Upaya Sehat Berbuah Hemat: Naik Transportasi Publik Solusinya!

Memakai transportasi publik bukan cuma bagus untuk kesehatan tubuh. Kesehatan kantong juga bisa ikutan bugar, lho. Kita bisa saving banyak hanya dengan beralih ke transportasi pubik!

Hari ini tadi ada yang berbeda dari rutinitas harian saya. Ceritanya, beberapa waktu belakangan badan saya terasa kurang fit. Kemungkinan besar karena saya sudah sangat jarang olahraga dan bergerak. Makanan sudah mulai saya atur setelah episode ugal-ugalan ketika perayaan Lebaran…. Membiasakan diri berolahraga ini yang masih sulit. Sulit cari waktu, terutama…

Nah, ketika mendengar rute perjalanan salah satu teman kantor, saya jadi terinspirasi. Gimana kalau saya beralih naik busway ketimbang ngandelin ojek online?

Jadi, ceritanya, sejak berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, saya sudah terlalu dimanjakan oleh Commuterline plus layanan on-demand transportation seperti Go-Jek/Grab/Uber. Rute saya selama ini selalu: Stasiun Poris-Stasiun Sudirman, disambung naik Go-Jek atau Grab. Waktu tempuh KRL rata-rata sekitar 30 menit sampai 40 menit. Thanks to KRL yang membuat jarak Tangerang dan Jaksel menjadi mampat, haha. Berlanjut naik Go-Jek, dalam kondisi lalu lintas lancar saya butuh sekitar 10-12 menit untuk sampai kantor. Tapi saat lalu lintas sepanjang Rasuna Said Kuningan kurang bersahabat, saya bisa menghabiskan waktu lebih dari 15 menit untuk mencapai kantor.

Image result for gojek

Hal serupa juga terjadi saat pulang kerja. Saya biasanya memesan Go-Jek atau Grab ketika jarum jam sudah mendekati jam 18.00, lalu naik KRL dari Stasiun Sudirman dan turun di Stasiun Poris. Bila suami tidak bisa menjemput, andalan saya adalah ojek pangkalan. Total waktu dari kantor di Kuningan, Jaksel hingga sampai di depan rumah, saya butuh butuh waktu rata-rata satu jam. Saya beruntung tinggal di perumahan yg cuma sepelemparan kolor dari Stasiun KRL, haha.

Dengan rutinitas itu, somehow, saya merasa badan saya jadi terlalu manja. Jalan kaki kurang banyak langkahnya. Lari alias jogging? Boro boro. Cuma bisa saat weekend.

That’s why, hari ini saya memutuskan untuk mengganti moda transportasi biar badan lebih banyak gerak. Minimal jalan kaki deh, haha. Turun dari KRL di Sudirman, saya berjalan menuju pintu keluar di atas, menuju halte busway. Antrian di pintu keluar stasiun enggak terlalu panjang, walau saat itu masih jam sibuk masuk kantor. Jalannya memang tidak terlalu jauh juga. Tapi lumayanlah, refreshing, hehe.

Saya memutuskan naik busway di Halte Dukuh Atas 2. Surprisingly, busway yang datang dalam kondisi kosong melompong. Enak banget duduk manis di bus yang berpendingin udara. Dan kejutannya lagi adalah, cuma butuh kurang lebih 12 menit saya sudah sampai di Halte Patra Kuningan! Wow. Ini lebih nyaman daripada naik Go-Jek, haha. You know saat naik ojek, tentu saja saya masih menemukan kemacetan. Belum lagi kesel karena si abang ojeknya lelet, haha.

Jalan kaki, mandi matahari pagi, dan rasa santai. Ternyata asyik banget. Lumayan keringetan, haha. Saya nyalakan Endomondo app.

Yang asyik lagi, mengganti moda transportasi dari ojek menjadi busway ini penghematannya tidak main-main lho! Enggak percaya? Yuk, kita hitung bersama.

Berhemat dengan alat transportasi publik

Image result for commuter line

Selama 8 bulan berkantor di kawasan Kuningan ini dan memanfaatkan KRL+jasa Go-Jek/Grab/Opang, pengeluaran transportasi saya seperti ini:

Berangkat

  • Rumah-St. Poris= dianter suami 😛
  • Ongkos KRL dari St. Poris-St. Sudirman= Rp 3.000
  • Ongkos Go-Jek dari St. Sudirman-Menara Kadin= Rp 11.000 (memakai Go-Pay, sebelum jam 9 pagi)

Jadi, total pengeluaran transportasi untuk rute berangkat adalah= Rp 14.000 x 20 hari kerja= Rp 280.000

Pulang

  • Ongkos Go-Jek dari Menara Kadin-St. Sudirman= Rp 11.000 (memakai Go-Pay, setelah jam 6 petang)
  • Ongkos KRL dari St. Sudirman-Poris= Rp 3.000
  • Ongkos Opang St. Poris-Rumah= Rp 10.000 (normalnya Rp 6.000-Rp 7.000 cukup, karena deket. Cuma, saya sengaja kasi ceban, hehehe)

Jadi, total pengeluaran transportasi untuk rute pulang adalah= Rp 24.000 x 20 hari kerja= Rp 480.000

Angka tidak bisa bohong, haha!

Ongkos transportasi untuk kantor-rumah setiap hari kerja dalam 1 bulan mencapai adalah Rp 280.000 +Rp 480.000 = Rp 760.000.

Optimalkan transportasi publik untuk berhemat!

krl
(source: kompasiana.com)

Lumayan juga, kan, pengeluaran untuk ongkos transport doang. Tapi, bukan berarti tidak ada alternatif penghematan, lho. Niat ingin lebih banyak bergerak dengan naik busway seperti yang saya lakukan tadi pagi, imbasnya signifikan pada kocek bila dilakukan dengan konsisten, haha. Mari kita hitung!

Skenario 1: KRL-Busway-GoJek-KRL-Opang

  • Ongkos KRL berangkat Rp 3.000
  • Busway berangkat Rp 3.500
  • Gojek pulang Rp 11.000
  • KRL pulang Rp 3.000
  • Opang Rp 10.000

Total ongkos untuk skenario 1= Rp 30.500

Asumsi 20 hari kerja= Rp 30.500 x 20 hari= Rp 610.000

Besar penghematan= Rp 150.000 dengan mengganti moda ojek menjadi busway pada rute berangkat. Mayan!

Skenario 2: KRL-Busway-Busway-KRL-Opang

  • Ongkos KRL berangkat Rp 3.000
  • Busway berangkat Rp 3.500
  • Busway pulang Rp 3.500
  • KRL pulang Rp 3.000
  • Opang Rp 10.000

Total ongkos untuk skenario 2= Rp 23.000

Asumsi 20 hari kerja= Rp 23.000 x 20 hari= Rp 460.000

Besar penghematan=  Rp 300.000 hanya dengan mengganti moda ojek menjadi busway pada rute berangkat dan pulang. Signifikan penghematannya!

Skenario 3: KRL-Busway-Busway-KRL-Angkot

  • Ongkos KRL berangkat Rp 3.000
  • Busway berangkat Rp 3.500
  • Busway pulang Rp 3.500
  • KRL pulang Rp 3.000
  • Angkot stasiun-rumah Rp 2.500

Total ongkos untuk skenario 3= Rp 15.500

Asumsi 20 hari kerja= Rp 310.000

Besar penghematan= Rp 450.000 dengan skenario full angkutan umum (no ojek). Sangat signifikan ya!

Supaya lebih terasa lagi bobot nilai penghematannya, coba kita trade off nilainya dengan aksi menabung atau berinvestasi, ya, haha.

  1. Nilai penghematan skenario 1 adalah Rp 150.000.Bila saya tempatkan Rp 150.000 per bulan berinvestasi pada produkreksadana saham dengan imbal hasil 25% per tahun selama 5 tahun(di pasar, ada banyak reksadana dengan imbal hasil di atas itu), nilainya akan menjadi Rp 17,97 juta! Bisa buat nambahi uang pangkal sekolah anak itu, haha… atau buat nambahi simpanan emas 😛
  2. Nilai penghematan skenario 2 adalah Rp 300.000.Bila saya tempatkan Rp 300.000 per bulan berinvestasi pada produk reksadana saham dengan imbal hasil 25% per tahun selama 5 tahun, nilainya akan menjadi Rp 35,95 juta! Nampol, ye :))
  3. Nilai penghematan skenario 3 adalah yang terbesar, Rp 450.000. Dengan langkah investasi serupa, dalam 5 tahun saya bisa mengumpulkan Rp 53,92 juta!!!! Bisa jadi tambahan DP rumah itu, haha.

Di atas saya hanya menghitung dengan asumsi investasi pada produk reksadana saham. Masih banyak pilihan produk investasi lain yang juga menarik untuk dipertimbangkan. Mulai dari deposito, emas, dan lain-lain. Balik lagi ke selera ya dan tujuan keuangan kita 🙂

Yang saya putuskan….

Well, setelah menimbang berbagai faktor, bila sekadar mengejar nilai penghematan berupa uang, skenario nomor 3 tentu yang paling oke. Terlebih bila nilai penghematannya bisa disiplin dialihkan menjadi investasi rutin, bakal keren, deh. Tapi, saya tidak memilih skenario 3.

Saya memilih skenario yang paling mungkin saya jalankan, terutama karena fokus utama saya sebagai ibu yang juga bekerja di luar rumah alias working mom, yaitu bagaimana supaya semua bisa seimbang! 😉

Skenario nomor 1 yang paling masuk akal bagi saya 🙂

Mengapa?

  1. Saya boleh terlambat masuk kantor tapi saya tidak mau dan tidak boleh terlambat bertemu dengan anak-anak saya (MY REAL BOSS, haha!). Jadi, untuk rute pulang saya akan pilih cara paling cepat at all cost! Naik busway saat pulang, sepertinya akan lebih lama dan bakal kurang fleksibel karena tertinggal jadwal KRL sedikit saja, saya harus rela setengah jam lebih lama bertemu anak-anak di rumah… Maksimal sampai rumah adalah jam 19.30. Tidak bisa ditawar lagi, kecuali ada keperluan mendesak dan mendadak.
  2. Tujuan utama adalah biar sehat. Jadi, tetap naik busway di rute berangkat masih bisa mengakomodasi itu walau bukanlah skenario paling hemat. Alokasi anggaran Rp 610.000 per bulan untuk transportasi dan bisa menghemat Rp 150.000 per bulan,masih oke lah 🙂
  3. Dengan pengeluaran transportasi tak sampai Rp 700.000, itu masih masuk akal karena tak sampai 5% pendapatan. Masih jauh dibandingkan rata-rata pengeluaran transportasi orang Indonesia yang mencapai 18%, haha.So, it won’t hurt my wallet…

Nah, itulah cerita saya… Kalau kamu, sudahkah kamu menghitung dengan sungguh-sungguh uang yang kamu keluarkan untuk ongkos pulang pergi kantor dan rumah? Jika belum, cobalah ambil waktu sejenak dan berhitunglah… Temukan celah penghematan bila memang ada dan gunakan hasil penghematan itu untuk yang hal lain lebih produktif. Karena sejatinya, berhemat bisa kita lakukan darimana saja asal mau. Dus, tidak ada alasan untuk tidak menabung atau tidak berinvestasi, ya 🙂

Chayo!

~Nyonya Cendana

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi