Working at home mom: Two months review

Sudah dua bulan sejak roda hidup memilihkan saya “lepas” dari rutinitas kerja kantoran. Terhitung sejak awal Maret lalu, saya menikmati fase baru sebagai self employed, pekerja mandiri, freelancer, you name it lah, haha. Gimana rasanya? Berjuta rasanya, hahahaha.

Sedikit kilas balik.

Sebagai ibu dua anak, sudah sejak lama bekerja kantoran menjadi isu laten (aih). Ingin lebih banyak di rumah menemani anak-anak. Ingin selalu hadir untuk mereka. Tapi… Saya juga tahu, saya tidak akan betah sekadar menjadi ibu rumah tangga di rumah urus anak dan dapur juga suami. Selain mudah bosan, saya sering merasa memiliki energi lebih yang butuh penyaluran. Too many things in my head. Kalau enggak disalurkan energinya, bisa terganggu keseimbangan saya, haha.

So, ketika berhadapan pada isu working mother yang klasik.. misalnya saat Attar menghadapi challenging time beradaptasi masuk TK dulu, atau ketika saya dihantui rasa bersalah karena memberi anak-anak sisa tenaga saja sepulang kerja… saya tidak bisa serta merta balik kanan memutuskan jadi ibu RT. Haha. Yang saya butuhkan adalah tetap produktif tetapi dengan jam kerja yang fleksibel. Juga, tidak harus rutin datang ke kantor (You know, walau KRL sudah sangat membantu saya mempersingkat waktu tempuh, tetep saja energi pulang pergi rumah-kantor itu sungguh sangat terkuras. Lebih capek perjalanan pulang/pergi ketimbang kerjaannya. Sungguh).

Adakah pekerjaan seperti itu? Haha. Menjadi self employed adalah jawabannya. Tapi, beranikah saya menjadi self employed dan melepaskan kenyamanan menjadi orang gajian sekian tahun? ENGGAK. Hahahah.

Ya, waktu itu saya memang belum berani. Maju mundur cantik melulu. Jadi, walau kadang mengeluh ini itu, saya masih menikmati “juggling” menjadi pegawai kantoran sekaligus menjalankan side job sebagai freelance writer, editor dan financial planner. Terlebih, support system pun stabil. Why bother?

Tapi, semakin hari semakin kuat dorongan untuk melepas kerja kantoran tersebut dan melompat ke perahu baru yang lebih menantang… Terlebih ketika urusan bangun rumah sudah beres, rasa-rasanya sudah ga sabar untuk memerdekakan diri dari belenggu 9to5 yang melelahkan… So, pasti demi anak-anak juga..

Tuhan memang baik. Momentum itu akhirnya datang dan “memaksa” saya keluar dari zona nyaman. Saya resmi menjadi self-employed. Di pekan-pekan awal, damai banget rasanya menjalankan rutinitas pagi yang selow, haha. Anggap aja lagi cuti, wkwkw. Sembari mengerjakan beberapa project, saya merasa jauh lebih santai. Keluar rumah paling-paling pas lagi butuh konsentrasi sangat tinggi untuk mengejar deadline. Atau, saat ada meeting dengan klien. Itupun tidak lama. Maksimal 4-5 jam lah. Enak, selow.

Jadi lebih sering memeluk anak-anak. Menemani mereka bermain. Menyirami taman. Slow living. Happy.

Inilah yang aku impikan sejak lama.

Tapi…

Yah, namanya manusia, ya. Haha. Pasti selalu ada tapi. Setelah sebulan menjalani peran sebagai working at home mom, tidak bisa saya pungkiri bila ada rasa bosan yang kadang menghampiri. Kangen suasana kantor. Kangen keramaian jalanan. Bahkan saya sempat kangen KRL, hahaha. Saya merasa, bila diibaratkan mesin, kapasitas yang terpakai sejauh ini belum optimal. Masih 50% lah, wkwkw.

Akhirnya, saya bikin target sendiri. Saya ingin jalankan ini 3 bulan dulu, paling enggak sampai kelar lebaran. Ingin menikmati Ramadan dengan hikmat di rumah, setelah sekian tahun selalu sering buka puasa di jalanan..

Setelah itu, I will figure it out the next step…

Bila ingin mencatat pelajaran yang saya dapatkan selama hampir 3 bulan menjadi self-employed, inilah yang bisa saya bagi:

Finansial perlu kesiapan

Ini penting, ya. Terlebih bagi keluarga yang terbiasa double income seperti saya dan suami. Apa sudah siap ketika salah satu dari pasangan suami istri memutuskan menjadi pekerja mandiri dengan perubahan pola pendapatan? Biasanya, kan, tanggal-tanggal gajian sudah jelas. Begitu salah satu banting stir jadi self employed, tentu perlu ada penyesuaian di sana.

Salah satu hal yang membuat saya pede keluar dari zona nyaman adalah, di atas kertas, finansial keluarga tidak terlalu berubah. Saya masih produktif dan memiliki penghasilan. Hanya, pola penghasilannya lebih tidak bisa dipastikan jadwal cairnya, haha. Cicilan tetap aman, kebutuhan-kebutuhan penting untuk mendukung kehidupan keluarga juga aman. Dana darurat aman (ini penting banget).

Tapi, walau di atas kertas aman, kami tetap melakukan penyesuaian, sih. Mengapa? Ya, biar lebih tenang saja menghadapi pola pendapatan baru. Misalnya, saya lebih mindful saat mau belanja-belanja yang tidak terlalu penting, hahaha. Alhamdulillah, seperti sudah diatur, ya; saat saya di rumah seperti ini, suami naik gaji, wkwkkw. Alhamdulillah, ya.

To-do-list itu penting

Percayalah, ke-slow-an itu sangat melenakan, haha. Ibaratnya, everyday is sunday! Saya akui, di bulan-bulan awal, saya menjalankannya seperti sedang cuti. Tanpa rencana, tanpa to-do-list apapun. Rasanya kayak istirahat tiada ujung, wkwk. Akhirnya, ya, bosan. Bila seseorang udah terbiasa memiliki target, kayak saya yg target freak, menjalani hari seperti air mengalir pada akhirnya melahirkan rasa bersalah (karena udah membuang waktu tanpa kejelasan). Beberapa hal yang saya idam-idamkan saat masih kerja kantoran seperti mengajari anak-anak belajar dan mengaji rutin tiap maghrib, mempraktekkan aneka resep homemade meal yg keren-keren, rutin menulis di blog ini (!), endesbre, endesbre; pada akhirnya terhenti sebatas niat, hehe.

Suami saya sering mengingatkan agar saya selow saja. “Nikmati saja lah!” gitu dia advis. Tapi, keknya saya kebablasan selow-nya, haha. Seharusnya saya bisa lebih cerdas mengoptimalkan waktu dan energi. Terutama untuk anak-anak.

Next plan, please?

Sedari awal saya meniatkan, mencoba dulu menjadi working at home mom. At least, sampai Lebaran karena saya ingin menikmati Ramadan di rumah bersama keluarga. Tapi, tetep harus, ya, memiliki plan atau rencana berikutnya mau seperti apa?

Hampir tiga bulan menikmati “libur panjang” ini, saya sempat beberapa kali memenuhi undangan dari head hunter yang menawarkan posisi di sebuah perusahaan. Siapa tahu ada tawaran menarik. Namun, sejauh ini, ya, belum ada yang jodoh. Mostly juga karena saya masih meragu apa bener mau jebur lagi kerja kantoran, hahah.

Lebih dari itu, bila memang saya ingin kembali menjeburkan diri dalam rutinitas 9to5 seperti dulu, saya wajib memastikan support system sudah siap. You know, di kala saya kerja di rumah seperti sekarang, ndilalah salah satu support system penting saya, yaitu si mbak ART ternyata hamil. Hmm. Kalau saya jadi balik kerja lagi, saya harus menyiapkan ART baru yang lebih memungkinkan untuk membantu saya…

Ya, kalo dese hamil dan nanti ada bayi, apa mungkin ada energi untuk pegang dua anak saya yang luar biasa aktif itu? Ini juga yang bikin pusing, sih. Masih jadi PR.

Jadi, kira-kira itulah review saya menjalankan pengalaman baru sebagai working at home mom selama hampir 2 bulan belakangan. Selanjutnya bagaimana, mari melihat bersama nanti, hehe.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi