Attar: Our Happiness #1

Sudah berbulan-bulan tidak menulis di blog ini, ya ampuuunnn… hehehe. Apa kabar blog? Kangen sebenernya ingin menulis bebas tentang hidup. Menulis, terutama tentang diri sendiri, bagiku memberikan efek meditatif, hehe. Ada jarak antara aku dan Aku *oposeh hehehe.

Jadi, bagaimana kabarnya sodara-sodara?

Ini adalah tulisan saya pertama setelah, hmmm, berapa lama ya… sejak cuti melahirkan April lalu. Oemji. Lama bingit, hehe. Alhamdulillah, life is soooooo goood!!! Aku kini sudah menjadi seorang ibu beranak satu. Istilah kerennya Mahmud Abas. Mamah muda anak baru satu. Ngehehehe.

Bersiaplah, ini akan jadi cerita yang panjang dan akan terhenti begitu Papa Teguh datang menjemput, hehe *yoi, ini ngetiknya di kantor Jumat hari setengah libur gini, abis ada acara halal bihalal di kantor…

Jadi, dulu itu, aku ambil cuti tanggal 14 April… dua pekan menunggu dan galau. Pas tanggal 26 April, aku inget itu hari Sabtu, adalah HPL baby A. Jadwal visit dokter juga. Jadilah kami kesana. Seperti biasa diobservasi melalui USG dan obsgyn bertanya ini itu termasuk : apakah sudah ada kontraksi? dst.

Aku jawab : belum ada rasa apapun. Sudah senam hamil (meski cuma dua kali, bhihihik), sudah ngepel seisi rumah (uhmm, dua kali jugak, wkakkakak), latihan jongkok berdiri (sering kalo ini mah, setiap kali mandi je…). Tapiiii, ga juga berasa apa-apa.

Dokter kandungan yang cantik semampai itu manggut-manggut. Lalu dengan santainya bilang : Oke, bu. Kalau sampai Senin enggak ada kontraksi, Ibu datang kesini ya, kita induksi.

Aku langsung bengong. “Kenapa harus induksi, dok? Kenapa enggak ditungguin aja sampai baby nya keluar sendiri? Bukannya  masih bisa sampai 41w-42w?

Dokter yang cantik itu, beneran cantik loh, menjawabnya santai: iya ibu analogikan kayak kontrakan yang udah mau habis sewanya. Air, listrik semua mulai berkurang. Kasian bu kalau ketuaan lahirnya, kayak kakek-kakek, kulitnya keriput…

Aku diam saja dengan perasaan enggak enak. Lalu aku dan Teguh lanjutkan dengan bertanya, risikonya apa kalo induksi (dan dokter jawab, kagak ada risiko.. walah yo mosok to yoooo…). Aku iya-iyain semua biar sesinya cepet lalu kami berjalan pulang. Yang ku rasakan sedikit emosional.

Semalas-malasnya aku olahraga saat hamil ini, aku termasuk rajin baca. Aku tahu induksi itu apa dan akan seperti apa. Di mobil dengan sedikit bergetar aku bilang ke Teguh : aku gak mau induksi. Bayi ini masih bisa ditunggu hingga 41w-42w, gak perlu dipaksa keluar. Lagian, aku pernah baca 80% induksi berakhir sesar. Kemarin mbak vita (iparku) pake induksi sampai dua malam gak lahir-lahir, si aviet juga dan akhirnya sesar. Pokoke aku ga mau.. *si bumil nyerocos mbrebes mili.

Ya, rasanya kayak dikasih deadline. Padahal, ya, suka-suka bayinya mau keluar kapan, kan. Aku sebenarnya berharap bisa gentle birth, sealami mungkin, seminim mungkin intervensi. Teguh menenangkanku. Dan akhirnya kami sepakat untuk konsultasi ke dokter lain.

Nah, karena besok Minggu, dokter spesialis jarang yang buka praktek. Aku browsing ternyata di Hermina Tangerang ada obsgyn  yang praktek. Kesanalah kami, minggu malam. Ibu juga ikut. Ke Dokter Ira (eh bener gak ya, ntar aku cek lagi deh, hihihi). DIperiksa lewat USG seperti biasa. Dan aku mendengar hal yang sama sekali di luar dugaan : “Bayi ibu oblique posisinya, melintang. Nih, kosong di bawah sini boro-boro masuk jalan lahir… kepalanya di bagian kiri bawah. Ini sih enggak bisa normal,” kata dia. Aku kaget, dong. Teguh dan ibuku juga.

Tapi lewat USG aku tidak bisa mengelak. Saat alat itu diperlihatkan di bagian pubic, di sana gelap alias kosong. Begitu diarahkan di sisi kiri bawah, ada kepala baby A di sana. “Lha kok bisa baru ketahuan, dok? Kemarin saya periksa kepalanya di bawah loh.. dua minggu lalu periksa malah katanya udah masuk panggul meskipun belum ada pembukaan. Kok bisa sekarang melintang?” cecarku.

Dokter berjilbab itu menjelaskan lugas : “Bisa saja bayi ibu berpindah tempat karena tali pusatnya pendek… jadi dia pernah masuk panggul lalu karena tali pusatnya pendek dia mental lagi keluar dan miring. Saya rekomendasinya sesar. Jika dokter ibu sebelumnya rekomendasi induksi biar normal, saya anggap dia dokter yang risk taker…” ujarnya.

Aku bingung dan kalut. Kok bisa, sih, enggak ketahuan.. aneh…. emang sih periksanya malam. Apa karena malam jadi posisi anakku melintang? Selama ini selalu di bawah keknya.. dokter langganan enggak pernah nyebut oblique tuh. Hadeh.

Kami berembug dan karena sudah janji Senin mau induksi, kami hubungi RS Hermina untuk meminta pendapat dokter kami. Singkat cerita, akhirnya opsinya aku pilih sesar. Aku enggak berani ambil risiko kendati pas Senin pagi dicek lagi oleh dokter di sana, katanya kepala baby A di bawah dan belum masuk jalan lahir… masih bisa normal tapi dibantu induksi. NO! Percuma pake induksi kalo akhirnya sesar. Sakit dua kali. Yowes, dengan terpaksa dan menilainya sebagai pilihan paling logis, aku tandatangani tindakan sectio caesarea atas kemauan sendiri (iya dokter di situ tetep keukeuh melihat aku bisa normal… meski dokter Simanjuntak bilang posisi bayiku melintang…).

Jam 10.30 aku masuk ke ruang operasi dan Attar lahir tepat jam 10.50 tanggal 28 April. Cepat prosesnya. Aku hanya tahu dia diangkat dari perutku, suara tangisannya, lalu ku lihat dibawa oleh suster untuk dibersihkan di samping kanan jauh dariku. Kami, aku dan Attar bertatapan mata untuk pertama kalinya… aku masih enggak percaya aku melahirkan, hehe. Anakku tampan sekali…

Lalu, suster membawa Attar mendekatiku untuk ku cium. “Langsung kami bawa ke observasi ya, bu. Di sini terlalu dingin,” katanya.

Aku pasrah. Lupakan IMD. Di ruang operasi itu, tinggal proses menjahit. Aku sempat sesak nafas karena kedinginan (Yup ternyata aku alergi dingin, hehehe). Setelah selesai, aku didorong keluar ke ruang observasi. Terharu menahan tangis saat ibu memelukku, juga suamiku. Aku masih enggak percaya aku habis melahirkan bayi. Terima kasih Tuhan. Terima kasih, ya Allah…

Our beloved Attar.

Kami menamai dia Attar. Nama panggilan. Nama lengkapnya sudah ada tapi masih belum kami sepakati ketika itu. Jadi, sementara yang kami rilis adalah nama panggilannya dulu. Beratnya 3,04 kilogram dengan panjang 49 cm.

Di ruang observasi aku masih menggigil kedinginan. Alergi dingin juga membuatku merasa gatal-gatal terutama di bagian muka. Akhirnya suster datang menyelimutiku dengan selimut panas. Lumayan membantu sampai aku terlelap. Lalu, tidak berapa lama kemudian, Attar diantar untuk menyusu pertama kalinya. Aku sudah 100% pasrah tidak lagi strict atau idealis dengan segala rencana-rencana itu… Kami enggak IMD… Jadi Attar langsung menyusu ke aku… Alhamdulillah dia langsung pinter… anak pinter! Hehehe..

Lucu, ya, pangeranku

Lucu, ya, pangeranku

Attar di gendongan mbahbuk.

Attar di gendongan mbahbuk.

Attar di pelukan Papa

Attar di pelukan Papa

Hari itu, hari yang sangat luar biasa. Makhluk kecil yang telah kami nanti akhirnya bisa kami peluk dan ciumi. Alhamdulillah. Eniwei aku sengaja enggak pasang foto diri sendiri, ya. Heheeh. Maklum kondisi abis melahirkan itu, hmm, ya gitu deh, kacobalo meski bahagianya luar biasa, hihi.

Lalu, aku dipindah ke kamar perawatan. Attar juga diantarkan kesana. Aku bilang ke suster, anak kami ASI Eksklusif. Foto iPhone 537

Aku berusaha serileks mungkin dan not sweat the small things. IAku enggak mau fase menyusui terganggu atau aliran ASI tidak lancar hanya karena aku stress. Jadi, aku stel kendo, dan tidak menjadi kecewa karena akhirnya sesar atau karena enggak IMD. Tujuanku kini satu, ASI lancar. Sudah.

Ibu menungguiku tidur. Karena ruang kamarnya sempit (kelas dua mahal minta ampun tapi ruangan tidak representatif), Teguh tidur di ruang tunggu di luar. Attar ikut tidur sama aku. Dia begitu tenang dan tak henti-hentinya aku memandangi serta mengagumi wajahnya. Mertua dan kakak ipar datang menjenguk, lalu tamu-tamu lain juga berdatangan.

Happiness is all around. Lebih-lebih melihat wajah Teguh. I’ve never seen his face as happy as that day. Hehehe…

Attar dan budenya, juga mbah putri...

Attar dan budenya, juga mbah putri…

Semua yang datang berkomentar : Attar ganteng. Hidungnya gak nahan…

Hehehe… Facebook juga dibanjiri ucapan selamat. Semua bilang Attar ganteng. Alhamdulillah. Tinggal aku dan Teguh yang tak bosan-bosannya saling melempar kata : Attar mirip siapa, ya? Ahahahaha.

Hari kedua, saya sudah bisa duduk lalu jalan ke kamar mandi. Hari ketiga, jahitan meski masih nyeri tapi rasanya kok biasa saja. Orang bilang tidak enaknya melahirkan secara sesar adalah karena tidak bisa lincah pegang bayi, syukur-syukur di aku kejadiannya tidak begitu. Apa karena aku aja ya yang enggak merasakan nyerinya, hehe. Ketutup seneng nyerinya enggak ada apa-apanya dibanding sakit tulang selangka yang aku rasakan saat hamil.

Lalu, hari ketiga aku dan Attar diperbolehkan pulang. Rabu malam kami pulang, senang sekali akhirnya tidur di kasur yang luas, hehehe. Malam pertama di rumah sendiri, Attar nangis kenceng. Muka Papanya sampai panik. Hihihi. Untung ada ibu yang menenangkan. Rupanya Attar kepanasan. Jadilah kami beli AC keesokan hari.

Mamanya masih belum berani memandikan Attar, jadi mbahbuk semua yang menangani. Mama tugasnya adalah menyusui, hihihi.

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari bahagia. Attar termasuk bayi kalem yang pintar menyusu, jarang menangis heboh. Nangisnya wajar aja. Dia sempat kena kuning. Tapi itu wajar banget, kok. Aku dan Papanya tiap pagi jemur dia di halaman rumah tetangga yang kaya dengan sinar matahari. Kehadiran ibu mendampingiku membuat segala proses baru itu berjalan lancar dan mulus. Makanan terjaga yang pasti, hehe. Attar hanya sekali saja membuatku begadang, itu saat mbahbuk pulang sementara ke Gresik karena ada acara nikahan sepupuku.

Begadang pun dia sekadar enggak mau bubu. Tidak menangis juga. Akhirnya mamanya foto2in, deh. Hehehe.

I fall for him...

I fall for him…

Attar kini sudah empat bulan usianya. Enggak terasa, ya. Cerita lain bersambung nanti, ya… Ini foto Attar pas empat bulan tanggal 28 Agustus kemarin…

Attar, 4 months old

Attar, 4 months old

Sipitnya ngangenin.

Sipitnya ngangenin

selfie with camera 360

selfie with camera 360

a bundle of happiness.

a bundle of happiness.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi