Our Happiness #2 Cerita Kelahiran Plasenta Previa

*ambil lap bersih-bersih*

Banyak debu ini rumah udah lama ga ditengok 🙈😑😂

Persis 1 tahun menjadi ibu dua anak. Ternyata semakin susah menyisihkan waktu untuk menulis di sini. Padahal suka kangen nyampah di sini, heuheu. Saya berutang menulis lanjutan dari cerita terakhir di blog ini. Utang pada diri sendiri, lebih tepatnya. Biar semua momen penting terdokumentasi dalam bentuk tulisan 😊😊

Tulisan ini sudah saya mulai sejak Agustus lalu tapi baru kelar hari ini, haha. Sok sibuk bener.

Shall we start? 😁

Apa yang terjadi setelah episode terakhir saya terakhir kali bedrest di rumahsakit akibat pendarahan, buntut dari kondisi kehamilan dgn plasenta previa totalis itu?

Jujur saja, saya udah agak lupa beberapa hal. Haghaghag. But, I’ll try.

Jadi, setelah pulang dari rumahsakit ketika itu, i thought everything’s gonna be just fine.Tinggal dua-tiga pekan menuju 38week, usia kandungan yang dianggap aman untuk janin dilahirkan, saya optimistis bisa mempertahankan kehamilan sampai cukup umur. Berusaha menaati saran obgyn. Enggak boleh banyak bergerak.

Tapi, apalah daya? Bukan karena saya yg masih kebanyakan tingkah atau lasak, sih. Cuma, bayi di dalam rahim memang kian besar. Mendesak “saudara tua” dia makin ke bawah. Si saudara tua yg berisi pembuluh darah dan sangat sensitif dgn gerakan sekecil apapun itu…. Jadilah tak sampai dua hari di rumah, saya balik lagi ke rumahsakit. Bleeding all over again. Dan saya sudah pasrah. Obgyn terakhir bilang, bila ada perdarahan lagi maka si bayi udah harus dilahirkan…

Masuk ke rumahsakit langsung ke ruang persalinan. Teguh sibuk mengurus administrasi. Saya galau. Paparan obgyn terakhir bahwa risiko yang saya hadapi dalam persalinan nanti yg sangat besar, membuat hati ciut. Yah, saya takut bila sampai terjadi pendarahan hebat… Lalu, sampai terjadi hal-hal yg tidak kami inginkan…

Antisipasi sudah oke. Seliter darah cadangan sudah disiapkan. Jadwal SC sekitar jam 12an siang. Yg pertama datang adalah dokter anastesi. Masih muda. Dia banyak mengajak ngobrol. Menjelaskan langkah apa saja yg akan dia lakukan nanti. Lalu, obgyn utama saya, dr. Yeni datang. Disusul obgyn kedua, suami dia sendiri. Saya lupa namanya 🙈. Yg jelas dia yg paparin soal risiko perlengketan plasenta etc itu… Ditambah dokter satu lagi yakni dokter urologi. Plus dokter anak dan dokter bedah.Count it on berapa jumlah dokter di acara kelahiran kali ini. Wkwkwkkw.

Semua mengelilingi dan ruangan itu jadi penuh dokter. Belum lagi para perawat dan bidan. I feel hopeless. Takut, jeri, tak berdaya. Dst. Rasanya kayak mau menghadapi kegawatan. Suddenly i miss my mom so so very much. Pengin lari ke ibu saya. Kelahiran Attar dulu, ibu sudah standby di sisi saya. Tapi, kali ini berbeda. Operasi sesar ini tidak terencana. Ibu, sih, langsung meluncur naik kereta malam dan baru sampai pagi keesokan hari.

Saya dan ketakutan itu… Saya udah kirim SMS ke teman-teman juga keluarga, minta doa sekaligus minta maaf… mana tahu saya enggak bisa balik lagi kelar operasi. Yup, rasanya kayak mau mati. Teguh menatap lekat dan memegangi tangan saya terus.. I knew he scared too. Ada ibu mertua saya juga di sana… dia peluk saya dengan mata basah… mata saya basah juga…

Setelah masuk di ruang operasi, segeralah semua kesibukan itu dimulai. Dokter anastesi yang masih relatif muda, somehow, kok, enggak jago nyuntik obat bius ke tulang ekor… Seriously gw disuntik sampai tiga kali. Sakit bok! Setelah suntikan ketiga, akhirnya bagian pinggang ke bawah kebas. Dan dimulailah proses operasi kelahiran SC.

Pikiran saya berusaha tetap fokus dan tenang. Ditutup selubung putih saya mencoba menduga-duga apa yang mereka lakukan di perut saya. Saya coba mengintip dari pantulan lampu. Darah di mana-mana. Serem ih. Lalu perut saya didorong oleh dokter anastesi yang standby di belakang saya…

Aqshal lahir. Sekitar jam 13.00, tanggal 16 November.

Dia tidak langsung menangis. Ada jeda sepersekian detik dari dia keluar dari perut sampai akhirnya menangis kencang. Alhamdulillah, bisik saya lirih. Aqshal dibersihkan oleh suster lalu dibungkus selimut dan didekatkan pipinya ke saya untuk dicium oleh ibunya. Our first second…

Syukur alhamdulillah, tidak ada kegawatan yang menyertai proses kelahiran anak kedua ini. Tidak ada perdarahan hebat yang ditakutkan. Tidak ada perlengketan plasenta seperti yang dikuatirkan. Dokter Yeni memberi ucapan selamat. Dan segera setelah penjahitan luka sesar selesai, saya dibawa ke ruang observasi.

Di ruang observasi, efek morfin masih sangat kuat. Jahitan tidak terasa sama sekali. Kepala masih berat. Teguh datang memeluk dan mencium saya. Mengatakan, semua baik-baik saja. Tapi, lalu dia bilang : “Aqshal masih diobservasi. Kata dokternya tadi begini, dia, kan, lahir sebelum waktunya, ya. Dia butuh gula darah lebih banyak… biar nanti tidak perlu sampai masuk Perinatal..”

Saya, dengan kondisi masih hangover : “Maksudnya bagaimana?”

Teguh : “Iya, jadi Aqshal perlu asupan. Sedangkan kamu, kan, masih kena efek bius belum bisa menyusui. Dokter menyarankan, Aqshal diberi susu formula untuk membantu gula darahnya naik, jadi enggak sampai masuk Perina…”

Walau dalam kondisi masih setengah teler karena efek bius, otak saya langsung bangun dan menyimpulkan informasi yang disampaikan suami saya itu dalam kalimat gamblang. “Maksudnya, Aqshal mau dikasi sufor? Dia, kan, baru lahir belum ada 3 jam. Bayi baru lahir bisa bertahan sampai 3 hari tanpa asupan… Apa-apaan itu dokter?” mulai kesal.

“Aku juga sudah jelaskan itu sama dokternya. Cuma, si dokter memberitahu kondisi dan risiko karena Aqshal termasuk prematur…Aku setuju anak kita ASI, dan kita akan berusaha agar dia ASIX…” kata Teguh.

“Gini aja, bilang ke dokter, tegaskan ke dia, kita tidak melihat sufor sebagai opsi sama sekali. Lagian, nakut-nakutin apa gimana maksudnya pakai ngomong soal kekurangan gula darah segala…” saya makin kesal.

Teguh lalu kembali ke ruangan bayi. Bertemu DSA, bidan dan suster. Tidak berapa lama dia kembali menemui saya. Saya kangen sekali ingin melihat Aqshal.

“Mana foto Aqshal? Dia baik-baik saja, kan?” tanya saya. Tidak berpikiran aneh-aneh.

Lalu, Teguh memperlihatkan foto Aqshal di inkubator dengan selang di hidung. Saya menahan rasa sedih dan panik. It will be just fine. Tapi lalu, ada yang lebih menyebalkan lagi datang dari para petugas medis itu.

“Aqshal nafasnya belum normal. Ini diobservasi kalau nanti masih kurang stabil, harus ke NICU…” Teguh menjelaskan dengan nada setenang dan sepelan mungkin.

WHATTTT? Ini gimana, sih. Tadi katanya kuatir gula darah. Sekarang ganti soal nafas. Tadi diancam Perina. Sekarang mau dibawa ke NICU.

Whatever it takes, honey. We’ll do it for our baby. I don’t care about the money or else… We have an enough deposit to covering the emergencies like this….

Jadilah, Aqshal yang baru berusia beberapa jam itu, dibawa ke NICU. Teguh sudah mengurus kartu BPJS Aqshal. Nomer BPJS Aqshal pun sudah keluar. Tapi, lalu ada masalah. Karena saya melahirkan tanpa BPJS, ada perbedaan intepretasi tentang status anak yang dilahirkan oleh proses yang tidak dikaver oleh BPJS. Apakah si anak otomatis ikut si ibu? Atau dia berhak mendapatkan perawatan dengan asuransi BPJS?

24 jam pertama, selain menanggung efek bius yang parah kali ini: saya tidak bisa bangun sampai jam 11 malam, belum boleh minum atau makan sampai hampir tengah malam. Saya muntah setiap kali mengangkat kepala sedikit atau menggerakkan badan sedikit… Entah berapa tadi dosis morfin yang disuntikkan hingga efek pasca SC sedemikian kaco… : Efek bius, dan memikirkan tentang anak bayi yang belum jua bisa saya peluk dan susui…

Hingga keesokan hari, urusan BPJS ini belum juga kelar. Ada pasal di UU JKN, lupa pasal berapa, yang menjadi pangkal multitafsir. Bila mengikuti logika bahwa saya tidak dikaver BPJS saat melahirkan, Aqshal juga tidak bisa. Tapi, ada pasal di beleid yang menjadi dasar hukum BPJS, mereka yang berhak mendapatkan BPJS adalah siapapun yang sudah mendapat kartu kepesertaan. Nah, lho. Makin pening kepala saya melihat tagihan hari pertama Aqshal yang menembus Rp 9 juta! Di atas kasur di ruang perawatan, semua simpanan di bank, juga tabungan di mutual saya cairkan untuk berjaga-jaga….

Syukurlah, akhirnya happy ending. Aqshal mendapatkan coverage dari BPJS. Soal biaya NICU, saya tidak galau lagi. Berkurang satu urusan.

Ibu saya datang keesokan hari, dan kami bertangisan… Adik saya, ipar saya, menjenguk… Saya berusaha keras agar tetap tegar, walau hati saya perih ingin segera bertemu bayi yang sudah sekian lama di kandungan…
Akhirnya…. setelah 48 jam, hari kedua, menahan perih nyeri luka operasi, didorong oleh suami, saya naik kursi roda mendatangi NICU. Airmata meleleh melihat Aqshal di dalam inkubator dengan berbagai selang di tubuhnya.

Ibu mana yang tega…. Saya menangis hebat tanpa suara. Jadilah badan saya terguncang-guncang menangis di dalam ruangan yang sunyi itu. Teguh melihat saya sesenggukan dari balik kaca… mata dia pun berkaca-kaca…

It was the toughest time in our journey as a family…

Aqshal tahu saya datang. Mulutnya bergerak-gerak seperti mencari susu… mungkin dia hafal bau induknya… Mungkin dia mengenali suara mamanya… Matanya terpejam… rambutnya lebat… mirip Attar, kakaknya. Ada selang di hidungnya… Ada entah selang apalagi.. selang infus sepertinya….

Saya tanya ke suster, susunya tolong diberikan lewat sendok. Jangan lewat dot. “Tapi kalau lewat dot, itu untuk melatih reflek menghisap dia, bu..” kata dia.

“Bayi udah memiliki reflek hisap, tidak perlu dilatih memakai dot. Seharusnya langsung ke payudara ibu. Poin saya, saya tidak mau anak saya diberi minum dgn dot. Saya hanya membolehkan dgn sendok atau pipet. Cukup jelas ya?” jelas saya dengan nada tegas.

Saya bukan sok galak. Saya cuma mengantisipasi jangan sampai anak saya bingung puting hanya karena keteledoran tidak perlu.

Lalu saya minta buku Aqshal, membaca catatan medisnya. Nafas dia masih cepat. Indikasi medisnya adalah TTN. Transient Tachypnea of the Newborn. Nafas cepat pada bayi, gampangnya seperti itu.

Lalu, DSA di NICU ingin bertemu dengan saya selaku ibu bayi. Sedari awal Aqshal masuk ke NICU, Teguh sudah sering menyampaikan pesan si DSA ini agar saya memberikan ASIP sementara Aqshal dirawat. Iya, saya mulai breastpumping di hari kedua, memakai breastpump pinjaman dari rumahsakit yang ternyata zonk, hehe. Payudara masih bengkak, breastpump yang harganya mahal itu tidak mampu berbuat banyak. Akhirnya saya coba perah dengan tangan. Masih sedikit. Paling banyak 10 ml. Pernah sampai 50 ml. Lumayan untuk performa hari-hari pertama *menghibur diri*

Balik lagi ke pertemuan pertama dengan DSA. Satu hal yang saya ingat dari sekian pesan yang disampaikan selama ini lewat Teguh : “Ada kemungkinan Aqshal harus diberikan sufor untuk membantu pemulihan dia. Karena kebutuhan cairan dia mulai banyak sedangkan produksi ASI ibu masih pelan.”

Saya, dengan kondisi jahitan masih sangat perih, didorong kemana-mana dengan kursi roda, berhadapan langsung dengan DSA yang omongannya sufor melulu. Saya memang anti sufor, there I said it, haha. Simply karena saya tidak percaya sufor itu baik untuk bayi. Kecuali terpaksaaaaaaaaaaa banget, it’s oke. Tapi saat usaha belum kemana-mana, belum-belum sudah sufor? Nehi. Saya tidak segampang itu menyerah 😛

Lalu, terjadilah diskusi itu. DSA menjelaskan kondisi Aqshal. Mulai dari kebutuhan cairan dia, kebutuhan agar dia lebih cepat pulih, risiko-risiko yang dia hadapi karena TTN, sampai rekomendasi DSA agar dilakukan USG atau scan otak. First of all, saya tanggapi tentang kebutuhan cairan. Saya tegaskan pada DSA, anak saya ASI. “O, ya, itu bagus. Tapi ibu harus bisa pastikan ASI nya banyak ya… tapi ini, kan, kondisi anak ibu prematur, produksi ASI belum siap juga. Jadi, antisipasinya harus ada supaya lebih cepat pulih,” kata dia menanggapi.

“Pak DSA, yang saya tahu, bayi baru lahir bisa bertahan 3 hari tanpa asupan. Selama waktu itu, produksi ASI juga mulai berproses. Saya yakin bisa penuhi itu tanpa bantuan cairan lain,” tandas saya.

“Iya, saya paham. Saya bukan rekomendasikan sufor lho. Saya juga tidak sebut merek, kan. Saya cuma jelaskan, anak ibu kan lahir tidak normal, ada TTN, ada kebutuhan cairan yang lebih banyak daripada anak lain…Kebutuhannya paling tidak 30 ml setiap dua jam,” kata dia.

WHAT?

Setahu saya untuk newborn baby belum sebanyak itu, deh. “Masak sebanyak itu, Dok?” tanya saya dengan gaya nyinyir wartawan mulai keluar. HAHAHA.

“Lho, iya, soalnya kan kondisi anak ibu berbeda dengan bayi yang lahir normal tanpa masalah. Coba saja tanya ke bagian laktasi,” kata dia.

“Maaf ya, Dok. Setahu saya, belum sebanyak itu. Usianya baru 48 jam. Saya sudah konsultasi dengan teman-teman saya konselor laktasi, kebutuhan anak saya masih terkejar dengan ASIP. Yang pasti, enggak sebanyak itu,” saya ngeyel, dong. BIARIN.

DSA itu mulai jiper dan sebel kali, ya, ketemu ibu-ibu nyebelin kayak saya. Bayangin muka saya kombinasi antara stres lihat anak di inkubator, sakit jahitan sesar, dan menghadapi tekanan tenaga medis yang sebut-sebut sufor melulu. Saya jamin muka saya menyeramkan. Hahahah.

Belum lagi kecenderungan dia yang seperti menakut-nakuti segala hal itu. Harus scan otaklah inilah itulah. “Mengapa anak saya perlu USG otak? Risikonya apa bila tidak dilakukan? Apa juga risiko bila saya lakukan?” tanya saya.

“Ya, soalnya dari pengalaman selama ini, biasanya efek dari prematur dan kasus begini, baru kelihatan saat anak berusia 6 bulan. Lalu, orangtuanya datang kesini menuntut rumahsakit… Makanya lebih baik dicek sekarang untuk memastikan kondisinya oke ketika keluar dari sini,” terang dia.

Hell, yeah. Jadi, inti dari tindakan scan otak itu untuk menyelamatkan si rumahsakit. Tidak ada pertimbangan hitungan risiko untuk anak saya, gitu? I won’t buy it. “Insyaallah anak saya tidak apa-apa, Dok. Saya diskusikan dulu rekomendasi itu dengan suami,” ini cara saya ngeles dengan damai. HAHAHA.

Selesailah sesi dengan DSA. Selanjutnya, lebih sering Teguh yang ketemu. Saya konsentrasi breastpumping dan menghibur diri dengan mewarnai coloring bookpemberian kakak saya. Di saat-saat seperti itu, dukungan teman dan kerabat sangatlah berarti. Support dari teman-teman di Birth Club, juga tawaran donor susu dari teman-teman saya… saya menangis tersentuh kebaikan mereka semua.

Hari ketiga, mulai banyak tamu berkunjung. Saya mulai belajar mandi sendiri. Attar datang dan, duh, betapa kangen saya dengan sulung satu itu. Hingga akhirnya, ketika obgyn datang mengecek, dia izinkan saya pulang keesokan hari.

Bagaimana Aqshal?

Aqshal belum stabil kondisinya. Dan saya harus ikhlas untuk pulang tanpa membawa bayi yang baru saya lahirkan. Jangan tanyakan rasanya. Walau bibir saya paksa senyum, hati saya nangis terus….

Di rumah, ada ibu dan adik saya. Attar nempel kayak koyo, hehe. Pagi dan siang, cerah-cerah saja. Begitu malam tiba… saya tergugu menangis… Teguh tidur di rumahsakit menunggui Aqshal… Membayangkan bayi saya tidur sendirian di sana. Tanpa ada yang memeluk dan menyusui langsung. Bagaimana kalau dia menangis? Apakah suster di sana sungguh-sungguh tulus? Bagaimana bila Aqshal dibiarkan menangis sendirian…

Pikiran-pikiran itu membuat airmata saya makin banjir. Ibu saya menghibur… Saya berusaha mengalihkan perhatian dengan fokus breastpumping. Syukur alhamdulillah, ASI makin deras. Tapi, Aqshal kapan bisa pulang?

Teguh bilang, kondisinya mulai membaik walau kadang masih belum stabil. Lalu pada hari kelima, persisnya 20 November, untuk pertama kali, saya menyusui Aqshal langsung.

Pertama kali disusui mama langsung.

Alhamdulillah. Selang di hidung dan mulut sudah dilepas. Tinggal selang infus. Di hari kelima itu, Aqshal akhirnya dipindah ke Perinatal, perawatan biasa. Setiap hari, saya kesana untuk menyusui.

Di momen ini, kami baru menyadari, mata Aqshal gede alias enggak sipit kayak kakaknya. Yay! Mata mirip mama, haha. Perlahan-lahan, bahagia terasakan lagi… hingga akhirnya hari Ahad, Aqshal diizinkan pulang. Setelah 5 hari di NICU dan 2 hari di Perinatal. Total biaya Rp 23 juta (Terima kasih BPJS!).

Dan dimulailah perjalanan baru saya sebagai ibu dua anak lelaki 🙂

Selanjutnya adalah 12 bulan yang SUNGGUH PENUH WARNA. Hehehee.

Merayakan ulangtahun pernikahan ke-3 dengan dua anak.

Aqshal 1st Birthday!

Semoga kamu selalu dalam lindungan dan ridho Allah SWT. Menjadi anak sholeh, penuh welas asih, tangguh, cerdas, sederhana dan murah hati. Berkah umurmu, nak. Tebarkan manfaat bagi semesta. Berlarilah menapaki dunia, terbang melintasi masa dan zamanmu kelak. Doa ibumu mengalir di nadimu. Doa kedua orangtuamu dan semua orang yg menyayangimu, jadikanlah penjagamu. Aaamiiin ya robbal aalamiiin.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi