Risiko Inflasi Tinggi Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi, Apa yang Harus Kita Antisipasi?

Ada ancaman inflasi hingga ke level 5,26%-8,15% pada tahun 2021 seiring target pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi corona. Apa yang perlu kita antisipasi?

Hari ini, bulan Juli sudah menginjak angka 21. Apa kabar pandemi Covid-19 di Indonesia? Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah melampaui China, yaitu di angka 88.214 kasus per 20 Juli 2020. Yang rada ngeri, kasus di China yang lebih rendah “didapatkan” setelah menggelar tes hingga 90 juta spesimen. Indonesia? Kasus sebanyak itu ditemukan dari angka pengetesan yang cuma 1,2 juta tes. Apa kabarnya bila tes digelar hingga 90 juta spesimen? Bakal seberapa banyak TERNYATA kasus Covid-19 di negeri ini?

Melihat itu semua, di tengah masih banyaknya hoax yang beredar di masyarakat, ketidakdisiplinan memenuhi protokol Covid-19 sesederhana memakai masker, dan penanganan yang masih tertatih-tatih, membuat perasaan saya rada frustrasi. Pertanyaan mendasar menjadi sulit terjawab. Kapan pandemi ini akan berakhir?

Anak-anak mulai bersekolah. Online tentu saja. Dengan segala keterbatasan dan ekspektasi yang tidak kesampaian, saya berusaha mengajak Attar dan Aqshal menikmati sebisanya. Paling-paling yang masih susah itu ketika saya harus membatasi keinginan mereka bermain di luar rumah… karena teman-teman di sekitar rumah tidak ada yang memakai masker. Bikin paranoid jadinya. Daripada daripada ya sudahlah, mulut harus rela dower kasi penjelasan dan kompensasi.

Baca juga: 8 Pelajaran Finansial yang Saya Dapatkan dari Pandemi COVID-19

Anyway. Efek pandemi sudah kemana-mana ya gaes. Haha. Di rumah saya juga kian nyata. Kantor suami mulai menerapkan efisiensi dengan memangkas tunjangan transportasi. Tidak besar potongannya tapi tetep aje jadi mengurangi nilai penerimaan. We’re not alone, tho. Di luar sana, banyak yang lebih signifikan potongannya, ada yang sampai 20% (that’s a big number, IMO), bahkan ada yang hingga 50% karena industrinya terdampak pandemi dalam kadar sangat parah… atau malah terkena layoff.

Anyway lageee, walau suami akhirnya terkena juga efek pandemi, alhamdulillah-nya sebelum itu terjadi kami sudah mendapatkan banyak ganti. Ada beberapa side hustles baru, project-project baru yang insyaallah nilainya lebih dari cukup untuk menutup target pendapatan keluarga.

Kembali ke laptop.

Senin lalu saya membaca salah satu headline di Harian KONTAN. Ada risiko peningkatan inflasi antara 5,26%-8,15% tahun depan seiring dengan upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi. Angka inflasi segitu, bukan angka kecil, ya. Dan memang itu masih sebatas perkiraan di atas kertas oleh bank sentral. Cuma, nih, cuma. Kondisi pandemi ini kan sedikit banyak mempengaruhi pasokan pangan imbas dari restriksi lalu lintas ekspor impor seiring kebijakan negara-negara untuk mengendalikan pandemi… Terganggunya suplai di tengah permintaan yang mulai meningkat seiring pemulihan ekonomi, tentu saja akan mempengaruhi harga. Di sisi lain, bunga acuan masih berada di titik terendah sepanjang sejarah yaitu 4%. Bunga deposito di bank juga paling tinggi masih berada di kisaran 5,5% (counter rate), kecuali special rate untuk penyimpanan dengan nominal khusus, biasanya bisa lebih tinggi dari bunga penjaminan.

Mengantisipasi ancaman inflasi tinggi, apa yang bisa kita antisipasi sejak kini? Ada beberapa yang bisa kita lakukan supaya daya beli kita tetap terjaga tidak tergerus inflasi kendati terjadi penurunan pendapatan karena terjadinya pandemi ini. Apa saja? Berikut pendapat saya 😉

1. Amankan dana darurat dulu

Tidak henti-hentinya ini saya dengungkan, hehe. Iya, dalam situasi penuh ketidakpastian seperti ini, langkah penting yang utama adalah memperkuat safety net kita. Jaring pengaman keuangan pribadi. Melalui apa? Perkuat dana darurat dulu. Jangan neko-neko dulu deh. Kuatkan dulu dana darurat hingga di level yang menurut kamu memadai dan melahirkan rasa aman yang cukup. Ada orang yang baru merasa aman ketika dana daruratnya mencapai 12x nilai pengeluaran bulanan, ada juga yang dengan dana darurat sebesar 6x nilai pengeluaran bulanan sudah merasa nyaman. It’s up to you.

Kalau mengacu pada ukuran normatif dari perspektif financial planning, besar dana darurat yang ideal minimal sebesar 6x nilai pengeluaran rutin kamu setiap bulan. Jadi, bila sebulan pengeluaran kamu mencapai Rp10 juta, ya kumpulkan dana darurat minimal sebesar Rp60 juta. Sisihkan setiap kali mendapatkan pendapatan ke rekening khusus dana darurat. Lama-lama pasti terkumpul.

2. Mindful spending

Pandemi ini mengajarkan lagi tentang pentingnya mindful spending. Apa, sih, maksudnya? Iya, jadi lebih sadar dan berhati-hati mengeluarkan uang. Haha. Yang biasanya blas blus blusssshh belanja sana sini tanpa mikir panjang karena cuma punya satu pikiran “ah nanti juga gajian lagi” kini mungkin ga berani lagi seimpulsif itu. “Iya kalau gajian lagi? Iya kalau perusahaan tempat kita bekerja masih sekuat biasanya? Iya kalau tidak terkena layoff?” dsb, dst.

Jadi, be wise with your wallet. Pandemi masih lama. Pemulihan ekonomi juga entah apa kabarnya nanti. Lebih baik berjaga-jaga.

3. Cek lagi kecukupan asuransi

Asuransi itu penting, gaes. Saya tidak hendak berdebat soal riba vs nonriba di sini ya. Itu terserah masing-masinglah. Pilihannya di luar juga banyak, kan, ada asuransi konvensional dan ada juga yang proteksi syariah. Yang ingin saya sampaikan di sini, asuransi adalah bagian dari safety net yang penting untuk diamankan. Asuransi jiwa bagi pencari nafkah utama keluarga. Juga asuransi kesehatan bagi keluarga.

Baca juga: Mengenal Asuransi Jiwa Lebih Baik

Asuransi jiwa kita butuhkan untuk melindungi penghasilan si pencari nafkah keluarga. Jadi, ketika penghasilan yang dibutuhkan untuk menghidupi keluarga terhenti karena si pencari nafkah tutup usia, keluarga yang ditinggalkan masih memiliki bekal sementara untuk melanjutkan hidup.

Asuransi kesehatan gimana? Bersyukurlah sejauh ini Indonesia sudah memiliki BPJS Kesehatan. Dengan segala kekurangannya, jaminan sosial yang lahir sejak tahun 2014 ini terbukti semakin membaik layanannya dari waktu ke waktu. Bila kamu merasa kurang nyaman dengan BPJS Kesehatan, tambahi saja dengan asuransi kesehatan komersial. Banyak juga yang terjangkau dan bisa dikombinasikan manfaatnya dengan kepesertaan BPJS Kesehatan.

4. Investasi kemana agar inflasi bisa kita lawan?

Sebelum bahas pentingnya investasi, sudah pada paham, kan, kalau inflasi itu nyata dan bisa bikin kita “miskin” tanpa sadar? Inflasi kata lainnya adalah kenaikan harga-harga barang dan jasa. Dalam perekonomian yang terus bertumbuh, inflasi adalah hal yang sulit ditolak. Pasalnya, permintaan barang akan terus meningkat seiring kenaikan daya beli. Permintaan yang terus naik akan mempengaruhi harga barang.

Contoh mudah kayak kemarin. Permintaan atas masker dan hand sanitizer meningkat pesat, harganya langsung meroket gak kira-kira. Yang biasanya cuma harganya cuma Rp10 ribu bisa-bisanya melesat hingga ratusan ribu rupiah. Harga masker terkena inflasi (alhamdulillah sekarang udah normal, yeee).

Lama-lama inflasi bisa menggerogoti daya beli kita. Yang semula dengan uang Rp10 ribu kita bisa mendapatkan masker, gara-gara inflasi kita harus merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah agar bisa membeli masker…

Cara menghalau inflasi ada dua: Pertama, terus meningkatkan penghasilan agar kenaikan harga barang bisa kita imbangi dengan kemampuan dompet memenuhinya. Kedua, berinvestasi yaitu menempatkan sejumlah dana di sebuah instrumen dengan harapan dana itu bisa tumbuh melampaui tingkat inflasi.

Nah, investasi kemana di tengah kondisi pandemi yang bikin frustrasi seperti ini?

Reksa dana pendapatan tetap

Sebelum terhantam pandemi Covid-19, perekonomian sejatinya sudah lesu darah karena perang dagang Amrik-China. Sepanjang tahun 2019, Bank Indonesia selaku bank sentral sudah memangkas bunga acuan hingga empat kali berturut-turut. Kebijakan itu diambil supaya perekonomian yang lesu bisa terpacu untuk bangkit. Apa daya… belum jua bangkit sudah dihantam badai besar pandemi corona. Menggelepar macam ikan terlempar ke daratan. Hingga kini bunga acuan BI sudah berada di level terendah sepanjang sejarah di angka 4%. Tren penurunan bunga acuan kemungkinan masih akan berlanjut agar pemulihan ekonomi bisa terstimulasi…

Bunga acuan yang terus menurun sejatinya kabar baik bagi harga obligasi. Ini juga menjadi kabar bagus sekali bagi kinerja reksa dana berbasis obligasi atau surat utang, seperti reksa dana pendapatan tetap (fixed income mutual fund). Mengutip Edisi Khusus Tabloid KONTAN Maret 2020, kinerja reksa dana terbaik sepanjang tahun 2019 adalah reksa dana pendapatan tetap. Tercatat, Infovesta Fixed Income Fund Index 90 yang mengukur rerata kinerja produk reksa dana pendapatan tetap, mencapai 10,77%. Untuk tahun ini, pertumbuhan reksa dana pendapatan tetap diprediksi akan stabil di kisaran 7% per tahun dengan asumsi suku bunga turun di kisaran 4%-4,25%.

Jadi, bila kamu bingung mau investasi kemana di tengah pandemi seperti ini, kamu bisa memilih reksa dana pendapatan tetap. Prospeknya masih menjanjikan. Reksa dana pendapatan tetap cocok untuk mendukung tujuan keuangan jangka pendek-menengah antara satu tahun hingga empat tahun.

Emas

Emas adalah favorit orang Endonesah dalam menempatkan dana setelah deposito bank. Betul apa betul? Hehe. Apalagi saat harganya kemarin melesat hingga nyaris Rp1 juta. Wuiihh, langsung makin banyak yang nanya gimana kalau investasi di emas saja, hehehe. Emas memang memiliki kelebihan yang mungkin tidak dimiliki instrumen investasi lain. Antara lain, harganya relatif stabil dan cenderung naik dari tahun ke tahun. Ada barangnya, fisik emas yang bukan cuma bisa dijual bila kamu butuh uangnya, tapi bisa juga digadaikan. Emas memang kondang sebagai safe haven atau aset lindung nilai di kala dunia pemodal penuh ketidakpastian seperti saat ini.

Baca juga: Menabung Emas di Pegadaian atau Brankas LM Antam?

Harga emas Antam setahun terakhir, mengutip Kontan.co.id, sudah meningkat 31,2%. Jauh mengalahkan keuntungan aset lain seperti deposito bank yang cuma 5% ataupun surat utang pemerintah yang imbal hasilnya di kisaran 7% doang. Jangan lagi dibandingkan ama reksa dana saham yang ancur-ancuran, hehee. Jadi, bila kamu sudah banyak memiliki emas saat ini, bolehlah menyungging senyum lebar, hihihi.

Mau lanjut berinvestasi di emas di tengah pandemi, apakah oke? Oke-oke saja, sih, menurut saya. Selama bukan ditujukan untuk investasi jangka pendek, ya. Pasalnya, harga saat ini sudah cukup mahal. Per gram emas Antam sudah di angka Rp963.000 per gram per 21 Juli 2020. Kalau ukuran 100 gram yang kerap menjadi acuan harga emas di pasar, harganya sudah Rp905.120 per gram. Hingga akhir tahun nanti, harga emas Antam diprediksi bakal tembus rekor Rp1 juta per gram! Bila mencari keuntungan jangka pendek, saya tidak menyarankan. Tapi, bila untuk “tabungan” yang baru akan dicairkan tiga atau lima tahun lagi, emas masih oke jadi pilihan.

Apalagi sekarang bukan cuma bisa beli emas di Antam, tapi bisa juga membeli emas di Pegadaian, juga marketplace kayak Tokopedia atau Bukalapak. Yang paling “aman” tetap cash and carry, sih, menurut saya. Tapi, semisal kamu malas nyimpen emas sendiri, kamu bisa memilih beli emas digital di perusahaan yang kredibel.

Reksa dana pasar uang

Sepanjang tahun 2019 lalu, rata-rata produk reksa dana pasar uang mampu mencetak pertumbuhan sebesar 5,8%. Jawara kedua setelah reksa dana pendapatan tetap di kelompok instrumen mutual fund. Walau cimit-cimit gak jauh beda dengan imbal hasil deposito bank yang berkisar 5,5% per tahun, tapi masih mendingan banget daripada reksa dana saham yang nilainya anjlok hingga minus 7,23% selama 2019.

Tahun ini, reksa dana pasar uang diperkirakan akan stabil tumbuh di kisaran 5%. Bila bunga acuan kembali turun, maka kinerja reksa dana pasar uang kemungkinan juga akan ikut tertekan hingga di rentang 4% saja. Mengapa? Ini karena reksa dana pasar uang memiliki aset dasar (underlying asset) berupa sertifikat deposito bank dan surat utang jangka pendek di bawah setahun, juga dana kas.

Reksa dana pasar uang juga cocok untuk menaruh sebagian dana darurat. Soalnya, ia cukup likuid alias mudah dicairkan sebagaimana deposito bank.

Properti

Banyak yang BU alias butuh uang, hehe. Jadi, tidak sedikit orang yang akhirnya terpaksa menjual aset propertinya dengan harga rada miring. Bagi kamu yang kategori SULTAN, investasi properti bisa jadi pilihan kala pandemi begini. Saya belum cek sih bunga KPR berapa saat ini, apakah juga ada penurunan.. tapi secara teori kala bunga acuan melandai turun, seharusnya bunga bank juga ikut luruh…

Tapi kalau kamu duitnya udah segunung, ya bisa beli tunai… manfaatkan masa-masa krisis kayak gini di mana kamu bisa “panen” properti harga diskon, uwuwuwu.

Saham

Ada banyak saham yang harganya sudah terdiskon saat ini tersapu badai besar kerontokan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akibat pandemi. Bila kita punya tujuan keuangan jangka panjang di atas 7 tahun, belanja saham saat harganya sudah cukup murah merujuk pada indikator seperti Price Book Value (PBV) dan Price to Earning Ratio (PER), boleh jadi adalah langkah tepat. Beberapa sektor saham yang prospektif kala pandemi begini, antara lain, sektor healthcare atau kesehatan, farmasi, dan lain-lain.

Jadi?

Dengan tetap semangat berinvestasi, risiko inflasi tinggi di depan nanti bisa kita tangkis. Pilih instrumen investasi yang paling sesuai dengan tujuan keuangan kamu dan profil risiko yang berbeda-beda setiap orang. Keep rock and roll!

Bila kamu perlu berkonsultasi finansial dan mendapatkan advis dari profesional perencana keuangan, silakan klik di sini ya.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi