Fintech yang Menjamur dan PR Besar Literasi Finansial Kita

Kelahiran fintech yang menawarkan pinjaman cepat tanpa agunan dengan bunga tinggi bisa menjadi masalah bila tanpa dibarengi edukasi finansial memadai.

Kelahiran perusahaan teknologi finansial atawa financial technology(fintech) di Indonesia, sungguh bak jamur di musim hujan. Mengutip data Asosiasi Fintech Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, sekira tahun 2006-2007 baru tercatat ada 16 perusahaan fintechdi Indonesia. Hanya butuh waktu satu dekade, pada kisaran tahun 2015-2016, jumlah fintechdi Indonesia sudah melompat menjadi 165 perusahaan.

Dari angka itu, sebanyak 42% merupakan pelaku fintechdi segmen payment. Disusul oleh fintechsegmen penyalur pinjaman sebanyak 17%, lalu fintech aggregatorsebanyak 12,59%, lalu kelompok fintech crowdfundingsekitar 8,15%. Sisanya adalah fintechdi kelompok segmen financial planningdan lain-lain.

Segmen paymentsebagai contoh antara lain DOKU, Kesles, Veritrans, dan lain-lain. Mereka menawarkan transaksi keuangan yang lebih efisien dengan memanfaatkan platform digital. Ada pula kelompok lending dihuni oleh UangTeman, Doctor Rupiah, TunaiKita, dan lain-lain. Mereka memberikan pinjaman langsung ke masyarakat memakai modal dana dari sang investor.

Adapun di kelompok fintech aggregator, kita mengenal HaloMoney.co.id, Cermati, dan lain-lain. Kelompok ini menjadi penghubung antara nasabah yang membutuhkan pinjaman dengan bank-bank penyedia pinjaman. Disusul oleh kelompok crowdfundingseperti Investree, Modalkita, Koinworks, dan sebagainya. Segmen ini berperan sebagai penyedia platformmarketplacepeer to peer lendingyang mempertemukan antara si peminjam dengan pemberi pinjaman (investor).

Banyak kalangan sepakat, kehadiran fintechberpeluang menjadi kekuatan disruptif yang bisa menyaingi hegemoni perbankan. Salah satu sisi yang banyak diunggulkan adalah peran fintechmembuka akses pendanaan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini tidak tersentuh atau tidak mampu mengakses layanan bank.

Semangat ini yang dibawa terutama oleh kelompok fintechmodel crowdfundingdan lending. Mereka menyediakan layanan pinjaman dalam jumlah mikro dengan persyaratan yang relatif lebih simpel dan mudah dibandingkan yang disyaratkan oleh bank. Orang bisa meminjam dana di bawah Rp 10 juta saja, atau bahkan dibatasi di bawah Rp 5 juta.

Di satu sisi, semangat membuka akses pinjaman bagi kelompok unbankableini dapat kita apresiasi. Bukan rahasia lagi bila keluhan terhadap betapa sulit mengakses pinjaman bank untuk modal usaha, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, banyak terdengar dari zaman dulu hingga detik ini.

Kelompok ini konon juga akhirnya banyak terjebak para rentenir di pasar-pasar dan di desa-desa yang menawarkan pinjaman dengan biaya luar biasa mencekik. Di titik ini, kehadiran fintechbisa menjadi harapan baik.

Akan tetapi, belakangan ini saya banyak merenung melihat kehadiran cukup banyak fintechyang seolah menjelma sebagai “rentenir online” mengingat tawaran pinjaman yang dipromosikan dengan bunga super mahal. Coba kita bandingkan saja.

Bila kredit tanpa agunan bank (KTA) rata-rata menawarkan bunga pinjaman di bilangan 1%-2% per bulan atau 12%-24% per tahun (beberapa bank bisa lebih dari itu, namun sejauh ini saya belum menemukan KTA dengan bunga di atas 40% per tahun), maka pinjaman yang ditawarkan oleh fintech lenderbisa mencapai 1% per hari! Atau 30% per bulan atau 360% per tahun!

Ini fakta di lapangan. Dari kacamata ekonomi hal itu mungkin bisa dipahami: biaya super mahal yang dikenakan pada suatu pinjaman berbanding lurus dengan risiko yang ditanggung pihak pemberi pinjaman (lender).

Biaya atau bunga yang mahal itu tak lain karena si lendermenanggung risiko besar: pinjaman diberikan tanpa jaminan, di mana si peminjam hanya bemodal KTP dan foto diri juga slip gaji. Tidak ada pengecekan reputasi kredit di Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia. Jauh lebih longgar dibandingkan persyaratan yang dipatok perbankan saat memberikan pinjaman. Kira-kira begitulah argumennya.

Saya pernah mendapatkan cerita, tentang betapa laris pinjaman yang ditawarkan oleh sebuah fintechwalau membanderol bunga super mahal. Yang ironis, peminjam kebanyakan justru kalangan kelas menengah yang meminjam untuk kebutuhan konsumtif alih-alih untuk modal usaha.

Google Indonesia beberapa waktu lalu merilis dalam sesi ‘Think Finance: The Path to Getting a Loan‘, orang Indonesia paling banyak mencari pinjaman tanpa agunan untuk keperluan biaya menikah. Menikah dengan biaya utang? Mungkin sudah menjadi praktik umum di masyarakat kita. Jelas ini bukan hal yang “benar” dalam prinsip keuangan yang sehat. Ini salah satu contoh saja.

Saya jadi agak resah.

Menjamurnya pinjaman berbiaya super mahal tanpa diikuti dengan edukasi finansial yang bagus, bisa jadi bom waktu.

Tingkat literasi finansial masyarakat kita, harus diakui masih belum setinggi negeri-negeri tetangga. Bagaimana memberi edukasi pada masyarakat tentang batas utang konsumtif yang sehat, bagaimana mengelola keuangan pribadi yang baik, bagaimana mengalahkan inflasi melalui investasi, bagaimana memperlakukan kartu kredit secara tepat, bagaimana menghadapi tekanan media sosial khususnya jebakan gaya hidup supaya tidak memengaruhi keuangan, dan lain sebagainya.

Saya pribadi berpandangan, pelaku fintechsangat wajib memberikan edukasi pasar yang serius.

Khusus perihal utang, sebagai contoh. Dalam kamus perencanaan keuangan, batas utang konsumtif yang bisa ditoleransi hanya sebesar 30% dari total penghasilan rutin kita. Jadi, bila kita berpenghasilan Rp6 juta per bulan, maka maksimal cicilan utang yang boleh kita ambil hanya sebesar Rp2 juta per bulan.

Termasuk di situ, utang KPR, kartu kredit, kredit sepeda motor sampai utang panci, dan kawan-kawan. Rumus itu juga yang digunakan oleh bank ketika menyeleksi permintaan pinjaman dari si calon nasabah.

Mengapa 30%? Dalam 100% penghasilan, sebanyak 60% diasumsikan untuk menutup biaya hidup sehari-hari, 10% untuk tabungan dan 30% untuk utang. Bila utang lebih dari 30%, jatah untuk menabung kebutuhan hari depan bagaimana? Atau, yang lebih parah, ketika beban utang sudah menyedot kebutuhan biaya hidup.

Nah, penyedia pinjaman yang beroperasi melalui internet, apakah mereka menyaring calon nasabah dengan kualifikasi seketat itu? Dari sisi penilaian kemampuan bayar si nasabah? Entahlah. Semoga saja demikian.

Karena bila tidak, saya khawatir kehadiran kanal-kanal pinjaman yang bisa diakses oleh kalangan unbankable (yang semula diharapkan bisa menjadi modal usaha alih-alih untuk kebutuhan konsumtif saja), bisa-bisa berubah menjadi sumber masalah keuangan pribadi kelompok ini di masa mendatang.

Pinjaman super mahal ditambah literasi keuangan kurang, bukanlah perpaduan yang elok.

Masalah utang dapat menjadi pangkal dari masalah lain yang lebih serius dalam masyarakat kita. Mulai dari rumah tangga yang berantakan karena masalah utang, peningkatan angka depresi hingga memicu angka kriminalitas…

Semoga saja itu tidak terjadi.

Bagaimana menurut kamu?

Catatan:

Artikel ini pertama kali dimuat di platform Selasar.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi