Cermin Pemberian Benji

Aku berbagi kisah sedihku kehilangan Benji, bukan untuk mempertontonkan kepedihanku ke khalayak. Aku sekadar tak mampu bercerita berulang-ulang saat ada kerabat atau kawan yang menanyakan kabar kehamilanku, kabar kandunganku… kabar Benji…

Jadi, ketika mendadak ada BBM masuk atau SMS menanyakan kabarku, kabar apakah aku sudah mulai mengandung (biasanya kawan lama yang sebatas tahu aku baru saja menikah), kabar kandunganku, dst, dsb…. aku jawab apa adaya, tidak ada yang ku tutupi, dan jika mereka bertanya lebih detail, aku berikan link blog ini.

Berbagi membuat beban ini lebih ringan terasa…

Kalimat-kalimat seperti ini juga membuatku haru sekaligus bersyukur : “Kalau ada apa-apa, jangan segan-segan berbagi ya… cerita saja…” kata mereka. Teman kantor, teman SMP, teman SMA, kawan kuliah, sahabat-sahabat lama… i’m so grateful…

Banyak teman yang mengaku menangis setelah membaca ceritaku tentang Benji di blog ini… Maaf teman, bukan maksudku membuat kalian ikut sedih, menulis ku pilih sebagai media terapiku agar tidak menumpuk beban itu di kepalaku saja dan jadi toksik. Jika sampai membuat kalian menangis, mungkin itu pertanda empati kalian kepadaku dan Benji cukup besar… Terima kasih yaa… *peluk*

Aku bersyukur masih dikelilingi banyak cinta. Dari sahabat, dari keluarga, dari teman-teman tercinta, dari kolega, bahkan dari kenalan biasa. Ungkapan simpati dan doa-doa tulus mereka cukup menjadi energi positif yang membuatku jengah jika terus menerus meratap dan menangisi Benji…

Meski hari ini, juga kemarin, aku masih saja menangis… terutama saat ada Teguh, suamiku yang superbaik itu. Maafkan aku sayang, istrimu satu ini masih terlalu lemah, sabarlah sedikit lagi, dia tengah berusaha untuk kembali tegar dan ceria seperti maumu…

“What was your happiest moment with me?” tanyaku padanya, kemarin malam.

Dia berpikir lama dan ujung-ujungnya tidak bisa menjawab. “Banyak sekali sayang… banyak, gabisa disebutin..”

“The happiest one?” desakku.

“Banyak…. tapi aku paling bahagia kalau melihat kamu tersenyum, tertawa ceria, bahagia…” jawabnya.

Klise ya. Tapi mungkin itulah memang kebenarannya. Sama halnya aku resah kalau melihat air mukanya tiba-tiba suram atau sedih…

Aku memang cuma bisa menangis saat sendirian dan di hadapan suami. Di tengah yang lain, aku seperti mendadak tegar. Aneh memang. Atau sebenarnya wajar mengingat suami adalah orang yang paling dekat dan tahu persis apa yang telah kami lewatkan…

Namun, dari kawan-kawan juga aku banyak mendapat insight. Banyak kata-kata penghiburan, dukungan, juga cerita-cerita lain yang ku dapat tentang kisah kawan yang lain, yang tak kalah beratnya mendapatkan ujian. Aneka macam bentuk ujian.

Ada yang berobat hingga bertahun-tahun, ada yang sampai bercerai karena persoalan anak (nauzubillah), ada yang sudah mengandung hingga janin berbentuk bayi lengkap namun lalu meninggal sebelum sempat menimangnya, ada yang keguguran sampai belasan kali namun tak menyerah… subhanallah, banyak sekali kisah yang jauh lebih pedih di luar sana. Dan toh mereka tak menyerah. Banyak di antara mereka yang akhirnya happy ending.

Kisah-kisah itu membuatku malu…

Kenapa juga aku perlu berlama-lama dalam cengeng? Masih banyak hal yang perlu aku syukuri, kami syukuri. Insyaallah, dengan usaha dan doa, semua pasti bisa terlewati. Satu hal yang aku minta pada Allah, semoga masalah kami kemarin hanyalah sekadar kecapekan dan lelah, juga demam itu yang jadi penyebab. Bukan hal-hal lain yang serius dan menakutkan. Aamiiin. Semoga kami berkesempatan lagi dititipi amanah olehNya.

“Kita buat Benji-Benji yang lain, sayang…,” begitu hibur suamiku dengan mimik menggoda. Biasanya aku sok manyun dan lalu meringkuk dalam peluknya, dengan mata basah. Aku perempuan sekali ternyata…

Setelah inipun, kami berniat untuk memeriksakan yang perlu diperiksa… sebelum memulai program hamil lagi. Kejadian ini juga banyak membuatku introspeksi, betapa dalam kondisi mengandung, seorang perempuan harus serius belajar membersihkan hati dan pikiran dari segala hal yang negatif dan destruktif. Aku nol besar dalam hal itu.

Aku ingat, ketika tengah kesakitan karena obat perangsang rahim itu, sakit yang tak terbayangkan, sempat terlintas dalam pikiranku… “Gimana kalau ini ajalku… gimana kalau kesakitan luar biasa inilah yang dirasakan oleh seorang menjelang ajal… akal tak mampu lagi jernih, tubuh lungkrah, dan sakit luar biasa… apakah sempat bertaubat? Apakah sempat meminta maaf suami dan restunya… keluarga, sahabat, teman-teman…?”

Di titik ini, aku diingatkan lagi, tentang PR-PR besar yang lama aku abaikan. Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang kau berikan… untuk kesadaran yang menyentuh hatiku lagi…

Terima kasih Benji sayang, dalam kehadiranmu yang begitu singkat, kau ajarkan ibumu hal-hal yang selama ini kerap dia sepelekan… terima kasih anakku sayang, ibu akan selalu rindu kamu, kangen mengusap-usapmu di setiap ku bangun dan hendak tidur, juga di tengah kerjaan kantor…

Terima kasih Benji sudah bantu ibu kembali menyadari, cinta besar ayahmu untuk kita, pada dialah, aku perlu banyak belajar tentang kesabaran, ketataqan, ikhlas, juga tentang mencinta… dan aku tak habis bersyukur diberikan jodoh sepertinya…Allah baik banget sama aku. Aku juga sangat bersyukur dikelilingi keluarga yang penuh cinta juga teman-teman yang luar biasa baik, tulus, dan setia….”

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi