Setahun Pandemi COVID-19, Apa Kabar Mental Health?

12 bulan hidup di tengah pandemi Covid-19, heartbreaking yearsi’m dealing with mental health.

Bertemu lagi dengan bulan Maret, menandai secara resmi bila pandemi ini sudah berlangsung setahun… di Indonesia khususnya, kalau di Wuhan, keknya sejak akhir 2019 sudah muncul kasus. Kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan sekitar 2 Maret 2020, kalau tidak salah ingat. Setahun kemudian, kita semua masih terperangkap dalam pandemi terburuk dalam satu abad terakhir ini…

Masih hidup, alhamdulillah.

Masih berkumpul dengan keluarga semua, lengkap, alhamdulillah.

Tetap berusaha merawat semangat menjalani situasi yang penuh tantangan ini… dengan segenap keterbatasan. Anak-anak masih sekolah dari rumah dengan segala dramanya, hehe. Kami sempat mudik sekali pada bulan November lalu. Keputusan yang tepat karena kami tidak bisa pergi kala liburan akhir tahun, khawatir crowded selain juga karena suami yang tidak bisa ambil cuti kerja (pasca libur akhir tahun itu, kasus Covid-19 di Indonesia pecah sampai faskes overload di mana-mana.. so sad...).

Dan, ya, pandemi ini memang makin menjadi-jadi. Kabar kematian semakin sering terdengar. Banyak kenalan yang terinfeksi virus itu. Awal Desember, kakak lelaki saya terinfeksi Covid-19 sampai harus menginap di Wisma Atlet sekitar 3 pekan. Sungguh mendebarkan. Syukur pada Allah, kakak saya sembuh dan kembali pulih seperti sedia kala. Paman saya di Gresik juga sempat positif Covid-19 dengan gejala ringan dan kini sudah sembuh 100%.

Suami saya juga, di awal Februari lalu, sempat harus menjalankan isolasi mandiri karena kontak erat dengan temannya yang ternyata positif Covid-19. Sungguh, berat sekali isolasi itu, gaissss. Sehari-hari saya dan suami bahu membahu dan tiba-tiba dia harus saya karantina di kamar, lalu saya berjibaku mengurus semuanya sendiri… walah…oleng maksimal, bunds… syukurlah suami tidak sampai tertular temannya itu. Sehingga, isolasi tak sampai 14 hari. Cukup 3 hari full isolasi di kamar

Namun, tahun 2021 yang masih muda ini sudah memberikan saya kabar sedih. Iya, saya kehilangan salah satu sahabat baik saya. Aviet, teman kuliah saya dan teman seperjuangan kala aktif di pers mahasiswa Sintesa, Fisipol UGM. It is so heartbreaking... betapa jahat virus Covid-19 ini merenggut nyawa begitu rupa. Saya sangat terpukul dengan kepergian Aviet. Rasanya masih tidak percaya sahabatku yang ceriwis, super energik, selalu ceria dan grapyak itu benar-benar telah dipanggilNya. Meninggalkan tiga anak yang masih kecil-kecil… sedih sekali 🙁

Sahabatku tercinta, Aviet (baju hijau)… I’ll be missing you so much, non…. tenangkan tidur panjangmu di pelukanNya…

Pandemic’s still on. Mind your mental health…

Tidak ada yang bisa memastikan kapan persisnya pandemi ini akan berakhir sehingga kita bisa kembali merasakan aman… mungkin menunggu herd immunity tercipta di mana untuk menciptakannya, setidaknya 180 juta penduduk Indonesia harus sudah divaksin Covid-19. Meanwhile, kita hanya harus bisa bersabar dan berkuat hati menerapkan protokol kesehatan, social distancing, so on… so forth...

Life must go on…

Rasa-rasanya, dengan ketidakpastian kapan pandemi ini berakhir dan hidup kita bisa kembali “normal”, normal tanpa kekhawatiran tertular penyakit infeksius itu, memang tidak ada jalan lain selain harus “menyerah”.

Menyerah dalam arti, inilah kenyataan baru yang tidak memberikan pilihan lain selain kita harus beradaptasi sedapat-dapatnya dan melanjutkan hidup “senormal” mungkin.

Berhenti berharap kehidupan sebelum pandemi bisa kembali. It is now our reality. Berhenti menunggu dan berhenti menjeda hal-hal yang sebenarnya harus dan memang bisa untuk tetap kita lakukan di tengah situasi seperti ini. Well, kalimat ini sebenarnya untuk saya, sih, haha. Ada begitu banyak target pribadi yang terjeda karena pandemi ini, juga karena kesulitan saya mengelola energi dan waktu memastikan SEMUA bisa berjalan. Tapi, mau sampai kapan terhenti dan menundanya? I owe myself big time.

Tahun lalu, selain karena pandemi yang telah menjungkirbalikkan kehidupan 7 miliar manusia di atas jagat ini, energi saya memang banyak terkuras dengan kehadiran bayi laki-laki lucu di tengah keluarga kecil kami yang sudah ramai dengan keriangan dua bocah laki-laki. So, it is fine bila mode yang tersetel adalah sebatas survival mode -gak usah macem-macem pasang target ini itu, haha; karena target sehat dan waras serta tetap hidup di tengah kegilaan pandemi ini aja udah bersyukur banget kalo bisa tercapai (i mean, 122 juta orang di seluruh dunia terinfeksi di mana 2,7 juta orang kehilangan nyawa karena virus ini!!! *data WHO per 22 Maret). Jadi, ya, selow aja gitu biar enggak makin stres. Tapi lama-lama, ya, ternyata oleng.

Bagi saya, salah satu hal yang paling menantang adalah kenyataan bahwa saya kehilangan me-time. Literally, 24 jam bersama keluarga di rumah, sulit menarik jarak. Awalnya kebutuhan akan me-time itu tidak terlalu saya hiraukan. Awalnya saya bahkan sempat merasa bersalah karena merasakan kebutuhan itu. Merasa egois. Merasa, kok, kayak kurang bersyukur, ya, masih mikirin me-time di tengah situasi kayak gini… aturan banyak-banyakin bersyukur bisa bersama keluarga terus sepanjang waktu…

Tapi…

You know what, pada akhirnya saya harus berani jujur pada diri sendiri. Bahwa, tidak apa-apa mengakui bila diri ini merindukan me-time yang cukup. Tidak perlu merasa bersalah juga bila sesekali saya merasakan kejenuhan menjalani rutinitas mengurus anak-rumah-kerja dan ingin jeda sebentar. Tidak apa-apa juga bila saya kangen dengan (((hobi))) saya dulu kabur (haha!) ke coffee shop sekadar untuk menulis di sana lalu lanjut jalan ke toko buku, pulang ke rumah bawa sekantong penuh oleh-oleh buat anak-anak. How i miss it so much. Saya harus berani jujur mengakui, bahwa memang kesehatan mental saya mulai terganggu dengan situasi ini dan saya tidak boleh mengabaikannya lebih lama. Pasalnya, efeknya nyata, kok. Saya jadi lebih mudah stres, lebih gampang merasa letih, hampir selalu merasa kewalahan (overwhelmed), dan merasa mulai kehilangan sesuatu… Tentu saja kondisi saya itu mempengaruhi interaksi saya dengan anak-anak juga suami. Mood swing, tidak sabaran, bahkan bila sudah habis energi banget, saya biarin aja anak-anak pada ngapain, hehe. Burn out beberapa kali. It is definitely not ok. Saya pun merasa jadi kurang produktif.

Lalu saya teringat, “Make sure you’re taking care yourself so that you can taking care others.. your significant others…”

Langkah pertama, saya coba menulis semua yang ada dalam kepala saya. Lalu, mengakui apa kebutuhan yang seharusnya tidak saya abaikan tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah HOW? Bagaimana saya bisa me-time di tengah pandemi yang seperti ini? Pandemi ini faktor besar yang membuat cara dan solusi lama jadi usang…

Dahulu, pergi ke kantor adalah juga me-time saya. Makanya saat ketemu hari Senin, meski bakal gedubrakan as-working-at-office-mom, saya juga excited karena bekerja adalah saatnya me-time, hehe. Pun halnya ketika saya mulai memutuskan menjadi working-at-home-mom, saya masih bisa sesekali pergi ngopi keluar, kerja di luar rumah bila ingin suasana baru. Atau, sekadar pergi ke salon/spa atau tempat refleksi enak di Tangcity itu barang 2-3 jam. Pandemi begini, gimana bisa? Hehe. Mau kabur kemana, buk? Selama 24 jam “terkurung” di rumah, nyaris tanpa jeda dan jarak terhadap apapun dan siapapun. Tiba-tiba saya mendapati wajah saya di depan kaca, berhenti sejenak (biasanya selalu cepat-cepat, selalu terburu-buru karena ya-memang-sesibuk-itu, you know lah…); Hari itu saya berhenti sejenak saat berkaca, menyisir rambut pelan dan menyapa pantulan wajah di sana: “Halo, apa kabar kamu? Maaf, ya, aku udah lama enggak merhatiin kamu….”

Saya tahu saya butuh waktu khusus dengan diri saya sendiri. Setahun setelah melahirkan, setahun pandemi berlangsung, it is time to nurturing myself again.

Yang saya lakukan akhirnya:

  1. Belajar fokus pada pernafasan. Terdengar sepele, ya. Tapi ternyata ini sangat penting. Harus saya akui, saking otomatisnya, selama ini saya hampir tidak pernah secara bernafas secara sadar -kecuali saat jogging atau yoga. Jadi, supaya lebih mindful dan terkoneksi dengan diri sendiri, saya memulainya dari hal dasar dulu: bernafas.
  2. Journaling. Menulis membantu saya berjarak dengan diri sendiri dan memudahkan refleksi. Efeknya meditatif bagi saya. Biasanya saya menulis di malam hari jelang tidur, ketika anak-anak sudah lelap dan suami masih di lantai bawah bekerja.
  3. Rutin lagi membaca buku, buku kertas atau e-book, apa aja. Saya sedang suka membaca buku sejarah dan biografi.
  4. Mulai lagi mengurus muka, hehe. Ada masanya saya dulu rajin skincare dan ikutan hype Korean skincare. Cuma, karena kurang telaten plus sibuks, jadinya males. Kini, ga ada alasan malas lagi. Ritual skincare tiap pagi dan malam menjadi momen saya “menengok” diri sendiri sebelum dan sesudah menjalankan rutinitas harian. Kali ini saya pilih skincare Jepun yang udah terbukti kualitasnya, simply karena saya malasssss cari-cari lagi. Alhamdulillah sejauh ini bagus efeknya ke kulit. Feeling positive!
  5. Belajar hal baru. Saya tahu biasanya ketika saya berhenti mempelajari sesuatu, rasanya jadi bosan lalu malah bete gitu. Jadi, saya coba cari-cari kursus online gratisan di Coursera atau ikut workshop online. Rasanya menyenangkan!
  6. Beberes kamar kerja. On going process. Kudu banget ngedandanin ruang kerja biar bisa jadi escape room yang beneran nyaman. Ini butuh modal lumayan karena masih harus belanja meja-kursi kerja, pasang AC, ngecat kamarnya dulu biar lebih cheerful, etc. Pelan-pelan aja deh, haha.
  7. Melanjutkan project pribadi yang sudah terbengkalai lama. Apa itu? Nanti saya update kala udah mulai jalan 🙂

Be present!

Kalimat ini pasti sering banget, ya, kita denger sampai kedengaran klise, haha. Padahal, bener banget, gais. Menikmati momen itulah cara termudah untuk merasakan apa itu bahagia dan penuh. Momen membacakan buku cerita untuk anak-anak jelang mereka tidur… momen bermain batu-gunting-kertas sampai ketawa ngakak-ngakak ama anak-anak… momen main gelitikan atau main monster (anak laki semua bun, kalau becandaan suka gahar emang, wkwk), momen mendengarkan sepenuhnya si bayi yang mulai belajar ngoceh dan menanggapi kalimat kita seolah-olah udah paham, haha. Priceless!

Kalau dengan suami, kami membiasakan diri makan bareng di meja makan sambil membicarakan banyak hal. Seringnya, sih, saya yang bicara dan suami bagian mendengar, hahahaha. Apa ajalah di-ghibahin. Mulai isu politik sampai isu artis, ga pernah kehabisan topik, heuehuheue.

Anyway, pada akhirnya di tengah pandemi seperti ini, bukan cuma kesehatan fisik saja yang perlu kita perhatikan dan jaga. Kesehatan mental tak kalah penting untuk dirawat. Sisihkan waktu untuk sekadar menyapa diri sendiri, tanyakan kabarnya dan apakah kebutuhannya sudah terpenuhi… Jangan mengabaikan diri sendiri. Sayangi diri kita yang sudah bekerja keras, berusaha memberikan yang terbaik pada orang-orang yang ia sayangi.

Save yourselves before you can save others…

Love you all,

RK

Lose your dreams and you might lose your mind (and yourself)

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi