dana darurat akan sanggup menjadi buffer terus menerus hingga kita mendapatkan pekerjaan baru? Tidak ada orang yang menyiapkan dana darurat secara khusus hingga 2 tahun. Selama ini, 12 bulan nilai dana darurat seharusnya sudah sangat memadai (bahkan, perusahaan saja rata-rata memiliki dana lancar paling banyak 6 bulan. Kalau kebanyakan numpuk cash, malah dinilai stagnan, tidak ekspansif, haha).

Ketika krisis berlangsung sampai bertahun-tahun seperti saat ini, pada akhirnya semua aset yang kita miliki merupakan dana darurat 🙂

Baca juga : Ketika Pandemi Meruntuhkan Cara Lama Pengelolaan Keuangan

Saya bersyukur sekali sudah menata keuangan secara lebih serius, sebelum pandemi menghantam. Tujuan keuangan besar beberapa di antaranya sudah terwujud, seperti renovasi rumah. Dana sekolah anak masih berjalan dan sebagian sudah terpakai saat anak-anak masuk sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Kini, dengan kondisi masih penuh tantangan, perlahan tapi pasti kami back on track menjalankan investasi rutin dan menabung.

Lima keputusan penting itu tidak serta merta muncul begitu saja. Sebagian besar diambil setelah melewati perdebatan panjang, perenungan dalam, beberapa bahkan diselingi airmata dan pengorbanan-pengorbanan besar. Di titik ini, saya ingin sekali lagi mengeja rasa syukur padaNya, juga berterima kasih pada diri saya di masa lampau yang telah berani mengambil keputusan-keputusan besar itu.

Alhamdulillah. Praise to Allah.

*Photo by Dayne Topkinon Unsplash

*Photo cover by Javier Allegue Barroson Unsplash

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi