Mendadak Plasenta Previa

Sebulan sudah menanggalkan titel sebagai ibu menyusui. Yup, Attar akhirnya aku sapih di usia 17 bulan. Accidentally. Demi kebaikan adeknya di perut.

Sedikit kilas balik.

Suatu pagi, hari itu deadline kerjaan kantor, hari Kamis. Bangun tidur selesai shubuhan, kami bertiga masih gegoleran di kasur. Masih pagi. Sekitar jam setengah tujuh gitu, deh. Semalaman Attar menyusu. Dia sedang hobi ngempeng juga. Kalau udah dapet itu nen, susah banget dilepas. Enggak tega jg melepas paksa.

Alhasil, bangun-bangun badan rasanya rontok semua. Terutama punggung. Minta pijitlah ke suami. Mayan mengurangi pegal. Tetiba aku merasakan sesuatu keluar di bawah sana. Bad feeling.

Aku minta tolong Teguh ambilin tissue. Kaget bukan kepalang saat mengecek. Darah segar keluar. Bergegaslah aku ke kamar mandi. Makin kaget karena panties udah banyak darah. Hadeuuhh!!! Usia kandunganku ketika itu sekitar 29 minggu. Udah masuk trimester akhir. Haram hukumnya ada darah. Jangankan darah, flek aja jadi alarm bahaya. Segera ku pasang pembalut. Sembari berdoa semoga perdarahan tidak berlanjut.

Bergegas kami bersiap-siap ke rumahsakit. Attar kami titipkan ke mbahnya. Aku belum sempat masakin dia. Belum sempat mandiin juga. Emergency. Di mobil aku sibuk browsing. Kemungkinannya dua. Plasenta previa atau putus tali plasenta. Astaghfirullah.

Teguh nanya, apakah perutku sakit. Tidak, aku gak merasa sakit, kram, kontraksi atau semacamnya. Keluhanku cuma pegel punggung aja. Singkat cerita, kami sampai di rumahsakit tempat aku biasa kontrol rutin kehamilan. Rumahsakit Hermina Daan Mogot.

Ke ruang pendaftaran aku main daftar ke dokter mana aja yg available. Soalnya dokter yg biasa aku datangi belum ada jadwal praktek sepagi itu. Ku ceritakan keluhanku. Akhirny didaftarkan ke dr. Kurniaty. Naik ke lantai 3 di sana suster dan bidannya lebih tanggap. Mengetahui aku sedang perdarahan, aku dirujuk ke IGD ruang bersalin dan diantar kesana naik kursi roda.

Sesampai di IGD, kami disuruh menunggu. Apa daya menunggunya ternyata lama. Bidan-bidan di situ lebih memprioritaskan ibu-ibu yg baru datang di sebelah ruangan. Tampaknya kondisi dia lebih gawat. Pre eklampsia dan ketuban sudah pecah. Ya udah lah ya, aku coba pahami. Cuma kok lama-lama bete nunggu diperiksa. Kan, pengin tahu kenapa kok aku sampai perdarahan kayak gini? Ketika usia kehamilan sekitar 4 bulan, mudik Lebaran di Gresik, aku sempet flek sih. Semingguan malah. Tapi gakpapa. Nah, kali ini parno dong. Karena bukan flek lagi melainkan darah yg keluar. Huhu.

Aku sempat agak spanneng ngomong ke bidan yg bertugas. Aku tekankan, mana dokternya? Kok ga datang-datang? Senewwen deh. Untung bidannya sabar ga kepancing emak-emak sensi kek gw hahHa.

Akhirnya si dokter datang. Dokter Kurniaty namanya. Perutku pun di USG. Jeng jeng jeng. Aku divonis plasenta previa totalis. Terlihat di layar USG, plasenta melintang penuh di bawah menutupi jalan lahir. Itu dia penyebab perdarahan. Kondisi ini menempatkan kehamilanku sebagai kehamilan berisiko. Terbuka risiko perdarahan lagi. Apabila perdarahan berlanjut, kelahiran prematur bisa terjadi. Omaigod.

Serem dengernya.

Tidak pernah menyangka akan ada kejadian begini. Kehamilan ketiga ini aku merasakan jauh lebih berenergi. Berbeda dengan ketika hamil Attar di mana setiap hari aku diantar Teguh pulang pergi ngantor pake mobil. Manja abis pokoke. Nah, hamil ketiga ini, aku lebih slebor. Berboncengan naik motor ke kantor hingga usia kehamilan 4 bulan. Setelah mudik Lebaran baru aku ngantor naik mobil kalau Teguh kebetulan juga harus ngantor di kantor. Selebihnya, aku malah sering naik commuterline. Sengaja banyak gerak biar bisa lahiran normal walau sebelumnya SC. Apa daya… ternyata plasenta previa. Pake totalis pula.

Aku diwajibkan bedrest total. Lupakan rencana vaginal birth after cesarean. Dengan posisi plasenta total complete menutup jalan lahir, sulit terjadi persalinan normal. “Masih adakah kemungkinan bergeser plasentanya, dok?” Tanyaku. Dokter tersenyum tipis. Dia bilang, seiring pembesaran rahim sesuai usia kehamilan, plasenta sebenarnya bisa bergeser ke atas. Tapiiii, gesernya cuma berapa senti gitu tiap pekan. Nah, dgn usia kehamilanku yg sudah masuk TM3, rasa-rasanya agak sulit itu terjadi. Yassalam.

Satu hal yang aku syukuri, kondisi janin sehat-sehat saja. Berat badannya normal sesuai usia kehamilan. Detak jantung juga oke. Pergerakannya aktif.

Sesi dgn dokter berjilbab itu kelar. Aku sibuk memgirim WA ke reporter dan ke bos. Memberitahukan kondisiku. Tak lama, bidan datang membacakan rekomendasi dokter yg bertanggungjawab atasku, sebut saja dokter X, hehehe. “Ibu harus opname, total bedrest, kami pantau CTG bayi dan akan ada suntik pematangan paru-paru sebagai antisipasi risiko kelahiran prematur,” kata si bidan.

Galau.

Di satu sisi aku akui, bedrest di rumah akan sulit memaksaku beneran istirahat. Tapi nginep di rumahsakit, aku kepikiran si Attar. Dia pasti nyariin mamanya… huhu.

Ya udahlah akhirnya kami nurut untuk opname. Observasi 24 jam katanya. Apakah perdarahan terus berlangsung atau bagaimana. Setelah itu, aku dipasang infus kemudian dipasangi doppler atau entahlah apa namanya untuk mengukur kesejahteraan janin. Ku selipkan doa semoga perdarahan tidak berlanjut.

Syukurlah doa kami dikabulkan. Setelah melepas pembalut, berganti pembalut lagi, selanjutnya yg keluar sebatas flek berwarna kecoklatan. Bukan lagi darah segar.

Attar kami pasrahkan ke mbahnya. Juga ke pengasuhnya. ART-ku beberapa kali mengirim pesan pendek. Attar nyariin mamanya, kata dia. Duh, aku berusaha tenang agar Attar tidak semakin rewel gegara ditinggal mendadak oleh ibunya.

Teguh bekerja sambil menungguiku diobservasi macam-macam. Lantas kami bertanya-tanya, kok dokter X enggak datang-datang ya? Eh, si bidan memberitahu kalau dokter X cuti mendadak. Aneh. Ya udahlah, yang penting udah enggak perdarahan lagi.

Setelah beberapa lama, aku dipindah ke kamar perawatan. Sekamar dengan dua pasien lain. Bosan luar biasa. Ponsel gak pernah lepas dari tangan. Mau tidur juga bosen. Kepikiran Attar. Berkali-kali bidan datang mengobservasi terutama kesejahteraan janin. Alhamdulillah, baby boy stabil dan baik. Masih aktif seperti biasa. Malam menjelang, aku semakin susah tidur. Lagi-lagi kepikiran Attar. Huhu. Begini ya rasanya jadi ibu. Kepikiran anak melulu. Sampai akhirnya aku baru bisa tidur sekitar jam dua pagi. Hadeh.

Pagi-pagi buta aku udah kebangun lagi. Kabarnya si dokter akan datang jam 8 pagi karena dia ada jadwal praktek pagi juga di situ. Eh, tunggu punya tunggu enggak muncul-muncul juga. Aku udah gak sabar pengin pulang. Secara hasil pemeriksaan kondisi janin, alhamdulillah baik-baik saja dan stabil. Aku juga sudah tidak perdarahan lagi. Sedang keputusan pulang menunggu rekomendasi dokter yang tak kunjung datang. Teguh udah senewen, hehe. ART di rumah mengirim pesan pendek menanyakan kami jadi pulang jam berapa… Attar nangis-nangis mencari mamanya… huhuhu…

Mana, sih, dokternya, nih. Katanya observasi 24 jam. Lha ini udah 24 jam dia gak muncul-muncul. Kesel banget. Jadilah jam 11-an dia baru muncul. Kasi penjelasan ini itu. Eh ujung-ujungnya aku enggak dibolehin pulang dong. Alesannya, aku harus USG 4D dulu untuk memeriksa risiko perlengketan plasenta. Alasan kedua, hasil CTG terakhir, detak jantung janin tidak beraturan.

Haiyah. Soal hasil CTG yang timbul tenggelam itu tak lain karena bidannya ngeyel. Udah ku bilang, detak jantung janinku lebih stabil terdeteksi apabila posisiku ketika diobservasi adalah posisi miring. Eh dia ngeyel nyuruh aku telentang. Udah perut gede gitu telentang kan enggak nyaman. Alhasil, janinnya juga aktif bergerak sehingga detak jantungnya kadang terdeteksi, kadang tidak. Setelah dokter kasi rekomendasi observasi ulang, si bidan nyuruh aku miring. “Saya udah bilang, kan, memang seharusnya miring dari tadi. Namanya orang hamil udah segede ini, dokter aja nyuruhnya tidur miring kiri agar oksigen lebih banyak… mbaknya enggak percaya saya bilangin…” jadi nyolot guweh nya, hahaha.

Jadilah observasi detak jantung janin dengan posisi miring. Hih, sebel. Dan bener kan, detak jantung terdeteksi lebih stabil, enggak timbul tenggelam. Ada-ada saja. Mana aku pake dikasi oksigen segala, asumsinya detak jantung bayi timbul tenggelam karena aku kekurangan oksigen. Hahaha. Teguh ngeledekin “Emang kamu lagi sesak nafas, sayang?” kata dia. Hahaha. Maklumin aja deh namanya rumahsakit. Apa yg bisa diduitin kali diduitin. Ngok.

Jam 4 sore jadwal USG 4D. Lumayan lama, sekitar sejam. Semula, sebelum kejadian perdarahan ini, aku dan Teguh berencana USG 4D ke Klinik Sehati di Gading Serpong. Lebih murce. Lha di rumkit bisa dua kali lipat harganya. Padahal alatnya juga sami mawon. Apa daya, ada kejadian begini, rejekinya tuh rumahsakit deh, hehe.

USG 4D ini bikin aku rada paranoid. Si dokter memperlihatkan dan memperkenalkan istilah baru bernama “plasenta akreta”. Simpelnya, plasenta berisiko lengket ke organ lain. Dalam kasusku, ada risiko menempel di kandung kemih. “Ini risiko perdarahan saat sesar cukup besar. Jadi, perlu ada dokter urologi dan siapkan kantong darah. Bila saat persalinan perdarahan sangat banyak, dokter harus memutuskan mengangkat rahim ibu…” jelas si dokter, lempeng.

((((HAHHHH))))

(((RAHIM DIANGKAT)))

Selanjutnya terjadilah tanya jawab. Aku paham, si dokter mungkin berusaha fair memberikan gambaran skenario terburuk. Ya, risiko akreta itu ada. Dia tunjukkan di layar USG. Walau itu kelak harus dicek lagi sebelum sesar. Cuma, kok, i dunno cara penyampaiannya kurang empatik. Kayak mengentengkan gitu tapi dengan skenario buruk. “Emang ibu masih pengin hamil lagi (setelah kejadian begini)?” tanya dia. Pertanyaan macam apa itu. Siapa, sih, yang mau kehilangan rahim? Gile lu, ndro. Walau itu baru sebatas bayangan skenario terburuk, aturan ini dokter kasi sisi harapan juga, dong. Lha, ini? Enggak, tuh. Nyebelin.

Lalu, dia ketik rekomendasi dia di kertas hasil pemeriksaan USG 4D.

“Plasenta previa totalis suspect plasenta akreta, SC primer, perlu dokter urologi. Sedia kantong darah sekitar 1 liter.”

Drama belum berakhir. Kelar pemeriksaan USG 4D dan hasil observasi janin sudah beres, jelang maghrib, dokternya tak jua kasi keputusan aku boleh pulang atau tidak. Duh, ini dokter lelet abis. Jadilah bidan kena semprot Teguh. Dan aku tentu saja. Haha. Akhirnya kami memaksa pulang malam itu juga. Bukan tanpa alasan. Semua pemeriksaan sudah dilewati, hasilnya oke, aku udah enggak perdarahan, ngapain coba tidur di rumahsakit lagi? Kasian Attar udah nangis-nangis nyariin mboke.

Pulanglah kami malam itu juga dan bertemu Attar. Dia langsung peluk-peluk aku terus. Mulai nyari nen. Aku bilang pelan-pelan… “Mama tidak bisa menyusui, sayang.. Mama sedang sakit.. Nanti  kalau dede di perut mama lahir, Attar boleh mimik lagi ya…”

Ada rasa ngilu “menolaknya” seperti itu…

Aku ambilkan dot berisi susu UHT, yang dia sebenarnya tidak terlalu doyan. Lalu aku nyanyiin sholawat, lir ilir, sampai dia tertidur pulas.

“Setelah ini kamu tidak boleh ngapa-ngapain. Semua biar aku urus. Kamu harus kasitahu juga kantormu kondisimu, jangan memaksakan diri,” tegas Teguh.

Iya, aku harus sangat berhati-hati menjaga kondisi agar jangan sampai terjadi perdarahan lagi hingga janinku cukup bulan untuk dilahirkan. Tidak boleh capek-capek. Tidak boleh angkat-angkat termasuk menggendong Attar. Tidak boleh naik turun tangga. Tidak boleh bercinta (kasian deh lu, suami, hahaha), tidak boleh menyusui, tidak boleh apalagi ya… Tidak boleh stress, hehe….

Begitulah…

Sempat terlintas apa aku perlu ambil cuti lebih awal saja daripada tidak bisa maksimal bekerja… Tapi, kalau aku cuti malah teman-teman di kompartemen kurang tenaga. Ya udahlah ya.. aku minta izin bosku untuk tetap kerja namun tidak bisa setiap hari ke kantor. Yang penting kerjaan beres. Dan, ya, setelah aku jalankan sebulan ini, kerjaku normal-normal saja. Dua penugasan tiap pekan bisa aku selesaikan cepat, sesuai deadline.

Semoga aman-aman saja hingga akhirnya jadwal sesar tiba. Aaamiiin.

Sekarang bagaimana?

Usia kehamilanku saat ini hampir 35 minggu. Usia yang dianggap cukup bulan itu 38 minggu dan itu sekitar akhir November-awal Desember 2015. Dokter belum memberi jadwal sesar. So far, keluhanku adalah badan semakin berat, bok. Tidur ora jenak. Sering heartburn juga. Aktivitas sedikit langsung ngos-ngosan. Kemarin aja belanja baju bayi cuma bentar, capeknya luarbiasa. Alhasil lebih sering belanja online, heuhue…

Timbangan udah tembus 70 sekian, hahaa. Terakhir periksa si baby A di usia kehamilan hampir 33 minggu, beratnya sekitar 2 kilogram. Semoga saja sekarang bobotnya sudah 2,5 kilogram ya, nak. Attar bagaimana? Sebulan menyapihnya, alhamdulillah ini anak kooperatif bingit. Menurut pengalaman ibuku, Attar termasuk enggak rewel saat disapih. Sekarang dia kalau tidur, mamanya harus bernyanyi dulu sampai sekian lagu…baru dia mau merem… Hadeh sampai ngos-ngosan nyanyinya, hehe. Kalau melihatku ganti baju, dia masih komen, sih. “Mimik…” serunya sambil senyum-senyum. “Punya siapa ini?” tanyaku. Dia jawab, punya Attar. Haha. “Punya dede Attar ya nanti…” tambahku. “Dede…” celetuknya sambil nyium perutku. Good boy!

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi