Menabung Dana melalui Arisan: Yakin Itu Cara yang Tepat?

Banyak orang ikut arisan supaya bisa memaksa diri menabung. Tapi, benarkah arisan adalah cara tepat untuk membantu kita mempersiapkan dana masa depan?

Bagi orang Indonesia, arisan adalah salah satu kegiatan bersosialisasi yang lazim diikuti. Boleh dibilang hampir di setiap komunitas, apakah keluarga, RT/RW, sesama alumni, dan banyak komunitas lain, pasti ada yang namanya arisan. Arisan kebanyakan bermula dari keinginan untuk mempererat silaturahmi. Ketimbang kumpul-kumpul trus cuma ngobrol ngalor ngidul ga jelas, lebih asyik dibikin arisan biar lebih gayeng dengan acara “kocok arisan”, hehe. Soal nominal arisan, itu nomer dua belaka. Bahkan tidak jarang, acara kumpul-kumpulnya ngabisin lebih banyak duit dibandingkan duit arisan yang didapat, haha.

Meski begitu, tidak sedikit juga yang memang sengaja membikin arisan serius dan nominalnya bukan “kaleng-kaleng”, hehehe. Mulai dari arisan emas, arisan dollar AS, arisan yang setorannya belasan bahkan puluhan juta rupiah. Maka, berlahiranlah arisan online, arisan emas, arisan berlian, dan lain-lain. Saya yakin, pembaca di sini pasti ada yang ikutan arisan. Minimal ikut satu arisan, deh, hehe.

Bila ditanyakan, mengapa Anda ikut arisan? Mungkin ada beragam jawaban. Ada yang ikut arisan sekadar karena ikut-ikutan aja, biar dianggap gaul gitu. Ada juga yang ikut arisan supaya punya semangat tambahan untuk terus mempererat silaturahmi karena ada duit yang diharapkan, hehe. Ada juga yang memang sengaja ikut agar bisa memaksa diri menabung. Nah, saya tertarik menyoroti alasan terakhir. Arisan banyak dipilih seseorang untuk memaksa diri sendiri disiplin menabung. Soalnya, tidak sedikit orang yang merasa susah memaksa diri menabung tanpa ditagih-tagih, hehe. Dengan ikut arisan, seseorang terdorong untuk menyisihkan sejumlah uang secara rutin selama periode tertentu dan memiliki kesempatan mendapatkan uang yang sudah dikumpulkan tersebut suatu ketika.

Tapi, benarkah arisan itu bisa efektif membantu kita menabung dana masa depan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, akan lebih enak bila kita pakai ilustrasi. Anggaplah kita ikut arisan dengan setoran Rp3 juta per bulan dengan peserta 20 orang. Arisan dikocok tiap 2 bulan. Jadi, setiap kali kocok arisan, nama yang keluar berhak mendapatkan Rp120 juta. Nah, karena dikocoknya 2 bulan sekali, arisan itu membutuhkan waktu setidaknya 40 bulan untuk diselesaikan sampai 20 nama masing-masing mendapat giliran “narik uang”.

Baca juga: Investasi Emas Ketika Pasar Finansial Tak Pasti: Yay or Nay?

Bila disederhanakan, itu sama halnya kita menabung Rp3 juta per bulan selama 40 bulan untuk bisa mengumpulkan uang Rp120 juta. Bagi kalangan yang merasa susah menabung, cara ini mungkin dianggap efektif “memaksa” diri sendiri supaya punya tabungan. Tapi, apa iya “menguntungkan”? Tunggu dulu, Ferguso. Mari kita hitung 🙂

Time value of money atau nilai waktu uang

Apabila kita ikut arisan seperti di atas dan mendapat giliran narik uang arisan pertama atau di awal-awal putaran, tentu saja itu menguntungkan, haha. Why? Tak lain karena ada yang dinamakan time value of money alias nilai waktu uang. Uang yang kita dapat hari ini lebih berharga daripada uang yang baru kita terima esok hari. Pasalnya, nilai uang akan terus menurun seiring waktu akibat adanya inflasi atau tren kenaikan harga.

Nilai uang Rp120 juta hari ini adalah lebih besar dibandingkan nilai uang Rp120 juta, 20 bulan apalagi 40 bulan mendatang. Selain itu, uang yang kita terima hari ini lebih berharga karena bisa langsung dibelanjakan, dimanfaatkan atau diputar lagi agar bisa berkembang lebih besar. “Tapi, kan, sama aja abis itu bayar Rp3 juta sampai arisan berakhir?” Iya, betul. Tapi uang Rp3 juta yang kita setorkan hingga 40 bulan ke depan itu nilainya juga akan terus menurun sebenarnya. Jadi, itungannya lebih untung nerima arisan di depan mengingat setoran ke depan nominalnya tetap.

Sedang kalau kita mendapat giliran terakhir atau di ujung-ujung, ya, sebenarnya agak rugi, sih. Rugi karena nilai uang tersebut sejatinya sudah menurun karena laju inflasi. Mengutip data Bank Indonesia, rentang waktu 10 tahun terakhir, laju inflasi di Indonesia hampir 6% per tahun. Dengan asumsi tersebut, uang senilai Rp120 juta pada tahun 2019 ini akan menurun nilainya menjadi setara Rp100,75 juta ketika kita menerimanya 3 tahun mendatang.

Wah, jadi ikut arisan itu rugi, dong?

Ya, enggak bisa disimpulkan begitu juga, sih, Marimar… Ikut arisan bagi saya oke-oke saja dengan catatan sebagai berikut:

Pertama, niatkan untuk mempererat silaturahmi.

Kalau berkomunitas menjadi lebih gayeng ketika ada acara kocok arisan, why not? Asal jangan sampai menjadi sumber perselisihan, ya. Gimanapun itu ada bau uangnya, yang bisa jadi sumber konflik (terutama bila nominalnya gede, hehe).

Kedua, niatkan sebagai cara saling membantu.

Ya, siapa tahu memang ada peserta arisan yang memposisikan uang arisan sebagai salah satu sumber dana dia suatu hari kelak. Jadi, saat ada peserta arisan yang membutuhkan dana lebih dulu ketimbang kita, ya, legowo saja memberikan giliran lebih dulu. Itung-itung amal.

Ketiga, pastikan nominal setoran arisan sesuai dengan hitungan keuangan kita.

Jangan sampai ikut arisan yang justru membuat pengelolaan keuangan jadi terganggu. Misalnya, yang semula alokasi menabung dan investasi mencapai 30% dari pendapatan per bulan, jadi berkurang karena sebagian dananya dialihkan untuk bayar arisan. Big no, kalau bagi saya. Mengapa? Ya, karena saya pribadi kurang sreg bila menempatkan arisan sebagai salah satu cara menabung. Arisan, ya, arisan aja. Bukan dimaksudkan sebagai tabungan 🙂

Baca juga: Benarkah Mengelola Keuangan Pribadi Itu Sesusah Itu?

Ngapain juga ikut arisan yang membuat fokus keuangan dan disiplin anggaran kita (yang sudah berjalan stabil sekian lama) jadi terganggu. Sejauh ini, arisan yang saya ikuti adalah arisan receh-receh saja karena memang pengeluaran arisan saya kategorikan pos pengeluaran sosial. Satu kelompok dengan pengeluaran zakat/infak/sedekah, sumbangan keluarga, angpao undangan pernikahan/akikah/khitan, dan jenis donasi lain.

Arisan tidak saya masukkan sebagai pengeluaran tabungan/investasi karena bagi saya memang itu bukan tabungan. Untuk pos tabungan/investasi, sudah ada alokasi tersendiri yang nominalnya tidak bisa diganggu gugat karena berkaitan dengan rencana keuangan keluarga yang super penting.

Keempat, komitmen peserta arisan.

Saya sudah banyak membaca tentang gimana sebuah hubungan silaturahmi rusak karena urusan duit. Kebanyakan karena masalah utang. Arisan juga sering jadi penyebab. Saat ada peserta yang setorannya mampet, ya bisa runyam, kan? Padahal umumnya kesepakatan arisan, ya, sifatnya kekeluargaan, informal, karena memang berawal dari hubungan keluarga atau komunitas. Jadi, saat ada yang “ngemplang”, peserta arisan yang lain tidak bisa berbuat apa-apa…

Baca juga: Memulai Investasi untuk Pemula, Apa Saja Pilihannya

Maka itu ketika memutuskan ikut arisan, kita perlu juga menimbang risiko tersebut. Terlebih bila jangka waktu arisannya lama, taruhlah hingga 5 tahun atau lebih, gitu. Gimana kalau di tengah jalan ada yang tidak mampu lanjut bayar? Iya kalau kita sudah pernah “narik” lebih dulu. Kalau belum sempat “narik” dan masih kebagian setor terus? Hihihi. Seberapa legowo kita bila duit kita nyangkut? Belum lagi risiko rusaknya hubungan.. duh amit-amit, ya…

Itulah mengapa saya merasa lebih aman bila ikut arisan yang risikonya kecil. Yang setorannya “kaleng-kaleng” saja, wkwkw. Gimana cara ukur risiko? Karena kita tidak bisa secara cermat memastikan komitmen setiap peserta arisan untuk disiplin menyetor sampai putaran terakhir, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah menetapkan batas di angka berapa kita bisa legowo bila ada masalah suatu hari kelak. Bahasa kerennya: seberapa besar risk appetite kita?

Misal, kita legowonya di angka Rp5 juta. Ya, sudah, bila risiko duit nyangkutnya lebih dari itu, lebih baik mundur saja untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan di kemudian hari, hehehe. Trus, lebih baik pilih arisan yang putarannya cepat lebih-lebih bila setorannya emang terbilang besar. Paling lama 2 tahun, deh. Cara lain, ya, perlakukan arisan sebagai pengeluaran sosial saja. Anggap saja uang lupa, gitu… so, saat terjadi masalah, kita bisa mudah melupakannya, wkwkwk. Soal berapa nominal “uang lupa” itu, semua tergantung pada masing-masing orang dan kondisi keuangannya. Ada orang yang standar “uang lupa”nya ratusan ribu rupiah, ada yang Rp1 juta… Macam-macam.

Hal lain yang perlu dicek adalah kredibilitas bandar atau orang yang kita tunjuk sebagai pengepul duit :)) Banyak arisan kaco balo karena duit peserta dibawa lari si bandar. Kan, serem kalo sampai begitu kejadiannya. Mau minta pertanggungjawaban ke siapa bila sampai terjadi kasus begitu?

Kesimpulannya, gimana?

Arisan sebagai bagian dari kegiatan sosial, oke oke saja. Pastikan alokasi pengeluaran untuk arisan sesuai dengan kondisi keuangan dan perencanaan keuangan kita, sehingga fokus pengelolaan finansial kita tidak perlu terganggu. Juga, pastikan sesuai dengan risk appetite tadi.

Tapi, bila arisan dimaksudkan untuk menabung dana masa depan? Lebih baik dipikir-pikir dan dihitung-hitung lagi, deh. Masih banyak cara lain yang lebih tepat dan lebih kecil risikonya, menurut saya. Saya beri ilustrasi berikut sebagai gambaran:

Jangka waktu arisan dalam ilustrasi di atas adalah 40 bulan (agar gampang, mari bulatkan menjadi 3 tahun saja, ya). Nah, alih-alih menyetor untuk arisan, mengapa tidak menimbang investasi saja bila tujuannya adalah untuk persiapan kebutuhan dana di masa depan?

Untuk mencapai tujuan keuangan 3 tahun, pilihannya ada beberapa macam yaitu ORI atau obligasi ritel, Saving Bond Ritel (SBR) dan reksa dana pendapatan tetap. Karena ORI atau SBR mensyaratkan setoran penuh di depan, maka pilihannya di sini tinggal reksa dana pendapatan tetap di mana kita bisa menyicil investasi saban bulan.

Mengutip Bareksa.com, produk reksa dana pendapatan tetap (fixed income mutual fund) berkinerja terbaik dalam 5 tahun terakhir ada yang mencapai 66,55% atau rata-rata 13,31% per tahun. Bahkan untuk 3 tahun terakhir, ada yang pertumbuhannya mencapai 51,81% atau 17,27% per tahun. Tapi, di sini kita pakai asumsi konservatif aja, deh. Anggaplah prospek pertumbuhan reksa dana pendapatan tetap per tahun sekitar 10% per tahun. Jadi, kalau kita berinvestasi rutin setiap bulan sebesar Rp3 juta selama 3 tahun di produk reksa dana pendapatan tetap yang mampu tumbuh 10% per tahun, maka dalam 3 tahun dana kita berpeluang terkumpul sebesar Rp126 juta. Sedang bila kita bermaksud mengumpulkan uang lewat arisan selama 36 bulan dengan setoran Rp3 juta per bulan, yang kita dapat “cuma” Rp108 juta.

Benar bahwa berinvestasi mengandung risiko kehilangan modal atau penurunan nilai investasi. Benar juga bahwa asumsi pertumbuhan 10% itu bukanlah hitungan pasti. Peluang untung 10% sebanding dengan kerugian 10% bahkan bisa lebih dari itu (ingat hukum investasi: High risk, High return). Tapi, dengan menerapkan manajemen risiko yang tepat, pilihan mengumpulkan dana melalui investasi, menurut saya, jauh lebih efektif ketimbang mengumpulkan dana melalui arisan. Arisan juga bukan tanpa risiko seperti sudah disinggung di atas (risiko penurunan nilai uang, risiko moral hazzard peserta arisan/bandar, etc).

Selain itu, saat arisan, kita tidak tahu kapan akan bisa mendapatkan giliran “narik”. Kecuali ada kesepakatan di depan di mana urutan “narik” sudah ditentukan lebih dulu. Sebaliknya, investasi seperti di reksa dana, kita bisa sewaktu-waktu mencairkannya saat kepepet butuh uang. Lebih likuid, istilahnya.

Itu, sih, yang bisa dibandingkan… Yah, kecuali Anda dapet arisannya di depan, lho… Kalau itu, sih, lain cerita, yaa… 🙂

Itu pendapat saya. Bagaimana menurut Anda?

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi