Investasi Reksa Dana, Saham, ORI, SBR atau P2P Lending: Mana yang Paling Menguntungkan?

Ingin memulai investasi tapi bingung mau investasi apa? Bagi pemula, ada banyak pilihan produk investasi yang bisa dipertimbangkan. Apa saja pilihannya? Yuk, cek dulu di sini!

Bagi kamu yang sudah memiliki penghasilan rutin, tentu tahu, dong, kalau uang cuma ditabung saja di bank, tidak bakalan menghasilkan apa-apa? Alih-alih berkembang, duit kita malah banyak tergerus oleh berbagai biaya yang dibebankan oleh bank. Mulai dari biaya administrasi bulanan, biaya ATM, biaya notifikasi transaksi, biaya ini, biaya itu, hingga pajak bunga tabungan, endesbre, endesbre. Nyebelin, yak!

Ya, memang karakter tabungan di bank saat ini sudah berbeda dengan apa yang dimengerti sebagai tabungan di zaman dahulu kala. Rekening tabungan di bank lebih tepat disebut sebagai rekening transaksi, bukan tempat untuk menabung dengan harapan dana bisa berkembang. Maka itu, jangan pernah berharap mendapatkan perkembangan dana sesuai harapan bila uang kita cuma ditaruh di bank semata. Sebagai catatan, imbal hasil tabungan saat ini tak pernah lebih dari 2% per tahun. Kecil banget. Sedangkan tingkat inflasi tahunan 10 tahun terakhir rata-rata 6%. Artinya, ketika kita menempatkan dana di bank, yang terjadi justru uang kita menurun nilainya akibat tergerus inflasi.

Inflasi itu apa, sih? Secara sederhana, inflasi berarti kenaikan harga. Ini adalah sesuatu yang nyaris inevitable alias tak terelakkan dalam sebuah perekonomian yang tumbuh. Namun, ada kalanya laju inflasi terlalu tinggi hingga membuat nilai uang menurun. Contoh mudahnya begini. Zaman Melissa masih bernyanyi “Abang Tukang Bakso” (ampun ketahuan deh umurnya, wkwkw), sekira awal 90-an kalo ga salah, dia bilang harga semangkok bakso di lagu itu Rp200 saja. Nah, sekarang mana ada harga semangkok bakso cuma 200 perak? Paling murah keknya ceban alias Rp10.000, gaes. Itulah yang disebut inflasi. Kalau kenaikan harga semangkok bakso tersebut tidak kita imbangi dengan kenaikan pendapatan, kita jadi kehilangan daya beli untuk menikmati bakso… kira-kira seperti itu gambaran tentang “hantu inflasi”…

Lantas, bagaimana supaya daya beli kita tidak tergerus inflasi?

Ya, satu-satunya cara supaya uang kita tidak menurun nilainya adalah dengan mengembangkannya supaya bisa bertumbuh di atas inflasi. Bisa dengan memutarnya dalam sebuah bisnis yang diharapkan bisa memberi hasil bagus. Bisa juga memutarnya dalam sebuah produk investasi di pasar modal. Mau pilih yang mana, itu tergantung pada preferensi dan kenyamanan masing-masing orang.

Fakta yang sering saya temui, banyak generasi milenial seumuran saya (ehem) yang masih gamang ketika hendak memulai investasi. Kebanyakan karena bingung milih investasi di mana dan bagaimana caranya. Ya, sebenarnya tidak usah terlalu bingung, sih. Zaman sekarang informasi sudah membanjir dan dengan mudah kita bisa belajar sesuatu tanpa harus datang ke kelas. Termasuk bila kita hendak belajar tentang investasi.

Cara mudah memulai investasi

Pertama, kenali profil risiko kamu. Profil risiko artinya, seberapa siap keuangan kamu untuk memulai investasi dan sejauh mana preferensi dan toleransi kamu terhadap risiko-risiko investasi. Gampangnya begini. Saat ini keuangan kamu masih rada kacau, misalnya, nilai dana darurat belum ideal, masih kerap terjebak situasi gali lubang tutup lubang, dsb, ya berarti belum waktunya, sih, kamu berinvestasi. Tapi, ketika kecukupan dana darurat sudah mencapai minimal 50% dari angka ideal sesuai kondisi kamu, asuransi sudah aman, beban cicilan utang tidak melebihi 30% total pendapatan rutin, bolehlah memulai investasi.

Kedua, tentukan tujuan keuangan. Cuma ikut-ikutan investasi tanpa tujuan jelas, akan membuat kamu kesulitan mengukur keberhasilan investasi yang kamu lakukan. Sedari awal, tulis saja tujuan kamu berinvestasi untuk apa. Bisa untuk mengumpulkan dana pensiun kelak, mengumpulkan dana untuk umroh, biaya sekolah anak, dana liburan tahunan, dan sebagainya.

Ketiga, pilih instrumen investasi yang tepat. Ini penting karena berkaitan dengan pengelolaan risiko investasi. Contohnya, kamu ingin mengumpulkan dana sekolah anak 5 tahun lagi. Karena target pemakaian dana masih 5 tahun lagi, kamu bisa menimbang berinvestasi di reksa dana campuran atau reksa dana saham. Tapi, bila target pemakaian dana 3 tahun lagi, investasi di obligasi ritel (ORI) akan lebih tepat.

Keempat, buka rekening investasi. Saat ini sudah banyak perusahaan sekuritas ataupun manajer investasi yang menyediakan kanal investasi online sehingga untuk membuka rekening pun bisa dilakukan secara online. Sedikit saran, buka rekening investasi di aplikasi yang menyediakan pilihan produk cukup banyak. Misalnya, di IPOTFUND, Bareksa.. ada juga TanamDuit, Bibit.id, dan lain sebagainya. O, ya, sebenarnya bila kamu hendak investasi di reksa dana, beli di bank juga bisa, lho. Cuma, kadangkala minimal investasinya disyaratkan lebih besar ketimbang beli di marketplace seperti IPOTFUND atau Bareksa.

Kelima, jalankan strategi investasi sesuai kebutuhan dan kondisi. Supaya tidak ribet harus menyetor sejumlah dana untuk berinvestasi, kamu bisa mengaktifkan autodebet investment sehingga setiap tanggal tertentu, secara otomatis rekening investasi akan memotong dana kamu.

Pilihan produk investasi untuk pemula

Apa saja pilihan produk investasi yang bisa dipertimbangkan oleh investor pemula? Kita perlu bersuka hati karena saat ini pilihannya sudah semakin beragam. Yang perlu kita lakukan adalah memilih sesuai profil risiko dan tujuan keuangan. Yuk, kita bedah satu per satu:

Reksa dana

Reksa dana merupakan sebuah wadah yang berisi himpunan dana dari sejumlah investor di mana dana tersebut dikelola oleh manajer investasi. Dana tersebut diputar (tentu saja agar bisa tumbuh atau mencetak untung) di aset-aset dasar (underlying asset), seperti saham, obligasi, sertifikat deposito dan sebagainya.

Reksa dana ada berbagai jenis bergantung pada jenis aset dasarnya. Ada reksa dana saham yang memiliki aset dasar saham, lalu reksa dana pendapatan tetap yang sebagian besar berisi obligasi, reksa dana pasar uang, dan lain sebagainya. Masing-masing jenis reksa dana memiliki tingkat risiko berbeda-beda bergantung pada isi aset dasarnya. Reksa dana saham memiliki risiko terbesar sekaligus potensi untung tertinggi.

Modal awal investasi di reksa dana semakin terjangkau sekarang ini. Bisa dengan Rp100.000 doang. Bahkan kamu bisa punya reksa dana dengan modal ceban, seperti bila membeli di marketplace kayak Tokopedia. Trus, keuntungannya berapa kira-kira? Ya, macam-macam tergantung jenis aset dasar dan kepiawaian manajer investasi memutar dana kita. Untuk reksa dana saham, pertumbuhannya yang bagus minimal mengikuti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi benchmark… di pasar ada reksa dana saham yang bisa tumbuh 20% per tahun bahkan di atas itu. Walau banyak juga yang jelek banget kinerjanya sampai minus. Belakangan kinerja reksa dana rada jelek, sih. Terutama yang underlying asset-nya saham, pada jeblok gegara pasar saham juga lagi loyo…

Saham

Saham merupakan surat berharga yang menjadi alat bukti kepemilikan kita atas sebuah perusahaan atau badan usaha. Ketika kita membeli saham PT Astra International Tbk (ASII), itu artinya kita tercatat juga sebagai pemegang saham Astra. Keren, gak? Haha.

Saham termasuk instrumen investasi favorit karena peluang menghasilkan return tinggi jauh di atas inflasi, sangat terbuka. Namun, seturut hukum investasi “High return, High risk”, risiko investasi di saham juga besar. Dengan strategi yang tepat, saham cocok untuk mendukung pencapaian tujuan keuangan jangka panjang. Modal investasi di saham juga makin terjangkau. Minimal pembelian cuma 1 lot atau 100 lembar saham.

Contoh, kamu ingin punya saham Astra International (ASII), yang harganya Rp6.925 per lembar per 30 Oktober. Berarti kamu perlu mengeluarkan uang sekitar Rp695.000 saja. Terlalu mahal? Cari saja saham murah dengan harga di bawah Rp1.000 yang fundamentalnya menarik. Contohnya, saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), harganya Rp930 per lembar. Jadi, untuk membeli 1 lot kamu cukup keluar uang Rp93.000, masih lebih mahal jajan di Starbucks, kan?

Nah, gimana peluang untung investasi di saham? Banyak yang bilang, tak terbatas. Benarkah? Cara paling mudah adalah dengan melihat pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi benchmark atau acuan harga saham. Tahun 2009 lalu, IHSG masih di level 2.534,36. Nah, per hari ini IHSG sudah di level 6.286,6 (30/10). Terjadi kenaikan 148,5%. Contoh lain, bila kita berinvestasi di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pada tahun 2010, ketika harganya masih di kisaran Rp2.775 per saham; anggaplah kita beli 100 lot saham BBCA atau 10.000 lembar, kita mengeluarkan modal sebesar Rp27,75 juta. Nah, per hari ini (30/10), harga BBCA sudah melesat di posisi Rp31.175 per lembar saham. Jadi, dalam rentang 9 tahun terjadi kenaikan 1.023,4%! Jika kita jual saham BBCA hari ini, kita mendapatkan duit sekitar Rp312 juta-an. Ngiler? 😛

Obligasi ritel (ORI)

Bila kamu termasuk yang tidak nyaman berinvestasi di produk yang berisiko tinggi, ORI bisa jadi pilihan. ORI adalah obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh negara Republik Indonesia. Dengan berinvestasi atau membeli ORI, itu berarti kamu bertindak sebagai kreditur atau pemberi pinjaman pada negara. Nah, dana yang kamu investasikan akan digunakan oleh pemerintah sebagai sumber dana pembangunan. Sebagai imbalan, kamu mendapatkan imbal hasil berupa kupon tetap yang diberikan setiap bulan selama periode investasi. Ada ORI konvensional ada juga yang syariah, namanya Sukuk Ritel atau Sukri.

Tenor atau jangka waktu investasi di ORI maupun Sukri umumnya tiga tahun. Jadi, dana kamu akan dikunci selama tiga tahun dan selama itu, kamu mendapatkan imbal hasil investasi setiap bulan (biasanya setiap tanggal 10 atau 15 gitu, deh). Tapi, kamu ga harus juga memegangnya sampai tiga tahun. Bila di tengah jalan kamu butuh mencairkan uang kamu di ORI atau Sukri, kamu bisa menjualnya ke pasar sekunder. Asyik, kan? Risiko investasi di ORI atau Sukri, gimana? Ya, selama negara ini ga bangkrut, insyaallah duit kita aman alias tidak akan terjadi gagal bayar (default), hehee. Btw, imbal hasilnya lumayan, lho. ORI seri 016 yang dirilis Oktober ini, memberi imbal hasil tetap sebesar 6,8% per tahun. Saya gak beli, sih, haha. Tapi dulu pernah investasi di ORI saat kuponnya 9%. O, ya, investasi minimal juga ringan, cukup Rp1 juta hingga maksimal Rp3 miliar.

Saving Bond Ritel (SBR)

SBR boleh disebut sebagai adiknya ORI. Karakternya mirip ORI. Sama-sama diterbitkan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan. Namun, tenor atau jangka waktu investasinya lebih singkat yaitu hanya dua tahun. Cuma, SBR tidak bisa dijual di pasar sekunder sebagaimana ORI. Tapi, tenang, bila kamu ingin mencairkannya sebelum jatuh tempo, SBR memiliki fitur early redemption atau pencairan awal yang sudah ditentukan tanggalnya. O, ya, imbal hasil SBR juga lebih fluktuatif dibanding ORI yang 100% tetap, tetapi dia memiliki acuan bunga terendah (floating with floor). Bingung?

Kita ambil contoh, deh, ya. Awal tahun lalu, pemerintah menawarkan SBR005 yang memberikan kupon terendah 8,15%. Jadi, apabila selama rentang 2 tahun, bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate yang menjadi acuan naik, maka imbal hasil yang dinikmati oleh investor SBR005 juga ikut naik. Tapi bila acuan BI 7DRRR itu turun, imbal hasil SBR tetap bertahan di 8,15% sebagai acuan kupon terendah. Mirip dengan ORI, kupon atau imbal hasil akan kamu terima setiap tanggal 10 saban bulan selama periode investasi. Minimal investasinya mulai Rp1 juta juga.

Peer to Peer Lending (P2P Lending)

Katanya, inilah instrumen investasi kekinian yang lagi hits di kalangan Gen Y maupun Gen Z, hehehee… Seiring memuncaknya tren kemunculan aplikasi financial technology (fintech), tren memutar duit di P2P Lending jadi hype baru. Sebenarnya munculnya udah rada lama, sih, di Indonesia… Sejak tahun 2015-an kalo ga salah inget. Cuma happening-nya memang baru sangat terasa dua tahun belakangan.

Apa, sih, P2P Lending itu? Intinya adalah, kamu berinvestasi dengan cara meminjamkan uang ke seorang peminjam (bisa perorangan atau badan usaha) selama periode tertentu (biasanya tak lebih dari 3 bulan). Ketika nanti jatuh tempo pengembalian uang, kamu akan memperoleh pokok dana yang kamu pinjamkan beserta hasil bunganya. P2P Lending juga ada yang syariah kalau kamu enggan berurusan ama riba. Ada juga P2P Lending yang memberikan pengembalian (repayment) tiap bulan sekaligus beserta bunga.

Return atau imbal hasil P2P Lending sejauh ini memang menggiurkan, minimal 12% per tahun… ada yang hingga 18% per tahun juga di atas itu. Wewww. Tapi, tentu saja risikonya juga tidak kecil. Dana kamu bisa amblas hilang bila si peminjam gagal mengembalikan, wkwkw (ya, sebenarnya di semua jenis investasi, risiko duit hilang itu selalu ada, sih…). Risiko duit hilang karena si peminjam gagal bayar dalam P2P lending, 100% ditanggung oleh kita sebagai pemberi pinjaman.

Ini berbeda dengan menempatkan dana di deposito bank. Uang yang kita taruh di deposito, akan disalurkan oleh bank menjadi pinjaman pada pihak lain. Tapi bila sampai ada gagal bayar, dana kita tidak hilang karena memiliki penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (selama nilainya maksimal Rp2 miliar dan return-nya sesuai bunga penjaminan LPS). Selain itu, deposito juga lebih likuid karena bisa kita cairkan sewaktu-waktu (meski ada risiko terkena pinalti early redemption). Sedang P2P lending, uang kita tidak bisa ditarik sewaktu-waktu sampai saatnya jatuh tempo.

Untuk meminimalisir risikonya, kamu yang tertarik memutar duit di P2P Lending, perlu jeli memilih peminjam yang kredibilitasnya oke atau memiliki jaminan bagus. Penyedia marketplace P2P Lending biasanya sudah memiliki sistem scoring sehingga si pendana bisa memilih mendanai pinjaman sesuai profil risiko. Akan lebih baik bila kamu memilih mendanai pinjaman yang memiliki agunan (biasanya berupa invoice), atau bisa juga memanfaatkan fitur asuransi yang disediakan oleh penyedia marketplace P2P Lending. Yang pasti, semakin tinggi imbal hasil yang ditawarkan, semakin tinggi pula risiko (gagal bayarnya).

Saat ini ada banyak pilihan marketplace P2P Lending, baik konvensional maupun syariah. Ada Investree, Modalku, Asetku, Amartha, dan lain sebagainya. Saya sendiri tidak terlalu menyarankan pemula masuk kesini, karena risikonya terbilang besarrrrr. Emang, sih, kalau bisa mendanai pinjaman yang tepat, hasilnya cepet dan gede. Cuma, itung-itung lagi, deh, risikonya. Be wise!

Itu dia pilihan-pilihan produk investasi yang bisa kamu pertimbangkan bila hendak memulai investasi di pasar keuangan. Udah kebayang, kan, mau investasi apaan sekarang? Chayooo!

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi