10 Adaptasi Finansial yang Saya Lakukan agar Isi Kantong Aman

Adaptasi finansial penting dilakukan menghadapi pandemi Covid-19 supaya “nafas keuangan” tetap panjang.

Hai halo, lama tak jumpo. Setelah lebih dari tiga bulan #diRumahAja, rasanya oh-sungguh-luarbiasa. Melewatkan bulan puasa dan lebaran yang lain daripada yang lain. Tidak mudik. Tidak tarawih ke mesjid sekalipun selama 30 hari di bulan Ramadan. Sholat Id di rumah saja. Tidak ada baju baru. Kue lebaran sih tetep lah ya biar masih ada suasana lebarannya. Alhamdulillah dikirimin kuker dari Gresik. Saya juga sempat beli makanan khas kampung halaman untuk isi toples di rumah. Sekadar mengobati rindu huhuhu…

Menjelang hari-H, suami saya yang jago masak malah semangat masakin rendang, sambal goreng ati dan opor ayam. Luarbiasa. Pengertian bangetlah suami nih. Dia tahu istrinya patah hati tidak bisa mudik sehingga tidak semangat melakukan apapun, hehe. Sebab lain, ya emang masakan dia di tiga menu itu lebih enak daripada saya, wkwkw. Love you, beb…

Oke, kembali ke laptop.

Tiga bulan kita dipaksa di rumah saja demi melindungi diri dari infeksi corona sekaligus membantu memperlambat penyebaran virus berbahaya itu. Begitu banyak kabar kurang menyenangkan yang mampir di telinga. Bukan hanya kabar meninggal yang makin banyak karena infeksi corona itu. Kabar lain yang juga makin sering terdengar adalah tentang kelangsungan usaha. Beberapa perusahaan sudah memberlakukan efisiensi dalam berbagai bentuk. Teman-teman saya di media berbagi kabar, tentang media A yang terpaksa memotong gaji karyawannya hingga 20%, media B yang memangkas gaji karyawan level atas saja, media C yang menyicil pembayaran THR karyawan mereka. Kantor suami juga termasuk yang menempuh langkah tersebut. THR yang seharusnya dibayarkan full dua pekan sebelum Lebaran, akhirnya dibayarkan dalam dua tahap yaitu Mei dan Juni. Gaji alhamdulillah tetap aman, haha.

Langkah perusahaan-perusahaan media menempuh efisiensi seperti itu hanya contoh kecil dari sekian banyak kisah lebih pilu tentang imbas corona pada kelangsungan usaha. Sektor pariwisata, hotel, restoran, sudah tiarap duluan. Menurut catatan KADIN, hingga Mei 2020, sekitar 6 juta orang terkena PHK dan dirumahkan sejak pandemi ini melanda. Tidak mengagetkan bila akhirnya pemerintah lempar handuk putih melihat sektor perekonomian sekarat seperti itu…

Wacana New Normal pun digaungkan.

New Normal maksudnya apa, sih? Yang saya tangkap, masyarakat diminta melakukan adaptasi dengan kembali beraktivitas di luar rumah dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19. Supaya apa, gaes? Yes, supaya perekonomian kembali bergerak. Walau tertatih. Kebijakan yang kontroversial kalau tidak disebut nekat mengingat kondisinya saat ini angka penderita Covid-19 justru terus meningkat. Tapi, ya, itulah kebijakan yang dipilih. Konsekuensinya terhadap penambahan jumlah kasus infeksi Covid-19 mungkin baru bisa kita lihat bersama pekan-pekan ke depan nanti.

Anyway, bila melihat kasus pandemi Flu Spanyol sekira tahun 1918 itu, paling tidak memang butuh 2 tahun sampai dunia kembali berjalan normal… Jadi kita tidak lagi hanya bicara 6 bulan atau setahun. Covid-19 mungkin sudah tidak lagi menjadi ancaman kala vaksinnya berhasil diciptakan. Maraton. Yes, kita harus cukup kuat bertahan dengan cara hidup baru ini: pakai masker atau face shield saat di ruang publik, sering-sering cuci tangan, bekerja lebih banyak dari rumah, belum akan dining out atau jalan-jalan ke mal… anak-anak belum akan bersekolah dengan normal ke sekolah… dan sebagainya…

Lelah? Wajar. Kesal? Jangan lama-lama. Jalankan saja dengan rasa syukur karena hingga detik ini kita masih diberikan kesehatan dan bisa berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai.

Adaptasi finansial agar keuangan “nafas”nya lebih panjang…

Di atas sudah saya singgung betapa pandemi ini efeknya semakin terasa. Suami saya bekerja di perusahaan media yang cukup besar. Gaji sih masih aman. Hanya THR saja yang sempat dibayarkan dalam dua tahap tempo hari. Saya, sebagai self-employed alias freelancer, memang tidak mendapatkan THR. Tapi, yang cukup membuat tertegun adalah kala imbas Covid-19 ini terhadap freelancer seperti saya justru datang lebih cepat dari dugaan, haha (padahal tadinya santee kayak di panteee, LoL).

Apa itu? Invoice dari klien telat semua cairnya, gaes. Klien yang sebenarnya bukan perusahaan ecek-ecek, ya. Perusahaan yang lumayan gede semua.

Sebenarnya invoice telat cair itu biasa, ya, bagi freelancer. Rata-rata honor cair paling lama 45 hari kerja setelah submit purchase order. Yang luar biasa, nih, akibat Covid-19, invoice yang saya miliki terlambat dibayarkan hingga lebih dari 2-3 bulan. Wow! Cukup rekor. Dari invoice senilai sekian dollar (ngarep, LoL) eh rupiah, yang cair bulan Mei lalu cuma 5% doang, wkwkwk. Ketawa miris. Cukuplah buat jajan cilok, hahaha. Jadilah rasanya kini saya seperti “menabung invoice“. Invoice sudah banyak tapi entah kapan dibayar. Alasannya, sih, katanya mereka terdampak Covid-19. Hmm.

Alhamdulillah, tidak berpengaruh besar terhadap cashflow. Terlebih lebaran tahun ini memang prihatin. Jadi, pengeluaran memang tidak sebanyak lebaran tahun-tahun lalu. Lebaran kali ini saya hanya fokus pada hal penting ini: zakat dan sedekah. Zakat karena itu wajib. Sedekah karena lebaran memang saat yang menyenangkan untuk memperbanyak sedekah dan berbagi. Semampu kita tentunya 🙂

Kebetulan Mei adalah bulan lahir saya. Jadi, saya merayakan ulang tahun kemarin dengan berbagi pada kaum dhuafa: membayar fidyah –karena saya ibu menyusui bayi 4 bulan yang tidak bisa berpuasa penuh. Juga, membagi hantaran ke tetangga-tetangga sekitar rumah sebagai bentuk syukuran kecil. Makanannya pun tidak beli di merek-merek besar itu. Saya memesan ke tetangga rumah yang punya usaha katering. Itung-itung ngelarisin dagangan tetangga. Alhamdulillah.

Happy bday to me 😉

Tapi..

Berkaca dari pengalaman invoice-telat-cair-kebangeten itu, saya akhirnya menempuh langkah adaptasi finansial supaya keamanan kantong tetap langgeng lebih lama di tengah pandemi yang entah kapan bakal berujung. Apa saja bentuk adaptasi finansial saya? Berikut 10 adaptasi finansial yang saya lakukan di tengah pandemi Covid-19:

1. Berhenti langganan Netflix dan HBO GO

Setelah berhenti langganan Netflix -karena ga sempet nonton jadinya mubazir, saya sempat beralih langganan HBO Go. Di antara itu, saya juga sempat double langganan Catch Play dan VIU juga, hahahahah. Gara-gara drakor legend “The World of Married People” itu lhooooo, LoL. Langganan HBO GO impulsif aja waktu lihat iklannya lewat di temlen pesbuk, astaga, super impulsif, hihihi. Film-nya bagus-bagus pastinya. Trus langganan Catchplay sebentar karena penasaran ama film tentang wabah (aneh banget gak tuh alasan, haha).

Adaptasi finansial yang tempuh adalah memangkas pengeluaran untuk langganan-langganan begini. Selain alasan utama yaitu TIDAK SEMPAT NONTON. Ya, bayangin saja, saya ada bayi 4 bulan dan dua toddler, wkwkw. Masih harus masak, beberes rumah dan bekerja. Niat berlangganan buat me-time kala anak-anak udah tidur, saya mau nonton. Kenyataannya, saat anak-anak tidur, saya pun ikut merem, LoL.

Baca juga: Bingung Duit Lari Kemana Saja: Benarkah Mengatur Keuangan Sesusah Itu?

Akhirnya yang masih bertahan saat ini adalah VIU. Ini karena langganan VIU menjadi bagian dari paket HALO Telkomsel saya, sih. Jadi, ya udahlah ya. Berapa, sih, biaya berlangganan streaming itu? Langganan Netflix itu Rp109 ribu per bulan, Catchplay kalo tidak salah Rp35 ribu per bula. Sedangkan HBO GO, Rp60 ribu per bulan.

Nilai penghematan: Rp200an ribu per bulan

2. Downgrade paket telepon pascabayar

Saya pelanggan HALO Telkomsel sejak beberapa tahun lalu. Saat pertama kali mengambil paket HALO, saya memilih yang paket Rp150 ribu per bulan. Paket itu terdiri atas internet, voice (telepon ke sesama Tsel dan semua operator) juga SMS. Bila pemakaian tidak melebihi kuota, yang sudah pasti saya bayar adalah Rp165 ribu termasuk pajak. Itu minimal pembayaran, ya. Lebih seringnya, sih, over kuota hingga kena hampir Rp200 ribu per bulan.

Nah, karena sekarang saya beneran di rumah saja, ponsel lebih sering pakai Wi-Fi karena rumah juga udah berlangganan Wi-Fi yang satu paket dengan TV kabel. Jadilah, saya merasa paket HALO saya itu jadi mubazir internetnya. Maka, adaptasi finansial perlu ditempuh: downgrade paket HALO ke paket lain yang lebih murah. Kebetulan saat pergi ke Grapari tempo hari karena SIM card bermasalah, saya ditawari promo langganan HALO Kick Gold Rp100 ribu per bulan sudah termasuk internet, telepon dan SMS dan entertainment VIU. Lebih dari cukup. So, saya bisa jaga pengeluaran untuk ponsel maksimal Rp110 ribu sudah termasuk pajak. Mayaaann kan?

Nilai penghematan: Rp60 ribu-Rp80 ribu per bulan

3. Menutup kartu kredit VISA PLATINUM

Ini adaptasi finansial yang belum terealisasi tapi sudah masuk rencana mendesak. Saya sebenarnya sayang sama kartu kredit ini. Ini kartu kredit pertama saya yang saya dapatkan tanpa aplikasi apapun. Tiba-tiba aja datang dikirim ke kantor. Limitnya gede pula. Tapi, karena saya makin jarang memakai dan reward-nya juga dikit, jadi males untuk lanjut. Selain karena saya udah putus hubungan dengan bank penerbitnya itu…

Alasan lain, karena sudah ada kartu kredit dari bank lain yang lebih oke memberikan reward. Iya, dari BCA. Satu BCA Card dan satu lagi suplemen jenisnya VISA. Walau kartu kredit ini limitnya di bawah kartu kredit satunya itu, tapi dari sisi reward sangat memuaskan.

Baca juga: Saya Dulu Pernah Anti Kartu Kredit, Sampai Akhirnya…

Menutup kartu kredit VISA Platinum ini seharusnya mudah saja karena saya memang tidak ada cicilan apapun. Yang PR cuma mengurus penutupan yang agak riweuh karena harus lewat telepon dan beberapa kali mencoba nutup lewat CS itu agak-agak ngeselin, ya. Tapi, ini udah masuk agenda yang harus direalisasikan, sih. Jadi, bulan ini sudah harus beres. No, saya tidak sayang dengan limit kartu yang gede itu.. karena, ya, selama ini kartu kredit saya perlakukan hanya sebagai alat pembayaran non-tunai, bukan sebagai sumber pembiayaan alias utang. Jadi, menutupnya tidak akan berpengaruh apapun pada keuangan saya.

Nilai penghematan: Rp600 ribu per tahun annual fee (tiga tahun ini gratis, sih).

4. Menunda pengeluaran untuk rumah

Maklum, ya, rumah ini terhitung baru. Rasa-rasanya masih banyak yang perlu ditambah ini itu. Menghabiskan banyak waktu di rumah juga bikin mata semakin sering gatal… semacam ini:

“Kayaknya beli karpet baru oke, deh.. karpet yang ini udah buluk..”

“Keknya nambah pot bunga agak banyak di sudut sini dan situ, oke juga deh… biar makin cakep kalo difoto..”

“Duh, dispensernya udah jelek, ga enak dilihat.. pengin beli yang baru biar warna senada dengan kitchen set.. ehem..”

“Bosen juga kerja di kamar… pengin realisasikan kamar kerja di lantai bawah.. butuh beli meja kerja, kursi dan AC baru neehhh..”

dan seterusnya. dan sebagainya.

Kalau diteruskan, bakal buanyak rentetannya, haha. Adaaaa aja yang kurang. Adaaa aja yang perlu didandanin biar cakepan di mata. Padahal dari sisi urgensi, ya rendah banget. Karpet misalnya. Kalau buluk, sih, enggak sebenarnya. Cuma, udah waktunya dicuci aja, kok, wkwk. Lagian, udah banyak juga karpet cadangan. Jadi, sama sekali ga penting itu beli karpet baru, LoL. Ruang kerja? Ya, emang seru aja kalau ruang kerja khusus bisa direalisasikan… rencana sudah ada sejak bangun rumah baru. Mau beli meja kerja kayak gimana juga sudah ada barang yang diincar. Tapi, kan, sama sekali tidak mendesak. Kerja masih nyaman-nyaman aja sambil ngelonin bayik di kamar, wkwk. Anak masih bayi, mustahil juga saya bisa tenang kerja di ruang kerja sendiri tanpa si bayi yang tiap sekian lama minta ASI.

Baca juga: Remarkable Year: Cerita saat Rumah Impian Terwujud

Kalau tidak ada kekhawatiran tentang efek jangka panjang pandemi, mudah saja menuruti belanja beginian. Tapi, adaptasi finansial saat ini lebih penting dilakukan demi nafas keuangan lebih panjang ke depan. Begitu!

Nilai penghematan: Rp300 ribu-Rp5 juta

5. Berhenti langganan e-paper

Eneg lama-lama baca berita isinya Covid-19 mulu. Apalagi punya laki wartawan, even pillow talk aja ngomongin isu publik, wkwkw. Teman-teman juga banyak wartawan. Jadilah sebenarnya update itu akan datang tanpa saya baca berita sekalipun, hahaa. Tadinya saya berlangganan Majalah Tempo dan Harian Kontan, almamater saya, eeaa. Tapi, karena gak sempet baca, langganan Majalah Tempo akhirnya saya akhiri langganan majalahnya. Walau cuma Rp50 ribu aja per bulan. Jadi, saat masa berlangganan habis, saya tidak perpanjang, gitu.

Kalau KONTAN, saya masih berlangganan, sih, harga promo Rp50 ribu per bulan udah bisa baca koran KONTAN saban hari, Tabloid KONTAN dan Edisi Khusus. Murah banget itu, gaes. Itung-itung juga solidaritas untuk mantan tempat kerja saya dulu 🙂

Nilai penghematan: Rp50 ribu per bulan

6. Membatasi jajan Go-Food dan GrabFood

Layanan food delivery melalui aplikasi on-demand kayak Go-Food atau Grab Food memang memanjakan banget, ya. Haha. Saya merasakan, kok, betapa nikmatnya tinggal klik makanan atau minuman yang dipengenin trus udah deh tinggal duduk manis nunggu dianterin, hehe. Saya lumayan sering jajan Go-Food atau GrabFood ini. Jajannya sih receh-receh aja kayak kopi kekinian.. atau martabak saat anak-anak cranky minta cemilan sore-sore. Sempat lumayan boros jajan beginian saat hamil dulu itu. Maklumlah, bumil susah makan dan jadi picky eater banget… jadinya suka cari-cari appetizer di aplikasi.

Nah, salah satu adaptasi finansial saya akhirnya adalah membatasi jajan-jajan gini. Selain juga karena agak ngeri beli makanan di luar kala wabah masih mengintai seperti sekarang. Kopi misalnya, saya memilih membeli moka pot untuk bikin kopi sendiri di rumah… moka pot murah aja Rp80 ribu tapi bisa banget bikin kopi berkali-kali. Niatnya supaya bisa membunuh keinginan ngopi seharga Rp30 ribu per gelas, ckckk. Kalau untuk cemilan lain, saya akhirnya lebih sering bikin sendiri kayak pie susu gitu atau bikin nugget pisang. Yeah, jadi lebih kreatif dan paham kalau sebenarnya bikin sendiri emang jauhhh lebih muree wkwkw.

Nilai penghematan: Rp200 ribu-Rp300 ribu per bulan

7. Menghapus pos jajan akhir pekan

Sebelum pandemi, weekend adalah saatnya makan di luar rumah. Makan apa aja yang penting eat-out. Mau cuma beli burger atau pergi ke resto beneran. Tapi, pandemi seperti ini, apa berani makan di luar? Nope. Mal aja pada tutup. Resto lain juga hanya melayani take away. Dan itu menurutku tidak bisa menggantikan experience makan di tempat, so enggak kemudian bikin saya beralih jadi jajan take away gitu aja. Makanya, pos makan di luar ini benar-benar udah ga perlu. Alihkan ke pos lain yang lebih penting, misalnya: nambahi tabungan, wkwk.

Sebenarnya agak menyesakkan bagi saya karena saya udah banyak keinginan makan ini itu begitu si bayi nomer tiga ini lahir… Maklum, selama hamil, saya harus lebih banyak bedrest di rumah. Beberapa jenis makanan kesukaan kayak sushi juga sate kambing juga harus dihindari selama hamil. Bayangan saya, begitu lahiran, saya bisa memuaskan rindu pada makanan-makanan itu. Apa daya, pandemi datang jadi tidak bisa kemana-mana boro-boro makan di luar. Lupakan sushi. Lupakan makan sepuasnya di Hanamasa. Sate kambing langganan saya juga udah tutup *cry*

Nilai penghematan: Rp100 ribu-Rp1 juta per bulan

8. Memulai bercocok tanam sayuran

Green spinach from my mini garden

Sudah lama sebenarnya saya bermimpi memiliki kebun sayuran sendiri. Balkon depan itu sengaja tidak saya habiskan-jadikan kamar karena saya ingin ada ruang khusus untuk kebun hidroponik. Lama cuma jadi wacana. Sampai akhirnya momentum itu datang: pandemi. Haha. Saya merasa perlu aja memperkuat ketahanan pangan *ceileeehh* memanfaatkan ruang yang ada. Berhidroponik jadi pilihan adaptasi finansial saya. Tahu sendiri sayuran itu termasuk jenis makanan yang mudah layu. Daripada bolak balik ke pasar ‘kan, mengganggu upaya physical distancing jadi serem Covid-19, ya udahlah coba nanam sendiri aja. Saya pun beli starter pack hidroponik kit yang murah-murah aje, habis Rp200an ribu dan mulai menanam bersama suami.

Sehari-hari, sih, lebih sering suami yang mengurus, wkwk. Jadi hobi baru dia malah. Ada bayam, selada, pokchoy, kangkung, cabe, seru dehhhh! Bentar lagi udah mau panen bayam, asiikkk…

Nilai penghematan: Belum tahu, baru mau panen, haha. Tapi keuntungannya dari sisi psikologis, sih, lihat hijau-hijau tumbuh 🙂

9. Membatasi belanja mainan anak

Baking time with the boys

Di awal pandemi ini memaksa aktivitas kami lebih banyak di rumah, saya sempat kewalahan momong anak-anak supaya tidak bosan dikurung di rumah, sekaligus supaya mereka tetap bisa berkegiatan menyenangkan dan edukatif. Bagaimanapun anak-anak juga sama stresnya menghadapi kenyataan kehidupan mereka berubah drastis karena pandemi Covid-19 ini. Jadilah waktu itu saya banyak berbelanja mainan agak banyak untuk mereka. Mainannya, sih, tidak mahal. Paling-paling cat air, kanvas lukis, buku gambar, krayon, gitu-gitulah. Sampai akhirnya, semua kayaknya udah dibeli. Bingung mau beli apa lagi. Saatnya lebih kreatif memanfaatkan bahan yang ada di rumah.

Baca juga: Anak-Anak di tengah Pandemi Corona #coronajournal

Jadi, sekarang saya lebih sering mengajak mereka bebikinan saja. Mulai dari bantuin baking alias bikin-bikin cookies, pancake; anak-anak juga saya ajakin bikin eksperimen kimia kecil-kecilan nyontek dari youtube, haha. Bahannya murah meriah, pake pewarna makanan, cuka, soda kue, gitu-gitu.. seadanya apa yang di rumah. Mereka malah lebih hepi, lhoooo!

Nilai penghematan: Rp200 ribu-Rp300 ribu

10. Menunda pengeluaran tersier

Adaptasi finansial yang juga penting saya lakukan adalah menunda berbagai macam pengeluaran tersier. Apa saja? Banyak. Contoh kecil: beli baju, jilbab, tas atau sepatu baru… banyak aja itu acara diskonan digelar. Yeah, pelapak juga butuh menggenjot omzet dengan menggelar berbagai macam promo. Seringkali promonya menggiurkan. Tapi, saya sudah berkomitmen untuk menunda dahulu pengeluaran untuk fashion and apparel ini. Bukan cuma untuk saya, sih. Untuk anak-anak juga. Masih banyak baju bagus di lemari yang bahkan belum pernah dipakai. Jadi, ngapain juga beli-beli lagi. Paling-paling saya beli baju untuk si bayi yang memang cepet banget gedenya.

Nilai penghematan: Rp200 ribu – Rp300 ribu per bulan

Nahhhh, demikianlah 10 adaptasi finansial yang sudah dan masih akan saya lakukan selama pandemi ini masih menjadi ancaman. Fokus lebih penting kala menghadapi kondisi perekonomian yang semakin penuh tidak ketidakpastian ini, menurut saya, adalah amankan dana darurat, alihkan penghematan yang sudah kita lakukan untuk menambah saldo dana darurat, mengamankan kebutuhan keuangan terdekat, lanjutkan rencana keuangan yang penting dan fokus menjaga kesehatan diri juga keluarga… Itu dulu saja. Tidak perlu muluk-muluk. Semoga kita semua selamat melewati badai pandemi ini. Amin.

Bagaimana dengan Anda, pembaca setia blog saya? 🙂

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi