Menabung dan Investasi di tengah Pandemi COVID-19, di Mana, ya, Enaknya?

Wabah Covid-19 memaksa kita lebih ketat mengelola keuangan. Urusan menabung dan investasi pun menuntut pertimbangan khusus. Kemana enaknya menabung dan investasi di tengah wabah begini?

Beberapa waktu lalu ada beberapa teman saya yang japri menanyakan, kalau semua instrumen investasi tengah terjun bebas harganya dan risiko fluktuasi masih tajam karena ketidakpastian gara-gara corona masih lama, enaknya kita menabung atau investasi kemana… Mau masuk ke pasar saham mumpung harga-harga saham, termasuk saham bluechip tengah terdiskon besar, kok, ya, masih gamang. “Ketidakpastian masih lama gara-gara si copad copid.. ga berani gw masuk ntar pas jebol parah gimana..” begitu celetuk seorang kawan.

Mau ke reksa dana? Ya sama aja, haha. Reksa dana saham, reksa dana campuran yang mengandung equity sebagai aset dasar, harganya ikut ancur minah. Reksa dana pendapatan tetap dan pasar uang saja yang sejauh ini masih cukup stabil tumbuh.

Bagi saya, menabung di mana atau berinvestasi apa itu bukan cuma berdasarkan tujuan keuangan. Tapi, juga kenyamanan kita masing-masing. Ada orang yang lebih nyaman menabung dalam bentuk emas, ada juga yang menempatkan dana di simpanan bank seperti deposito. Ada juga yang gak masalah berinvestasi di saham dengan segala risikonya. Atau bahkan main forex atau cryptocurrency semacam bitcoin dan kawan-kawan. Jadi, bila saya suka ditanya kemana enaknya nabung dan investasi, pertama-tama yang perlu dilihat adalah profil risiko (yang juga bisa untuk mengukur tingkat kenyamanan kita berinvestasi di sebuah instrumen), dan apa tujuan keuangannya.

Kalau tujuan keuangannya adalah persiapan uang pangkal sekolah anak satu tahun lagi, tentu kurang pas bila memilih saham sebagai tempat investasi. Target pemakaian tinggal 12 bulan lagi, berinvestasi di saham yang sebenarnya lebih cocok untuk jangka panjang, jelas enggak pas. Yang ada malah rugi karena keok tergilas fluktuasi tajam harian, hehe. Ya, kecuali kita udah sejago om Satrio Utomo yang kerjaan hari-hari trading saham, sok atuh gakpapa… hahaha (ikut kelas beliau dulu gih kalau mau jago trading saham, qiqiqi).

Hal yang sama saat beberapa teman japri kala melihat harga emas naik tinggi, trus lalu turun lagi dan abis itu naik lagi… Lha kalau dilihatin tiap hari, pusing dirimu, om dan tante, wkwkw. Terkecuali ente niat trading emas, trading saham, beda lagi ceritanya ya.. tapi kalo niatnya investasi jangka panjang, ya udahlah jangan dipelototin tiap hari, hahaa. Maka itu tujuan keuangan itu penting (buat apa duitnya, mau dipake kapan, dsb) dan profil risiko kita (kenyamanan melihat fluktuasi harga, kesiapan kehilangan pokok modal, dsb).

Lebih enak balik lagi aja ke prinsip investasi yang simpel. INVESTASI, kan, pada dasarnya adalah mengembangkan dana agar tak kalah dengan inflasi (penurunan nilai uang kertas). Supaya investasi untung, maka BELI SAAT HARGA MURAH dan JUAL SAAT HARGA SUDAH NAIK CUKUP TINGGI SESUAI TARGET UNTUNG KITA. As simple as that.

Masih perlukah menabung dan berinvestasi di tengah Pandemi COVID-19?

Harus diakui, tantangan perekonomian di level rumah tangga kala dunia dibekap pandemi seperti ini, tidak ringan. Seperti sudah saya ulas di artikel-artikel sebelum ini, hampir semua orang terkena dampak. Pendapatan berkurang, tunjangan dipangkas, THR dicicil, dan lain sebagainya. Di satu sisi kita melihat pasar modal sudah tergerus banyak… harga emas terus melambung tinggi, dan sebagainya… apakah kita perlu terus melanjutkan menabung dan berinvestasi?

Jawabannya bisa bermacam-macam, gais.

Apabila dari sisi pendapatan yang kita dapatkan saat ini masih memadai untuk mencukupi kebutuhan prioritas antara lain kebutuhan makan (belanja dapur), biaya operasional rutin (listrik, air, internet), kewajiban rutin (SPP sekolah anak, cicilan kredit); trus masih ada sisa yang bisa kita tabung, ya, lanjutkan saja menabung dan berinvestasi itu. Pastikan juga dana darurat sudah aman, ya. Kalau belum aman, ya amankan dulu. Tabungkan sebagian untuk memperkuat buffer atau bantalan terhadap guncangan di depan nanti. Di mana nabungnya? Lebih baik di aset yang mudah dicairkan sewaktu-waktu, seperti tabungan biasa, deposito, obligasi ritel yang bisa dijual lagi tanpa harus nunggu jatuh tempo (kayak ORI, Sukuk ritel, dan sebagainya), ataupun emas…

(Walau saya cenderung melihat pada akhirnya semua aset yang kita tabung dan kita miliki, apakah itu di tabungan biasa, deposito, emas, hingga paper investment kayak reksa dana, obligasi, saham, sampai tanah atau properti, pada akhirnya bisa berperan sebagai dana darurat ketika situasi darurat duit, yekan?)

Sebaliknya, bila pendapatan yang saat ini sudah banyak berkurang dan untuk nutup pengeluaran prioritas saja udah mulai engap, suka tidak suka, acara menabung ditunda dulu. Mungkin bisa, sih, bila agak dipaksa, misalnya dengan menghemat pengeluaran yang sebenarnya masih bisa ditunda… lalu hasil penghematan itu disisihkan untuk tabungan… atau, cara lain yaitu mencoba tambahan pendapatan sehingga masih ada penghasilan yang dapat kita peruntukkan untuk tabungan.

Apabila dana darurat sudah aman dan pendapatan yang kita peroleh saat ini masih sangat memadai menutup kebutuhan prioritas, lanjut saja menabung dan investasinya. Lagi-lagi, tetap sesuaikan dengan tujuan keuangan, target pemakaian dana dan profil risiko kita.

Nah, berikut ini beberapa pilihan tempat menabung atau berinvestasi yang bisa kita pertimbangkan di tengah pandemi Covid-19.

1. Tabungan rencana bank

Ingin memulai nabung tapi susah disiplin? Coba saja membuka rekening tabungan rencana di bank. Hampir semua bank memiliki produk ini. Tabungan rencana memungkinkan kamu disiplin menabung karena dana di rekening kamu akan otomatis dipindahkan ke rekening tabungan rencana (autodebet) sesuai tanggal yang sudah kamu pilih… dan dana yang sudah dipotong itu tidak akan bisa kamu gunakan sampai jatuh tempo. Misalnya, tabungan rencana selama 1 tahun atau 2 tahun. Bisa, sih, dicairkan di tengah jalan tapi biasanya ada konsekuensi seperti dikenakan pinalti atau imbal hasil bulan berjalan tidak diberikan…

Kelebihan tabungan rencana, kita bisa memaksa diri nabung dengan nominal semampu kita. Misalnya, Rp500.000 per bulan… Jadi tidak perlu nunggu ada duit gede dulu untuk memulai. Kekurangannya apa? Imbal hasilnya kuecil banget, wkwakakak. Mentok-mentok 4% per tahun. Lha kalau inflasinya aja 5%-6% per tahun, sama aja duit kita berkurang nilainya… selain itu, pajaknya juga sama dengan produk simpanan bank pada umumnya yakni 20%. Mayan gede.

2. Simpanan berjangka (deposito)

Sesuai namanya, produk bank ini adalah tempat kita menempatkan sejumlah dana dalam jangka waktu tertentu mulai 1 bulan sampai 24 bulan. Untuk itu, kita akan mendapatkan imbal hasil sesuai tawaran bank. Ada yang memberikan 5% per tahun.. ada juga yang di atas itu…. bank-bank yang likuiditasnya tinggi (bahasa sederhananya, duitnya banyak), sante aja kasi imbal hasil rendah, LoL. Sebaliknya, bank yang likuditasnya agak ketat, berani kasi imbal hasil agak tinggi. Bagi kita, nasabah, lebih baik main aman ajalah… pilih aja deposito yang menawarkan imbal hasil sesuai tingkat penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), saat ini sebesar 5,5% per tahun. Jadi, kalau sampai ada apa-apa, dana kita masih aman insyaallah. Kita bisa memilih apakah imbal hasilnya diberikan rutin tiap bulan ke rekening transaksi, atau digulung (roll over) ke deposito tersebut.

Kelebihan deposito? Imbal hasil yang diberikan lebih besar daripada produk tabungan rencana. Dana dikunci biar tangan kita ga gatel make buat belanja, hehe. Bisa, sih, dicairkan sebelum jatuh tempo tapi lagi-lagi ada konsekuensinya, seperti pengenaan pinalti atau imbal hasil bulan berjalan tidak dibayar. Untuk menghindari itu, kamu bisa pilih deposito yang tidak mengenakan pinalti. Ada banyak, kok, sekarang bank yang menawarkan deposito nonpinalti begitu. Trus, supaya gak ribet, pilih aja deposito online. Ga perlu datang ke bank.. cukup buka rekening deposito sendiri melalui aplikasi mobile banking atau internet banking.

Kekurangan deposito yang lain? Dana yang ditempatkan harus sudah cukup besar. Rata-rata bank mensyaratkan dana minimal Rp10 juta baru bisa kita buka rekening deposito. Walau, sejauh yang saya tahu ada juga bank yang menyediakan produk deposito online di mana kita bisa buka rekening mulai Rp5 juta atau Rp8 juta gitu… selain itu pajaknya mayan juga 20% per tahun.

3. Obligasi negara ritel atau sukuk ritel (ORI atau SUKRI)

Wah, apa pula ini, mak??? Obligasi atau sukuk pada dasarnya adalah surat utang. Ini termasuk paper investment. Sederhananya begini: negara Republik Indonesia melalui pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai pembangunan. Untuk itu pemerintah menerbitkan surat utang yang dia tawarkan kepada para pemodal dengan perjanjian memberikan imbal hasil tertentu setiap periode yang telah disepakati di depan. Jadi, bila kita berinvestasi di ORI atau SUKRI ini kita bertindak sebagai kreditur atau pemberi pinjaman pada pemerintah. Oleh pemerintah, duit yang kita tempatkan digunakan untuk membiayai APBN. Sebagai imbalan, pemerintah memberi imbal hasil setiap tanggal tertentu…

Bulan Juli ini pemerintah menawarkan ORI seri 017 dengan imbal hasil tetap 6,4% per tahun. Lebih lengkapnya, kamu bisa cek FanPage RuisaKhoiriyah.com di Facebook (jangan lupa Likes yaaa, hihihi) atau follow Instagram @mayruisa. Di situ udah saya cantumkan simulasi investasinya juga…

“Aku takut kena riba nih kalau investasi investasi segala di obligasi…” mungkin ada yang nanya gini? Ya udah, pilih aja investasi di Sukuk ritel, ini versi syariah dari ORI. Gampang, toh? Hehe.

4. Reksa dana pasar uang

Masih asing dengan reksa dana? Bayangkan sebuah keranjang. Nah, keranjang itu berisi uang yang diinvestasikan oleh para pemodal, termasuk kita yang menempatkan dana di situ.. Nah, dana yang ada di keranjang itu dikelola oleh manajer investasi, diputar ke berbagai instrumen investasi (disebut aset dasar atau underlying assets), seperti sertifikat deposito, saham, obligasi, dan lain-lain.

Reksa dana pasar uang termasuk kategori reksa dana dengan risiko paling rendah karena memiliki aset dasar berisiko rendah juga, seperti sertifikat deposito, surat berharga negara dengan tenor di bawah setahun, obligasi ritel dan dana tunai. Fluktuasi harga kecil dan karena itu juga peluang keuntungan juga tidak besar, tapi masih bisa di atas imbal hasil deposito bank. Bisa 7% per tahun bahkan lebih. Memulai investasi jangka pendek di reksa dana pasar uang tidak membutuhkan modal besar. Banyak produk reksa dana pasar uang yang sudah bisa kita beli dengan modal puluhan ribu rupiah saja.

Ada reksa dana pasar uang konvensional, ada juga yang syariah. Pilih aja sesuai kenyamanan kamu.

5. Reksa dana pendapatan tetap

Disebut juga fixed income mutual fund. Reksa dana pendapatan tetap bisa menjadi pilihan untuk mendukung tujuan keuangan jangka pendek-menengah antara 1 tahun hingga 3 tahun ke depan. Sesuai namanya, reksa dana ini mayoritas berisi aset-aset dasar berupa obligasi atau efek surat utang, baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun swasta.

Reksa dana jenis ini memiliki risiko di atas reksa dana pasar uang. Seiring dengan itu, prospek imbal hasil reksa dana ini bisa melampaui reksa dana pasar uang. Produk investasi ini juga cenderung memfokuskan pada tingkat pengembalian alias return yang stabil. Tahun lalu, reksa dana pasar uang tumbuh paling tinggi dibanding reksa dana saham yang memang caur banget tahun 2019, LoL (apalagi tahun ini, bray, hahaa).

6. Emas

Emas naik daun banget sejak pandemi ini merebak. Di mana-mana diburu. Maklum ya. Emas itu nilainya kan cenderung stabil. Saat terjadi ketidakpastian ekonomi, bau-bau krisis gitu, emas pasti diburu untuk menjadi alat lindung nilai alias hedging… itu juga mengapa emas disebut dengan istilah Safe Haven. Harganya yang relatif stabil menghadapi inflasi dan cenderung naik terus dari tahun ke tahun (walau pernah jeblok juga harganya, bang), tapi secara umum emas masih oke buat pilihan tabungan hari depan, menurut saya.

Kelebihan emas selain pertumbuhan harganya cukup stabil dalam jangka panjang, emas juga bisa digadaikan selain dicairkan seperti biasa apabila kita butuh duit. Zaman sekarang, beli emas juga gak seribet dulu. Ada banyak sekali cara beli emas yang tidak menuntut modal gede. Kayak di Pegadaian, beli emas bisa dengan duit Rp5.000 aja. Belinya juga ga harus ke toko emas… bisa beli di apps fintech, marketplace dan aplikasi toko emas yang emang jualan emas kayak Orori, BrankasLM dan Pegadaian Digital.

Kekurangannya apa? Kalau beli fisik, nyimpennya PR banget. Kuatir ilang, haha. Ya kalau cuma punya emas 10 gram mah, cincay. Lha kalau sampai 100 gram atau 500 gram gitu? Bisa sih beli brankas sendiri di rumah atau kalau ogah ribet, sewa aja safe deposit box di bank. Bisa juga berganti beli emas online/digital. Tapi, ini juga melahirkan risiko baru. Misalnya, pas mau cetak ternyata gabisa atau antri… pas mau jual ternyata ribet, dan sebagainya. Cek ulasan lebih dalam tentang emas di sini dan perbandingan tempat investasi emas di sini, yaaa.

Itu dulu, deh, ya, hahaha. Jadi, walau tengah suram begini perekonomian, kalau masih memungkinkan menabung dan berinvestasi, just go for it… pilih sesuai kenyamanan dan profil risiko, juga target pemakaian dananya kapan (tujuan keuangan). Semangat!

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi