Saya Dulu Pernah Anti Kartu Kredit... Sampai Akhirnya...

Kartu kredit, banyak yang membenci, banyak pula yang memegangnya dengan senang hati. Sebenarnya kartu kredit itu nguntungin atau enggak, sih? Perlu enggak kita punya kartu kredit? Atau, justru bahaya kalau kita pegang kartu kredit?

Apa yang ada di pikiran kamu saat mendengar kata “kartu kredit”?

“Ah, kartu utang itu… cuma bikin boros…”

“Ishh, kartu setan! Bunganya mahal gila!”

“Saya enggak tertarik punya kartu kredit, ngapain? Enakan pake kartu debit, ga pake kepikiran utang…”

“Kartu kredit itu riba! Haraaaam!”

“Punya kartu kredit, kok, bangga. Itu, kan, duit utang…”

so on, so forth. Which one are you?🙂

Sejak mulai bekerja tahun 2007-an lalu, saya baru punya kartu kredit tahun 2017. Ketika hampir semua teman kerja saya sudah punya kartu kredit, saya bertahan tidak mencoba applyatau mengajukan pada bank. Ditawari, sih, sering. Kartu kredit BCA, HSBC, BNI, dan lain sebagainya. Apalagi kalau habis belanja di hipermarket, pasti langsung dikejar-kejar ama saleskartu kredit.

Mengapa dulu saya tidak punya kartu kredit?

Simpel saja. Saya belum merasa perlu. Kartu kredit adalah alat transaksi nontunai berbasis uang pinjaman. Walau saya cenderung tidak senang membawa uang tunai terlalu banyak, ketika itu, kartu debit sudah memadai untuk kebutuhan transaksi nontunai saya.

Di sisi lain, saya orangnya cukup mudah laper mata. Jadi, bila ada kartu kredit di dompet, saya khawatir semakin mudah laper mata 🙂

Ditambah lagi banyak omongan miring tentang kartu kredit: bunganya super mahal-lah (emang iya, kan?), banyak orang terjebak utang kartu kredit sampai dikejar-kejar debt collector-lah (saat kasus nasabah Citibank yang meninggal dunia karena ditekan oleh debt collectormeledak, saya tengah bertugas menjadi reporter di desk perbankan), dan hal-hal lain yang serem soal kartu kredit; saya semakin tidak tertarik.

Ada juga alasan ideologis, sih, hehe. Saya dulu mengambil kuliah jurusan Sosiologi di Fisipol UGM, Yogyakarta. Tentu jadi banyak baca buku-buku sosial dan filsafat, kan. Salah satu buku yang sangat membekas di ingatan adalah “Pembunuhan yang Selalu Gagal” karya Hikmat Budiman.

Buku ini sangat menarik. Ceritanya tentang kedigdayaan kapitalisme yang memiliki kelenturan untuk tumbuh di semua zaman dan medan. Hikmat mengulas tesis yang diusung oleh seorang Sosiolog terkemuka bernama Daniel Bell tentang Kartu Kredit.

(source: Bale Buku Bekas)

Sosiolog asal Amerika itu menyebut kartu kredit sebagai satu dari dua penemuan manusia paling menakutkan setelah mesiu. Kartu kredit dalam kacamata Bell telah mendekonstruksi paradigma berpikir masyarakat tentang prinsip pengendalian diri. Prinsip asketismeatau penghematan, menahan diri, runtuh oleh kartu kredit. Contoh kecil begini:

Anda punya penghasilan Rp 7 juta per bulan. Ingin memiliki laptop canggih yang harganya Rp 10 juta, melampaui gaji Anda sebulan. Kebetulan ada kartu kredit yang menawarkan pembelian laptop tersebut dengan cicilan Rp 1,25 juta per bulan selama 12 bulan. Harga laptop dijual lebih mahal, menjadi Rp 15 juta, bila dibeli dengan cara mencicil.

Sistem cicilan memungkinkan Anda memiliki barang yang harganya sebenarnya tidak mampu Anda jangkau dengan penghasilan aktual. Bila menganut paham konvensional, Anda akan menahan diri dan memilih untuk menabung lebih dulu uang cukup untuk membeli sebuah laptop. Tapi, kartu kredit meruntuhkan prinsip konvensional itu dengan memunculkan opsi cicilan. Haha. Tidak ada lagi pengendalian diri. Tidak ada lagi penundaan keinginan. Yang dikejar adalah kini, saat ini. Semacam itulah ya.

Demikianlah pemikiran saya ketika itu untuk tidak memiliki kartu kredit. Lagian, hidup saya juga baik-baik saja walau enggak punya CC di dompet 🙂

Tapi, lalu saya memutuskan memiliki kartu kredit.

Eh, kenapa?

Ceritanya, saya mulai sering mendapati banyak kebutuhan yang mengharuskan saya input nomer kartu kredit. Cuma, ya, saya enggak punya, haha. Misalnya, saat hendak bookingvia AirBnB, akhirnya saya terpaksa pinjam kartu kredit kakak saya, LoL. Atau, saat mau langganan Netflix, susah juga gegara saya tidak ada CC.

Berhubung saya memakai iPhone, ada banyak pembelian di Appstoreyang tidak bisa saya lakukan karena lagi-lagi saya tidak ada kartu kredit. Padahal, ya, semua kebutuhan itu terbilang penting, sih.

Meski demikian, ketika itu saya tetap bergeming. Belum tergerak untuk applykartu kredit kemanapun. Ya, karena belum kepepet yang gimana. Sampai suatu hari…

Salah satu penerbit kartu kredit besar menelpon saya untuk memberitahu bahwa saya mendapatkan kartu kredit dengan limit xxxx. “Terserah ibu nanti apakah mau mengaktifkan atau tidak. Yang pasti ini bebas iuran tahunan dua tahun, ya, bu,” kata si sales tersebut.

Tadinya saya merasa aneh. Applyaja enggak, kenapa bisa langsung lolos. Emang bank yakin saya eligibleapa gimana? Mana langsung dikasi limit lumayan besar. Tapi, itulah mungkin yg dinamakan “jodoh”. Penawaran kartu kredit (yang sudah jadi) kali ini datang ketika saya sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang CC sekaligus mempunyai kesiapan mental untuk memegang alat transaksi nontunai itu. So, why not? Eike enggak takut, haha.

Datanglah kartu kredit yang dimaksud. Warna hitam dengan desain elegan nan mewah. Bahkan bukan cuma satu jenis. Beberapa hari berikutnya datang lagi kartu kredit dari penerbit yang sama namun jenisnya berbeda. Lalu beberapa hari kemudian datang lagi kartu kredit tambahan dari kartu kredit yang pertama datang. Enggak tanggung-tanggung, langsung tiga kartu kredit tambahan dengan limit besar-besar. Weleh-weleh. Agresif sekali ini bank, pikir saya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengaktifkan satu saja: jenis visa platinum dengan limit paling besar di antara kartu-kartu yang datang. Sisanya, saya tutup semua dan gunting 🙂

O, ya, walau kartu kredit yang datang belum aktif, tapi nasabah tetap harus “literally” menutupnya untuk memastikan bahwa CC tersebut sungguh-sungguh “enggak hidup”, LoL. Banyak kejadian di mana nasabah diberi kartu kredit tanpa applysebelumnya, lalu merasa belum mengaktifkan, lalu tiba-tiba kaget karena mendapat tagihan iuran tahunan. Don’t ask me why,soalnya saya sendiri enggak paham logika bank di sini. Belum diaktifkan, kok, bisa mengenakan charge iuran tahunan, hehe. Jadi, kalau kita benar-benar tidak tertarik memakai kartu kredit tersebut, tidak cukup hanya dengan “tidak mengaktifkan”. Kita juga harus declareke bank bahwa kita “menutup kartu kredit” tersebut, sehingga argo iuran tahunannya enggak jalan. Pastikan juga kita mendapatkan surat perihal penutupan CC dari bank tersebut.

*Back to topic*

Tentu bukan tanpa alasan kuat mengapa akhirnya saya memutuskan memiliki kartu kredit. Sekian lama saya pelajari, pada dasarnya kartu kredit bukanlah sesuatu yang “seburuk” dugaan saya sebelumnya. Selama kartu kredit kita manfaatkan sesuai porsi dan berpegang pada prinsip pengelolaan keuangan yang sehat, memiliki credit cardbukanlah hal buruk.

Betul, banyak orang di luar sana yang menjadikan kartu kredit sebagai pinjaman modal usaha, bahkan untuk membiayai berbagai aksi spekulasi. Banyak juga yang sampai susah tidur karena utang kartu kreditnya membengkak tak terkendali. IMO, kebanyakan kasus seperti itu bermuara pada ketidaktahuan atas cara pemakaian CC yang benar dan sehat dari perspektif financial planning. Asal gesek sana sini, tidak pakai hitungan yang presisi. Asal-asalan berutang tanpa pernah menghitung debt service ratioberapa, dan seterusnya dan sebagainya. Yah, enggak nyalahin juga karena kenyataannya di Indonesia, financial literacymemang relatif masih belum tiinggi, ya… dan enggak semua orang memiliki akses yang bagus terhadap informasi pengelolaan keuangan yang tepat…

Jangan lagi orang yang memang awam dengan isu-isupersonal finance.Beberapa kolega saya di dunia media yang notabeneseharusnya punya akses lebih luas dengan literasi keuangan saja, masih banyak yang kejeblos, lho, haha. Kejeblosnya pun, ya, karena pemahaman yang belum matang… Misalnya, pas lagi bokek, enteng aja tarik tunai kartu kredit, hahaha. Konyol memang, I know 🙂

Begitulah. Tapi, saya percaya, begitu seseorang paham baik buruk sesuatu, memiliki pengetahuan yang proporsional tentang sebuah hal, dia pasti bisa menemukan cara terbaik mengoptimalkan sesuatu itu. Ini berlaku universal 🙂

*balik ke topik lagi*

 

Jadi, bagaimana cara tepat memanfaatkan kartu kredit supaya enggak jadi bencana finansial?

Begini trik pemakaian kartu kredit yang menguntungkan dan bebas masalah yang saya terapkan:

1. Perlakukan sebagai alat transaksi nontunai

Ini prinsip penting yang juga selalu saya terapkan. Perlakukan kartu kredit sebagai alat transaksi nontunai saja, bukan sebagai pengganti penghasilan. Jadi, saya memastikan setiap kali memakai kartu kredit, saya memang memiliki dana untuk membeli.

Lha, terus apa gunanya punya kartu kredit kalau sebenarnya kita punya uang?

Lho, lha emang kartu kredit itu bukan pengganti penghasilan, my friends!Kesalahan banyak orang yang akhirnya bermasalah dengan kartu kredit adalah: gesek sana sini pakai kartu kredit TANPA MIKIR UANG UNTUK TRANSAKSI TERSEBUT SEBENARNYA ADA ATAU TIDAK? 😛

Kartu kredit itu hanya menggantikan uang kas kita saat bertransaksi. Yang semula kita harus mengeluarkan uang, anggaplah Rp 200 ribu untuk jajan, diganti dengan gesek kartu dengan nilai transaksi Rp 200 ribu. Tapi, uang Rp 200 ribu itu pastikan kita miliki juga.

Bila yang terjadi sebaliknya, misalnya, budgetsaya untuk belanja udah habis, maka saya tidak akan memakai kartu kredit itu untuk transaksi. Dengan prinsip ini, setiap kali ada tagihan kartu kredit datang, saya punya uang untuk membayarnya. Tanpa telat. Tanpa merusak alokasi anggaran kebutuhan lain.

Baca juga: Begini Cara Pakai Kartu Kredit yang Benar Menurut Presdir BCA

Mungkin ada lagi yang nanya “Lantas, apa keuntungan punya CC kalau kayak gitu caranya?” Ya, setiap transaksi yang kita lakukan memakai kartu kredit, kan, ada reward points.Poin itu bisa kita tukar kelak sebagai diskon harga atau sebagai pengurang beban biaya tahunan.

Keuntungan lain, ya, kita bisa atur pengeluaran sesuai arus kas, sih. Anggaplah kita tengah membutuhkan sebuah barang akan tetapi dananya belum mencukupi. Tapi, kita sudah pasti memiliki pendapatan ekstra dalam hitungan hari ke depan. Menutup kebutuhan itu dengan ditalangi terlebih dahulu oleh kartu kredit, bagi saya oke-oke saja. Selama, memang ada pendapatan yang pasti kita miliki untuk menutup transaksi tersebut ketika tagihan CC dicetak.

2. Bayar full payment sebelum jatuh tempo

Prinsip berikutnya yang saya jalankan adalah, selalu bayar 100% nilai tagihan begitu tagihan keluar. Dengan begitu saya enggak terkena bunga. Bayar pun enggak pernah minimal paymentkarena saya berusaha memakai kartu kredit HANYA JIKA SAYA PUNYA UANG untuk membayarnya 🙂

Bayar full paymentjuga penting bagi saya karena bunga kartu kredit itu menggulung sifatnya. Jadi, ogah nyoba, lah, haha. Ini juga supaya saya bisa memastikan transaksi kartu kredit saya bebas riba. Ehem, isu ini mungkin akan memicu perdebatan, ya (tapi saya enggak dalam kapasitas membuka ruang perdebatan, ya, hehe).

Fyi, saya termasuk mengamini bahwa kartu kredit bukanlah riba selama kita memperlakukannya sebagai alat transaksi nontunai: bayar 100% full paymentdan tepat waktu sehingga tidak berurusan dengan bunga. Ini seturut dengan pendapat pakar syariah Adiwarman Karim dan Ustadz Ahmad Sarwat. Pendapat mereka bisa dibaca lebih jelas pada tulisan ini. Kalau ada yang punya pendapat lain, silakan saja 🙂

3. Pakai sesuai kebutuhan, bukan pakai sesuai diskon

Kartu kredit banyak menawarkan diskon. Ini karena penerbit kartu kredit memiliki satu kepentingan utama: mendorong pemegang kartu kredit untuk terus melakukan transaksi memakai CC. Salah satu iming-imingnya adalah dengan memberikan diskon harga, voucherataupun cashback.

Dan siapakah yang enggak demen dengan yang namanya diskon, sale, cashbackdan segala macam yang bisa dibeli dengan harga lebih murah? Hehe. Itu manusiawi, kok. Hanya saja, jangan sampai terbalik, ya.

Maksudnya gini: ada promo diskon 30% bila membeli barang A memakai kartu kredit anu. Sebelum terpukau dengan angka “30%” itu, saya bertanya dulu pada diri sendiri: Emang benar, ya, saya butuh barang A tersebut?Bila memang butuh barang tersebut dan ada budget pembelian, diskon 30% tentu lumayan membantu penghematan.

Jangan sampai terjadi seperti ini: ih, barang A lagi diskon 30% pake CC nih, beli ah! 

Hahaha. Kebalik itu namanya, temans. Beli, kok, karena ada diskon. Enggak mudah, I know. Been there, done that, hihihi.

Saya pernah memanfaatkan diskon CC ini. Jadi, ceritanya saya butuh laptop untuk kerja di rumah karena laptop saya LCD-nya pecah akibat dibanting ama anak bungsu saya 🙁

Sedang laptop satu lagi sudah rusak karena usia. Yowis, budgetsudah ada dan kebetulan CC yang miliki tengah menggelar cashbackhingga Rp 500 ribu bila belanja laptop di tempat A. Saya  manfaatkan saja penawaran itu sehingga bisa mendapatkan harga lebih murah. CashbackRp 500 ribu itu menjadi credit refunddi tagihan CC saya yang bisa saya gunakan untuk transaksi selanjutnya. Lumayan 🙂

Dan selama memegang kartu kredit ini, hidup saya juga tetap baik-baik saja. Tidak ada lonjakan gaya hidup menjadi lebih boros apa gimana bila dibandingkan sebelum punya CC. Saya percaya, selama menerapkan prinsip tersebut di atas dan memandang CC tak lebih sebagai alat transaksi nontunai layaknya kartu debit, Go-Pay, e-Money, dan lain sebagainya, ditambah kedisiplinan mengelola keuangan, enggak ada yang perlu di”takut”kan dari kehadiran kartu kredit di dompet. Kartu kredit bisa memberi manfaat, alih-alih dimusuhi sebagai sesuatu yang buruk 🙂

Sampai hari ini saya cuma punya satu CC saja di dompet. Belum terpikir untuk menambah kartu kredit lagi karena pakai yang satu ini saja sejauh ini masih memadai.

Bagaimana cerita kamu? Bagi, dong, pengalaman dengan kartu kredit 😉

Chayo,

~Nyonya Cendana

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi