The Latte Factor: Pengeluaran Receh yang Bisa Bikin Bangkrut (bahkan sebelum kita nyadar...)

Keluarin duit kecil itu suka gak nyadar bikin kita lebih boros. Kalau dicermati, pengeluaran recehan itu bisa, kok, dikelola agar tidak sampai membuat keuangan kita gak bolong.

Beli kopi kekinian, jajan gorengan, beli air minum dalam kemasan, beli ini itu yang sekilas memang receh, mungkin cuma di bawah 50k harganya tapi lama-lama bisa bikin keuangan bocor gede, hehe. Hati-hati dengan “The Latte Factor”.

Saya punya kenalan. Namanya, sebut saja Mita. Mita ini itungannya masih muda, usia di bawah 30 tahun. Sudah bekerja lima tahunan di sebuah perusahaan finansial teknologi. Keahliannya di bidang digital marketing terbukti ampuh mengantarkan Mita meraih penghasilan lumayan di belantara ibukota. Usia belum 30 tahun pendapatan udah hampir Rp20 juta, kan, lumayan, ya.

Mita punya kartu kredit tiga biji. Semuanya aktif dipakai transaksi. Belum lagi aplikasi payment kayak GoPay, OVO, GrabPay, LinkAja, dan lain-lain itu. Banyak promonya, jadi ya kepake semua. Gaji udah gede, masih muda, belum ada cicilan kredit besar (rumah masih nebeng ortu), belum nikah jadi ya gak ada tanggungan yang signifikan…

Cuma, suatu ketika si Mita ini sedikit curhat tentang tagihan CC-nya yang mulai numpuk gara-gara dia keseringan bayar minimum payment. Pertanyaan alamiah saya adalah: “Apa yang membuat kamu memilih bayar minimum payment? Emang tagihannya segede apa sampai gak milih full payment aja?”

Dan jawaban Mita: “Ga cukup duitku, kak… jadinya ya aku bayar seadanya duit…” Wih, ngeri-ngeri sedap, bukan? Gaji lumayan gede, tanggungan gak ada, tapi bayar CC kok susah mau full payment. Setelah diteliti lagi, keuangan Mita emang agak “lampu kuning”. Dia lagi nyicil gadget mehong pake CC tenornya sampai 12 bulan pula, belum lagi bayar member gym, langganan berbagai aplikasi streaming, belanja online dan jajan pake aplikasi on-demand seperti GoFood dan GrabFood yang ternyata mayan juga memakan isi dompet. Dalam sebulan, jajan lewat aplikasi-aplikasi itu bisa habis 1 juta bahkan 2 juta. Buset, kan? Jajannya pun receh: kopi, martabak, salad buah, kadang kala ayam geprek, belum jajan boba, wkwkw.

Sampai-sampai Mita cuma kesisa uang buat ditabung Rp500 ribu doang dan Rp500 ribu buat bayar premi asuransi. Hmm. Familiar gak dengan cerita Mita? Setelah saya bantu financial check up, salah satu langlah yang perlu dia lakukan selain menyelesaikan utang kartu kredit sesegera mungkin adalah melakukan penghematan serius di pos-pos pengeluaran gak penting yang sebenarnya bisa banget ditunda atau dikurangi. Salah satu yang paling mudah untuk dipangkas adalah pengeluaran receh yang sering tidak kita sadari. Bahasa kerennya “The Latte Factor.

Receh tapi lama-lama bisa menjebol dompet

The Latte Factor ini istilah yang dipopulerkan oleh seorang motivator keuangan Amerika Serikat David Bach. Mengapa namanya Latte? Soalnya Bach merujuk pada kebiasaan orang Amrik jajan kopi dalam perjalanan ke kantor… iye, seperti yang biasa kita lihat di pilem-pilem holiwud, hehe.

Jajan kopi kalau tiap hari juga lama-lama bikin jebol. Anggap saja setiap hari kerja kita jajan kopi kekinian seharga Rp20 ribu, kalikan 20 hari kerja udah dapet angka Rp400.000 lho, gaisss. Remeh dari segi nilai tapi rutin dilakukan. Mengutip survei yang dilakukan oleh Bank Permata, dikutip oleh Tirto.id Februari 2017 lalu, terungkap bahwa 9 dari 10 orang mengeluarkan uang lebih dari Rp900.000 untuk membiayai pengeluaran receh tapi rutin itu. Angka itu lumayan besar bahkan bisa melebihi pengeluaran rumah tangga untuk listrik dan air. Padahal, bila dikendalikan, uang itu bisa lebih produktif bila dialihkan untuk ditabung, berinvestasi atau melengkapi proteksi.

Yuk, tengok apa saja “The Latte Factor” yang sering kita lakukan:

1. Jajan kopi kekinian

Ini juga “Latte Factor” saya, haha. Saat lagi suntuk dan butuh mood booster, saya suka jajan kopi kekinian. Apalagi saat lagi banyak kerjaan. Wih, bisa tiap hari jajannya. Dulu saat masih ngantor di kawasan perkantoran, bisa lebih parah jajannya, wkwkw. Walau seringkali memanfaatkan promo, sih.

Yuk, coba kita hitung, ya. Anggaplah kita suka jajan kopi kekinian seminggu empat kali dengan harga rata-rata Rp20 ribu. Dalam satu bulan berarti kita beli Rp80 ribu x 4 alias Rp320 ribu. Setahun berapa, gais? Rp3,84 juta. Widih, mayan juga, haha. Bila ingin berhemat atau mengalihkannya menjadi pengeluaran produktif, kamu bisa menempuh dua cara.

Baca: Rajin Naik KRL Bisa Menghemat Gede, Cek Itungannya di Sini

Pertama, tetep pengin ngopi tapi biar lebih hemat, keluar modal aja buat bikin kopi sendiri. Ini yang saya tempuh. Saya beli moka pot di e-commerce seharga Rp80 ribu dan kopi Papua seharga Rp50 ribu sebanyak 250 gram, ditambah gula aren (lupa berapa gram) Rp30 ribu. Total keluar uang Rp160 ribu. Udah sebulan belum habis itu kopinya, haha.

Nilai penghematan sebesar Rp160 ribu

Kedua, mengurangi jajan kopi kekinian. Ya, i know, kadangkala kalau udah suka ama rasa kopi adonan merek tertentu, susah mau pindah selera. Anggap saja kamu malas bikin kopi sendiri dan udah kadung demen ama kopi merek A. Ya udah, kalau emang niat mengurangi pengeluaran, turunkan aja frekuensi jajannya. Yang biasanya seminggu 4x turunkan jadi 3x atau kalau bisa 2x aja. Jadi, yang semula bisa habis Rp320 ribu sebulan, bisa dikurang jadi Rp240 ribu atau jadi Rp160 ribu per bulan.

Nilai penghematan sebesar Rp80 ribu hingga Rp160 ribu

2. Rokok

Para penggemar rokok baik yang ideologis maupun yang non-ideologis pasti nyengir sinis baca ini, haha. Tapi, ini beneran duit, sih, menurut saya. Coba aja ya harga rokok sebungkus saat ini berapa, sih? Merek rokok yang banyak diburu orang itu Djarum Super, Dji Sam Soe ama Sampoerna Mild. Anggaplah ambil harga menengah ya, sekitar Rp27 ribu. Sehari sebungkus. Jadi, seminggu 7 bungkus habis uang Rp189 ribu. Sebulan bisa ngabisin Rp756 ribu. Setahun berapa, gaisss? Rp9,072 juta aja, kakak!

Hampir Rp10 juta buat ngitemin paru-paru! Serem. Tinggal nambahin sedikit udah bisa jadi sepeda motor, hahaha. Ya, kurang-kurangilah. Kalau susah mau langsung berhenti, ya bertahap aja. Motivasinya ga usah duit. Motivasinya kesehatan aje. Anggaplah per hari biasa sebungkus, digeser jadi sebungkus buat dua atau tiga hari gitu. Embuh gimana caranya saya juga gak paham, LoL, gak pernah kecanduan nikotin jadi ku tak tahu trik paling jitu untuk mengurangi konsumsi rokok.

Cuma gini, ya… kalau ntar bayar tagihan kartu kredit aja milih minimum payment sedang duit untuk jajan rokok masih segede itu, rasanya kok pengen noyor, ya, haha. Atau yang lebih parah: bayarin SPP anak aja nunggak, tapi jajan rokok jalan terus.. Hmm rasanya kok ga bener kalo kejadiannya kayak gitu.

3. Air minum dalam kemasan

Ini juga kebiasaan jelek saya, sih. Suka lupa bawa bekal minum saat keluar rumah. Sedang sering mudah kehausan. Akhirnya ya beli di minimarket. Ga berasa, paling-paling cuma goceng, kan. Tapi kalau keseringan, lama-lama ya banyak juga. Mana nyampah plastik makin banyak, ckckckk. Berapa, sih, gedenya pengeluaran receh ini?

Anggap aja kita beli air mineral botol setiap jalan kerja, jadi goceng dikalikan 20 hari kerja sekitar Rp100 ribu per minggu atau Rp400 ribu sebulan. Setahun bisa berapa, gengs? Yes, duit habis Rp4,8 juta untuk beli air minum, hehehe. Setara nilai pajak mobil kelas low-middle itu, wkwkw.

Trik mudah, ya, biasain bawa tumbler atau botol minum sendiri. Biar ga nyampah terus dan ga keluar duit receh yang lama-lama gede juga…

Baca juga: Jurus Menghemat Listrik Prabayar dan Pascabayar agar Tagihan Terkendali

4. Biaya transfer antar bank

Harus diakui sistem perbankan di negeri ini masih belum efisien. Bank juga getol berburu pendapatan komisi transaksi (fee based income). Salah satunya dari fee transfer antar bank ini. Sekarang rata-rata biaya transfer antar bank berkisar Rp4.000 hingga Rp6.500 per transfer. Kalau kita terhitung sering melakukan transfer ke rekening bank lain dalam sebulan, lebih baik mulai cari alternatif transfer tanpa biasa. Soalnya kalau dilakukan sering dan rutin, lama-lama ya banyak. Kan, #sayanguangnya eeaaa.

Caranya gimana? Pakai aplikasi bebas biaya transfer kayak Flip. Bisa juga ganti rekening transaksi kamu ke bank yang memberikan fitur bebas transfer. Kayak saya sekarang lebih sering transfer dari rekening bank A yang memberi kuota 25 kali transfer antar bank bebas biaya. Mayaaannnn.

5. Langganan streaming movies

Hari-hari ini hiburan emang semakin buanyakkkk. Teve mah udah lewat ga ada yang lihat. Nontonnya ya di Youtube. Selain itu, so pasti langganan streaming movies. Mulai Netflix, iFlix, VIU, Hooq, dan lain sebagainya. Ada serial yang lagi hype, jadi ikutan langganan A. Penasaran dengan serial lain yang juga lagi hits dibicarain nitijen +62 jadi bela-belain ikut langganan B. Pengiiin banget lihat film legend yang belum sempat saya telpon, ya akhirnya langganan streaming lainnya lagi. Eh itu mirip saya, sih. Hahahah.

Murah emang sekilas. Palingan Rp50 ribu. Satu lagi paling-paling Rp30 ribuan. Kalau dikumpulin semua, ya, lama-lama banyak juga nilainya. Dan tahu gak, setelah saya jalani (ciyeeehh), ga guna langganan segitu banyaknya, ampun kapan nontonnya?! Aslik. Kejadian di saya itu seringnya saya ngabisin waktu scrolling mau nonton yang mana, wkwkwk. Biasanya pun yang bisa saya tonton secara khusyu itu paling banyak dua serial. Gak bisa lebih dari itu karena ya emang ga ada waktu. Jadi, nasihat buat saya adalah be wise and make prioritize. Akhirnya ku berhenti langganan beberapa kanal streaming itu, trus mempertahankan satu aja yang udah jadi bagian dari paket telpon pascabayar. Itupun jarang juga saya tonton, ckckkck.

Baca juga: Bingung Duit Lari Kemana Aja? Benarkah Mengelola Keuangan Sesusah Itu…

Kesimpulannya:

Mengatur keuangan itu enggak susah selama ada uangnya (haaa! yaeyalah) dan selama kita paham mana prioritas yang perlu didahulukan, juga pos-pos mana yang bisa kita hemat. Karena seringkali yang terjadi kita sering merasa kere karena mudah kehabisan duit, yang ternyata habis buat jajan-jajan yang sejatinya kurang penting atau bisa diatur.

Paling enak, sih, emang kalo duit infinity jadi ga pake pusing berhemat-hemat? Benarkah? Salah gaes. Duit sebesar apapun kalau enggak dikelola ya lama-lama bisa jebol. Kalau anak konglomerat atau anak sultan kan bebas, kakak? Iya bebas, sih, cuma bukan berarti ga ada risiko bangkrut. Ada kok cerita anak konglomerat yang sampai bikin bapaknya kehilangan perusahaan super besar yang udah dibangun sampai berdarah-darah.. ada.. googling aja 🙂

Intinya, juga gak usah kecil hati kalau pendapatan masih relatif terbatas. Yang penting belajar kelola dulu yang bener. Giat cari pendapatan tambahan. Atau, cari pekerjaan yang bisa memberi gaji lebih guede. Semua sah-sah aja selama halal. Dan pastikan kita mengelolanya dengan benar supaya manfaatnya optimal dan membawa berkah bagi kehidupan. Gitulah kira-kira, gaissss :))

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi