Pandemi, AKU dan Tuhan juga CINTA

Tuhan menjawab doa saya bahkan ketika saya sendiri sudah lupa dengan isi doa saya dahulu…

Enam bulan dunia terpenjara pandemi corona. Enam bulan juga usia anak saya ketiga. Rasanya campur aduk. Di satu sisi, saya sungguh bersyukur kami semua masih dikaruniai kesehatan dan umur. Bisa berkumpul dan “menikmati” kelamnya 2020 ini bersama yang tercinta. Ya, betapa kelam tahun ini dan really depressing, obviously…

Sejujurnya, ada banyak waktu di mana saya harus berusaha keras untuk tetap tegak berharap ini semua akan berakhir dan kehidupan kita kembali normal seperti dulu. Ada banyak pula momen di mana saya kehabisan kata sekadar untuk berujar: SAMPAI KAPAN KEHIDUPAN SEPERTI INI? AKANKAH KEHIDUPAN KITA BISA KEMBALI NORMAL SEPERTI DULU?

Entahlah.

Ah, bukankah waktu pun sejatinya bukan milik kita?

Sampai akhirnya saya tidak ambil pusing lagi dengan berita-berita tentang corona atau betapa masih amatirnya penanganan pandemi di negeri ini… saya sudah tidak peduli. Fokus saya saat ini hanya keluarga, orang-orang tercinta. Fokusnya adalah bertahan. Tidak lain. Tidak muluk-muluk.

Dan menjadi ibu tiga anak kala pandemi melanda, rasanya oh-sungguh-luar-biasa. Terlebih ketika anak sudah harus mulai bersekolah… Oh, well..

*flashback sebentar

Saya tadinya begitu excited memasuki tahun 2020 ini. Tentu saja. Ada bayi lucu hadir di tengah kehidupan kami yang sudah berwarna oleh celoteh dua bocah. Saya membayangkan betapa ramai dan sibuknya kami berdua kelak, haha. Dua anak saatnya bersekolah dan hingga tengah hari saya bisa berdua saja dengan si bayi. Bisa me-time. Bisa bekerja penuh konsentrasi (at least distraksinya cuma satu, si bayi, haha). Bisa meeting di luar bila memang ada keperluan dan meninggalkan si bayi bersama pengasuhnya di rumah. Dan sebagainya.

Saya bayangkan, juggling dan gedubrakannya mungkin cuma di pagi hari. Seperti selama ini terjadi. Setelah itu, ya menikmati jeda untuk menata dengan lebih smooth. Lalu, mereka datang pada tengah hari, berebutan cerita pada saya tentang sekolahnya hari itu. Lalu selepas maghrib saya bisa mengajari mereka mengaji atau sekadar membaca buku cerita…

Sebelum pandemi pun, saya kadangkala harus pergi keluar bertemu klien atau saat sekadar ingin bekerja di luar, berdua saja dengan AKU. Itupun tak lama. Paling lama 4 jam. Tidak lagi seperti dulu, 10-12 jam di luar rumah. Hidup seimbang seperti yang selama ini saya cita-citakan. Tetap berkarya, tetap memiliki dunia sendiri sebagai AKU sembari juga menghayati peran sebagai ibu dan istri. Membagi waktu dengan porsi yang tepat.

Tapi pandemi membuyarkan itu semua.

Saya kini 100% adalah ibu, haha. AKU itu makin memudar dan saya merindukannya lebih dari sebelumnya. Nope, jangan salah tafsir. Ini bukan keluh. Saya sekadar ingin mendedahkan betapa pandemi ini membuat saya kesulitan menarik garis tegas di mana dan kapan saya bergonta ganti peran. Tak lain karena kini 100% saya di rumah saja. Social distancing whatever you name it, membuat saya kesulitan menarik garis itu. Karena kami 24 jam berada di ruang yang sama.

Pagi hari, jelas sibuk. Memasak, menyiapkan sarapan, bath-time. Lalu saya giring mereka belajar di kamar. Saya lebih fokus memegang anak pertama. Suami kebagian memegang anak kedua. Tentu di antara itu saya juga tetap memegang si bayi dengan segala kebutuhan dan tuntutannya. Belajar tidak lama. Saya ikuti anak, enggan menjadikan sekolah sebagai target yang harus saklek dikejar. Semata karena anak-anak ini sudah cukup berat menghadapi hidup mereka berubah dramatis dan brutal karena corona. Jangan lagi mereka tertekan hanya karena urusan sekolah.

Menginjak tengah hari seusai makan siang, seusai papanya mengajak jamaah sholat dhuhur, saatnya menggiring mereka tidur siang. Jelas bukan hal mudah. Yang mereka inginkan hanya main, main dan main, haha. Tapi bila tidak sedikit dipaksa tidur siang, sekitar jam 3 sore mereka -anak dua- itu kelelahan dan ujung-ujungnya berantem memperebutkan apapun yang bisa diperebutkan, wkwkwk.

Kala tengah beruntung, tiga anak bisa tidur siang bersamaan. Dan itu kesempatan bagi saya untuk menjadi AKU melalui aktivitas bekerja. Berapa lama itu? Setidaknya sampai adzan Ashar berkumandang. Back and forth di antara tangis bayi yang meminta susu sambil merem dan salah satu dari dua bocah itu terbangun lebih cepat gara-gara tangisan si bayi. Haha. Bila itu terjadi, bubar sudah acara kerja. Malam hari tiba. Menginjak jam 9 bila beruntung saya baru bisa kembali bersua AKU. Haha.

Tidak mudah menjalani ini. Itu harus saya akui. Ya, saya bersyukur memiliki pasangan yang hands on di hampir semua hal di mana saya merasa kewalahan. Tapi tetap saja rasanya begitu letih sampai kadang-kadang rasanya kayak mau tenggelam 🙂

Tapi lalu suatu hari saya disentakkan oleh kesadaran ini…

Syahdan beberapa tahun silam ketika saya masih bekerja sebagai jurnalis dengan jam kerja tidak normal: pergi ke kantor di atas jam 11 siang dan pulang paling cepat jam 9 malam.. kadangkala bahkan baru sampai rumah jam 11 malam. Dengan dua anak saya jalani itu. Saya punya harapan sederhana: “Semoga suatu hari nanti saya bisa tetap bekerja tanpa meninggalkan anak-anak terlalu lama. Saya cuma ingin bisa di rumah kala maghrib tiba agar bisa shalat bersama, mengaji dan menemani mereka belajar. Seperti saya dulu bersama bapak dan ibu di rumah…”

Don’t get me wrong, i really love being a journalist. Dunia kerja yang egaliter, bebas, berpikir-beropini, idealisme dan segala privilege-nya membuat saya merasakan bahwa menjadi jurnalis adalah pilihan tepat untuk saya jalani. Tapi ketika mulai ada anak, saya mulai gelisah kala itu. Masalah jam kerja terutama. Kerja jadi jurnalis itu fleksibel waktunya tapi saking fleksibelnya saya bisa nyampe rumah jam 12 malam, hahaa. Masa kecil Attar pernah merasakan itu… hehehe. Waktu itu saya masih di mingguan/Tabloid KONTAN. Karena kena jadwal piket, saya baru jemput dia di rumah kakek-neneknya, mertua saya, jam 12 malam. Dan suami, yang juga jurnalis, saat itu kebetulan sedang ditugaskan sebagai redaktur halaman 1 (halaman utama yang cetak paling akhir). Pulangnya bisa jam 1 pagi, setiap hari.

Di perjalanan pulang naik taksi dari kantor ke rumah mertua, malam itu, saya menangis, hehe. Saya marah pada keadaan. Pada suami juga. Pada diri sendiri yang seperti tak berdaya (padahal selalu ada pilihan, hehe). Wes pokoke marah pada semua, wkwkkw. Pikiran saya: “Kehidupan macam apa ini? Benarkah saya menginginkan kehidupan seperti ini? Saya tidak mau. Saya tidak sanggup. Tidak untuk waktu yang lama…” Mungkin orang lain bisa bertahan menjalankannya. Tapi, saya tahu batas diri saya sendiri. Saya tidak sanggup. Sepulang dari rumah mertua, di dalam taksi saya peluk Attar kecil yang terlelap tidur. Ketika turun di depan pagar rumah, saya minta tolong sopir taksi membawakan perintilan barang Attar. Karena untuk membuka kunci pintu pagar saja saya ribet sambil gendong Attar. Nah, apakah setelah kejadian itu lalu saya bisa langsung resign? No, tentu tidak, hehe. Banyak pertimbangan. Butuh keberanian. Butuh kenekatan.

“Growth is painful. Change is painful. But nothing is as painful as staying stuck somewhere you don’t belong”

anonymous

Sampai akhirnya hari itu tiba. Saya memutuskan meninggalkannya. Bukan hal mudah meninggalkan segala privilege itu. Tapi demi sebuah ikhtiar saya beranikan diri. Berganti menjadi corporate slave, LoL. Harapan awal adalah masalah waktu. Dengan jam kerja “normal” saya berharap bisa berada di rumah sebelum gelap. Selain tawaran gaji yang menarik, tentu saja.

Kenyataan bagaimana? Haha. Rata-rata saya baru bisa sampai di rumah jam 7 malam kendati sudah berangkat kerja dari jam 8 pagi. Uang adalah motivasi saya bertahan hingga dua tahun, hahaha (kami sedang ngebut bangun rumah kala itu, hihihi). Dua tahun saya jalani dengan segala drama, terutama masalah ART. Lalu doa saya menjadi lebih spesifik: “Oke, semoga saya bisa bekerja dengan waktu lebih fleksibel saat Attar mulai masuk sekolah dasar…”

Dan Dialah Allah SWT yang Maha Mendengar. Maha Berkehendak.

Doa itu terjawab begitu saja. Bahkan tanpa saya sadari. Setelah hampir setahun tidak lagi terikat sebagai corporate slave, persis di tahun 2020 ini, Attar masuk sekolah dasar dan saya memiliki 24 jam ada di sisinya, menemaninya belajar. Haha. Saya masih bisa bekerja, berkarya. Menghidupi AKU. Yang jadi kejutan cuma satu: saya tidak pernah menyangka doa itu akan terwujud di tengah pandemi corona, haha.

Kalau saya masih mengeluh mungkin diketawain ama Tuhan: “Lha, elu sendiri kan yang minta ini dulu?” HAHAHA.

source: Pinterest

Tuhan memang suka ngajak becanda, ya. Dia kabulkan doa-doa yang mungkin kita sendiri bahkan sudah lupa pernah menyitir doa itu. Alhamdulillah. Begitu sayangnya Ia pada hambaNya yang sebenarnya masih sering bandel seperti saya ini.

Hal sama yang sering saya alami ketika berada di situasi kurang baik. Tuhan sering berbicara langsung pada saya. Pernah suatu ketika saya merasa sangat letih, burnout, kombinasi antara kelelahan, hormon yang kacau, cuaca panas, haha… saya merasa kewalahan, tidak mampu menjalankan semua peran yang diberikan. Akhirnya saya cuma diam saja dan buka laptop, baca-baca tulisan lama saya. Di situ saya temukan tulisan tentang mimpi dan harapan, saya tuliskan kehidupan seperti apa yang ingin saya jalankan nanti. Tertegun, dong. Karena apa yang saya harapkan ketika itu, sejatinya sudah saya jalankan saat ini. Persis, haha. Tidak kehilangan DIRI, AKU, dan tetap memberikan yang terbaik sebagai ibu, sebagai istri. Lengkap dengan rumah seperti apa yang ingin saya tinggali.

Begitu juga cerita tentang saya dan suami. Saya ingat dulu suka mendengarkan lagu yang dinyanyikan Once, vokalis DEWA. Judulnya “Ku Cinta Kau Apa Adanya”. Saya putar berulang-ulang. Zaman-zaman alay lagi broken heart gak jelas, eeaa. Aku kerasin lagu itu sambil ngomong, ada gak ya sosok kayak gini beneran? Bukan cuma lagu? Haha. Ingat sekali waktu itu ada salah satu kolega di kantor lama nyeletuk: “GAK ADA LAKI-LAKI KAYAK GITU.. LELAKI KAYAK GITU CUMA ADA DI LAGU, RUISAAAA..”

source: Pinterest

Saya terkekeh. Masak, sih? Aku mau, ah, cari orangnya, hehe. Dan Tuhan Maha Menjawab Doa. Now i have the best life-partner from Allah. I could not ask for more. Terutama di bait “Aku mau cintai kekuranganmu…” huhuhu. Saya punya banyak sekali kekurangan, yang bahkan sering membuat saya kesal ama diri sendiri. Lalu mendapati ada orang yang mau keras kepala tetap setia di sisi dan mencintai bahkan di saat kita sedang tidak cinta pada diri sendiri, it’s PRICELESS. Itu pun kuasa Allah SWT. DikabulkanNya.

Apa lagi? Ah, yang juga saya ingat kejadian ini, nih. “Kamu gak bakal kaya kalau nikah sama dia…” ada, lho, yang komentar begini ketika itu. Komentar spontan di depan banyak orang, teman-teman saya, dengan nada melecehkan, ketika saya dalam hitungan bulan hendak menikah. Hehe. No, dia tidak sedang bercanda. Mukanya serius pas bilang gitu. Jahat, ya. Ya, anggap aja komentar orang sirik yang tidak suka dan tidak rela melihat saya bahagia 🙂

Faktanya, setelah menjalani hampir satu dasawarsa, saya kaya raya, gaes. Alhamdulillah. Bila ukuran kaya adalah mereka yang punya aset di atas Rp100 miliar, ya, saya memang belum jadi orang kaya, hahaha. Levelnya masih middle class – pas pasan. Pas butuh, pas ada, haha.

Tapi saya kaya raya dalam definisi ini: Anak saya tiga sehat, aktif, lucu. Sungguh rezeki besar dariNya. Saya berjodoh dengan sosok lelaki yang baik, ngerti agama, kenal Tuhannya, setia, lucu, gak biyayakan, family man, bapak yang baik juga, banyak deh kalau mau disebut, haha. Kekurangannya pasti ada namanya juga manusia, bukan malaikat, LoL. Tapi masih lebih banyak kekurangan saya, kok, haha.

Apa lagi yang membuat saya merasa kaya? Keluarga besar yang rukun ayem, tenteram, bertetangga, berkomunitas dan bersahabat dengan orang-orang baik…

Rasa tenang menjalani hidup, menjalankan peran sebagai istri, sebagai ibu, dan berusaha tetap menjadi diri sendiri: Hidup berkah, itu yang saya cari. Itu gimana merupiahkannya, gaes? Saya tidak mampu merupiahkannya. Tentunya begitu berharga sampai tidak mampu saya hitung. Seperti hendak menghitung jumlah bintang di langit. Iya, semua itu titipan semata. Dan saya merasa beruntung.

Semua sudah dikabulkan oleh Allah…

Ismail: Tuhan telah mendengarkan doa.

Terakhir terjadi, di hari Arafah, sehari sebelum Idul Adha, saya berpuasa. Suara takbir mulai terdengar dan sisi melankolis saya meradang. Saya kangen ibu saya, kangen kakak dan adik saya di Gresik, keponakan-keponakan, keluarga besar, kangen rumah asal saya… pandemi ini membuat saya gagal mudik. Dan saya kesal. Marah. Terhadap kondisi yang semakin tak pasti. Segala hal jadi terasa berat dan menyebalkan. Saya berkeluh kesah.

Dan tahukah apa yang terjadi setelah itu? Sebuah paket datang. Bude saya di Gresik sana mengirimi tape ketan, makanan kesukaanku sedari kecil. “Aku buatkan kamu tape, buat lebaran… biar gak sedih karena gak bisa mudik gara-gara corona…” ujar bude saya, yang biasa saya panggil Wak Ibuk, melalui sambungan telepon di malam takbiran. And I had goosebumps. Saya merasa Tuhan tengah bicara langsung pada saya… memeluk saya dan memberi kasih sayangNya yang tak berbatas. Saya menangis, hehe. Merasakan CINTA melimpah. Kayak dibisikin gitu olehNya: “Mau ditunjukin kayak apa lagi?” Hehehehe.

So, here I am. Feeling content.

Alhamdulillah.

Fragmen-fragmen itu makin menyadarkan saya pentingnya menaruh harapan baik. Be careful what you wish for… Seburuk apapun kondisi yang tengah kita hadapi, tetap sisakan untuk harapan baik, sesederhana apapun di sudut hati kita, yang sering lemah dan resah. Karena Allah Maha Mendengarkan Doa. Dan kita tidak pernah tahu kapan doa itu terkabul atau doa yang mana yang Ia kabulkan…

Juga tentang rasa syukur. Urip iku wang sinawang. Begitu orang Jawa bilang. Lihat sekeliling. Ada orang yang baru merasa bahagia bila sudah berhasil mengendari mobil berharga miliaran rupiah. Ada juga orang yang begitu saja bahagia hanya dengan melihat benih cabe bertunas di pekarangan rumah. Bahagia itu tentang mindset. Tentang disiplin pikiran. Proses yang dinamis. Di sini-Kini-Kosong.

Bahagia adalah pilihan. Tapi, rasa syukur perlu dilatih.

Be mindful. Eling, waspodo, syukur.

*Tulisan ini akan saya baca lagi terutama saat hati mendung butuh vitamin, hehe.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi