Me and Skincare: a Long Story Reveal

Perempuan dan produk kecantikan. Terdengar seperti dua hal yang sulit dipisahkan. Sejauh ini saya belum pernah menemukan teman atau saudara perempuan yang tidak tertarik dengan printilan produk kecantikan. Pasti pernah berurusan, pasti pernah punya, dan pasti pakai. Minimal memakai bedak deh, hehe.

Kadangkala saya terpikir, benarkah produk kecantikan itu -baik untuk kulit wajah, tubuh, maupun obat-obatan, dst- adalah benar merupakan kebutuhan? Jangan-jangan ya urusannya hanya soal obsesi. Yup, obsesi untuk menjadi lebih cantik, lebih kinclong, lebih menarik, dan mungkin obsesi merasakan sensasinya saja. Sensasi merasakan seolah-olah memang cantik atau bersih, hehe. Sensasi yang lebih banyak dikonstruksi oleh industri kecantikan dengan media massa sebagai kompor utama?

Benarkah jika kita tidak memakaikan apa-apa ke kulit wajah, maka kita menjadi jelek dan kulit menjadi kasar atau buluk? Sejak kapan perempuan menjadi tidak percaya diri jika tidak mengoleskan apa-apa ke kulit mereka? Iya ya, sejak kapan?

Sejatinya, jika menengok sejarah atau kisah-kisah mitos maupun yang berupa fakta, sejak zaman bahuela wanita sudah akrab dengan produk-produk kecantikan. Ingat Cleopatra yang dikisahkan sering mengoles minyak zaitun ke kulitnya agar cantik dan mulusss? Atau, melihat sejarah jamu atau produk  herbal di tanah air kita… bagaimana minyak kelapa sudah banyak dipakai nenek-nenek kita sejak zaman bahuela untuk menyuburkan rambut. Atau, membasuh wajah pakai air tajin agar mulus dan alusss, he he he.

Dapatkan kisah Cleopatra itu diverifikasi? Atau sebenarnya sekadar mitos? Lantas, kebiasaan nenek-nenek kita itu… siapa yang bisa menjamin bahwa langkah mereka memanfaatkan minyak kelapa dan air tajin itu bebas dari konstruksi media (meski bentuk media di masa mereka mungkin belum semassif dan sedominan saat ini…)?

Apapun itu, faktanya, pengetahuan tentang khasiat masing-masing zat itulah yang terutama mendorong dependensi perempuan terhadap produk kecantikan. Semula baru sebatas memanfaatkan rempah-rempah di sekeliling. Zaman bergerak maju hingga bentuk-bentuk produk kecantikan menjadi secanggih dan seberagam saat ini.

Pengalaman saya dengan produk kecantikan boleh jadi dimulai sejak saya bayi merah. Kok bisa? Ya sebut saja, bedak bayi pasti dipakaikan oleh ibu toh? He hehe. Juga minyak telon atau baby cologne, dst. Melewati masa bayi, mungkin malah terbatas bersentuhan dengan bedak saja. Nah, menginjak puber, baru deh petualangan dimulai.

Ibu saya termasuk perempuan cuek, cuek terhadap anak-anaknya mesti memakai produk skincare apa saja menghadapi jerawat-jerawat puber yang mulai mengganggu itu… Iya, beliau tidak pernah memperkenalkan kosmetik secara khusus pada kami, anak-anak perempuannya. Jadi, ibu hanya membiarkan saya nebeng memakai bedak Viva Cosmetics (yang bisa dibeli dalam bentuk sachet isi ulang seharga Rp 500 sebungkus itu, haha). Sehingga petualangan saya dengan skincare adalah murni pencarian seorang diri, hahaha. Bersama kakak saya sih tepatnya, mbak Uci.

Meski begitu, ibu saya pemakai kosmetik merek terkenal ternyata.. Revlon, Viva, Mirabella (masih ada gak merek itu sekarang?), juga Pixy. No, ibu saya bukan skincare junkie. Dia, seperti saya bilang, termasuk cuek. Yang perhatian malah bapak saya. Yoi, bapak saya yang beliin kosmetik-kosmetik itu untuk dia. So sweet ya, hehe.

Nah, waktu itu stasiun TV belumlah sebanyak sekarang. Media massa juga belum semenggila saat ini, baik dari sisi jumlah maupun infiltrasi ke rumah (tsaaelaah bahasanya hehe). Jadi, kebanyakan produsen kosmetik ketika itu strategi pemasarannya adalah datang ke rumah-rumah penduduk. Mungkin Anda juga sempat mengalami hal itu? Biasanya, Sales Promotion Girl (SPG) kosmetik datang ke satu rumah, umumnya rumah pengurus kelurahan/kampung, lalu mengundang ibu-ibu sekitar untuk datang menyaksikan demo peragaan kosmetik, sembari menawarkan paket-paket produk.

Ibu saya menjadi ibu RT/RW selama 14tahun. Dus, saya kenyang melihat banyak peragaan kosmetik di rumah saya, yang dipenuhi ibu-ibu tetangga saya, hehe. Seru loh! Cuma waktu itu, saya masih terlalu kecil untuk tertarik mencoba-coba. Jadi ya, seringnya saya tinggal bermain-main dengan teman-teman tinimbang ikut meriung dengan ibu-ibu yang sedang mendengarkan mbak-mbak SPG beraksi 😀

Nah, menginjak puber, saya memang jadi suka bereksperimen. Waktu itu, selain mendapat uang saku dari orang tua, kakek saya dari ibu selalu memberikan uang jajan setiap hari Jumat. Besarnya enggak seberapa sih, paling Rp 5.000, hihihi. Ya, untuk kisaran zaman tahun-tahun 1990-an, dan bagi anak kecil seperti saya, nilai itu lumayan! Wong waktu itu uang saku saya ke sekolah cuma R 1.000 atau Rp 2.000 gitu deh.

Duit dari kakek saya itulah yang sering saya gunakan untuk menjelajahi khasiat berbagai macam produk skincare haha. Majalah Gadis, Kawanku, Aneka, menjadi sumber racun saya ketika itu. Racun untuk mencoba-coba, ehehehe. Saya dan mbak Uci kerap datang ke Kartini, ini adalah nama swalayan mirip Alfamart atau Indomaretsaat ini, yang cukup hits di Gresik, ketika itu.  Merek-merek seperti Ponds, Puteri, Hazeline, Viva Cosmetics, RedA, Pixy, Pucelle, Ovale, Mustika Ratu, Sariayu, Gizi Supercream, Pabanox/Melanox, hingga Loreal, dan seterusnya… sudah pernah saya coba.

Viva milk cleanser

Viva Milk Cleanser

Namanya anak lagi puber ya, jerawat kecil muncul dikit saja langsung ribut, hehe. Padahal seiring waktu, kulit saya memang jauh dari kata rewel. Jarang jerawatan, apalagi sampai yang gede-gede gitu, kecuali pas mau period saja. Jika disimpulkan, kulit saya termasuk normal cenderung berminyak. Keluhannya cuma di seputar pori-pori besar, komedo, juga kadang terlihat kusam dan kumus-kumus (bahasa Jawa untuk kata “berminyak” ;p).

Selama belum bekerja, saya memakai produk skincare di pasar yang relatif murah dan mudah didapat. Ponds itu andalan. Inget deh dulu harganya Rp 4.000 apa Rp 6.000 gitu, hahaha. Tube-nya warna pink dan ukurannya sekitar 50 ml. Sering maskeran bareng dengan mbak Uci, masker bengkoang Mustika Ratu yg jadi andalan, juga peeling Mundisari-nya. He he he. Nah, setelah mulai bekerja, terlihatlah “karakter” saya sesungguhnya menghadapi gempuran iklan skincare itu. Hahaha.

Yep, saya termasuk yg rada junkie juga. Mungkin karena kulit  gak terlalu rewel jadinya mencoba-coba produk itu gak terlalu menakutkan bagi saya. Ketika itu, saya enggak  merasa puas dengan hasil produk di pasaran. Melihat beberapa kawan dengan kulit wajah kinclong yang ternyata hasil treatment klinik atau dokter, segeralah saya mulai melirik-lirik kesana juga. Natasha Skincare jadi pilihan. Lupa deh waktu itu rekomendasi siapa. Tanpa babibu, tanpa riset mendalam, saya kesana dan membeli produknya. Seperti orang lugu (atau memang lugu hahha), saya beli aja itu meski harga mahal dan ngantri dan mesti datang ke Mal Taman Anggrek. Pertama memakai pedih, tapi karena percaya itu hanya proses sebelum akhirnya kinclong, saya hajar aja itu. Hmm, sayangnya jauh dari harapan.

Selama memakai produk Natasha, kulit memang lebih kenyal dan terlihat lebih segar, tapi entah kenapa saya selalu merasa kepanasan dan berkeringat bin berminyak. Apalagi saya banyak beraktivitas di luar lapangan. Rasa-rasanya krim pagi-tabir surya yang saya pakai sebelum berangkat liputan itu enggak ada gunanya. Wong meleleh kemana-mana, hehe. Lama-lama karena sibuk dan males, saya jadi enggak rutin. Jadilah kulit wajah saya kusam lagi dan bruntusan. Adik saya sampai komentar kenapa mukaku jadi seperti itu. Di antara absen saya memakai Natasha, saya balik mencoba-coba produk di pasar kayak Garnier, Loreal, juga Olay. Lama-lama, karena mental semua, balik lagilah ke Natasha.

“Kok saya enggak berefek apa-apa ya, Dok? Kalaupun kusamnya berkurang, rasanya masih belum yang wow gimana gitu kulit saya..” Eh si dokter selalu bilang, “Ya memang ga bisa kalau cuma oles krim, kudu pakai perawatan juga.” Dia berujar begitu sambil kasih lihat brosur. Mengingatkan saya pada SPG kosmetik di zaman saya kecil dulu, juga SPG di mal-mal yang tujuannya adalah satu : menjual produk sebanyak-banyaknya! Hal itu pula yang membuat saya enggak percaya, si dokter menyarankan itu memang pengen kulit saya bagus atau sekadar kejar setoran menjual produk sebanyak2nya. Hah, ya pasti yang kedua lah motifnya, menurut lo? hahaha.

Sekali waktu saya akhirnya memberanikan diri mencoba perawatan jetpeel. Harganya mahal bagi kantong saya, Rp 500 ribu. Treatment cuma 20 menit di mana kulit wajah saya disemprot oksigen berkecepatan tinggi. Tujuannya agar kulit cerah. Hahahahaa. Ngefekkah? Kagak! Ya memang jadi kenyal. Tapi bukan yang bikin wow gimana gitu. Mungkin kulit saya tipikal kulit badak, hahaha. Setelah itu saya enggak pernah lagi ambil treatment, palingan facial.

Lalu, laman Facebook mengantarkan saya mengenal produk Green Mommy Shop (GMS).  Kawan saya kuliah sering posting soal produk GMS di laman FB, eh ternyata dia sekarang jualan, hehe. Awalnya males sih, ah paling jualan konsep organik+alami doang, klaim doang. Riset sana sini, saya kok jadi tertarik ya. Keknya produknya serius dibikin dari bahan alami. Apalagi kalo lihat profil pemiliknya yang sepertinya organics and raw food life junkie! Coba aja buka website-nya di http://www.gms.hadeyah.org.

Semangat utama, meninggalkan produk kosmetik dengan kandungan kimia sintetis banyak seperti Natasha (iya ngeri saat tahu kandungan kimia sintetis di produk-produk komersil di pasaran, efeknya bisa serius).

Semangat lain? Pengin coba-coba hahaha. Lalu, hasil riset mengantarkan saya juga ke situs penuh “racun” ini http://www.femaledaily.com. Hahaha. racun bagi dompet, karena di situ ternyata buanyaaaak sekali perempuan yang lebih gila kadar junkie-nya terhadap produk skincare! Oiya, di situ saya juga semakin terbuka mata melihat betapa banyak “korban” produk kulit yang sempat saya pakai itu. Aseli ngeri. Untung di saya efeknya enggak parah2 amat.

Singkat kata singkat cerita, saya memberanikan diri melepaskan diri dari Natasha. Awalnya mencoba Cinnamon Oat Soap (bikin kulit harum lembut lembab, enak banget..tapi enggak repurchase karena masih pengen coba jenis lain hehe), Cardamom Soap (ini bisa untuk sabun badan juga untuk shampoo, enak banget di kulit apalagi mandi abis pulang kerja atau pas capek, hangat di kulit, tidur jadi nyenyak), Extra Virgin Oil Organics (EVOO), Jasmine and Green Tea Soap (ini biasa aja, baunya juga enggak mengesankan), Anti-dandruf oil (rambut gw sempet bermasalah dgn ketombe, menyebalkan! Anti-dandruf-nya enak hangat di kulit kepala, sayang suamiku merasa terganggu dengan baunya, bau rempah gitu deh, so aku pake-nya jadi jarang), trus beli Whitening Soap-nya (yeah, i’m a lil whitey junkie, haghaghag. Ini belum dicoba, masih di kulkas).

CinnamonOatsSoap

Cinnamon oats soap GMS

Terakhir beli Castor oil, Grapeseed oil, Tropical Facial Scrub (belum dicoba) dan Safe Sunscreen Cream SPF 30 (creamy teksturnya tapi aromanya jamu banget! Kayak lagi pake obat jerawat Mustika Ratu).

Oiya, saya sempat dikasi bonus sama si Dian, kawan saya yang jualan itu… Cacao butter oil. Katenye khasiatnya adalah menangkal or menghilangkan stretchmark semisal nanti saya hamil (ceritanya ini hadiah kawinan hahaha). Nah berhubung sekarang saya belum hamil, cacao butter oil yang beraroma coklat (kadang tergoda pengen jilatin wkwkwkw) sering saya pakai sebagai massage oil. Yoi, suami saya ketagihan dipijitin sebelum tidur, pijitan saya katanya enak, zzzzzzz :p

Kini saya membiasakan diri membersihkan muka dengan metode OCM (Oil cleansing method), yaitu dengan castor oil+EVOO atau castor oil+grapeseed oil. Night creamsekarang ganti night oil haha… kadang EVOO, kadang GO. Itupun saya pakai di malam hari hanya ketika malam itu enggak ada agenda “beribadah dengan suami”, oopss! :p

Paginya, memakai safe sunscreen GMS (yang baunya kayak jamu itu, hihihi), sebagai pelembab. Bedak masih pake Marcks, kadang-kadang saya pakai Colorstay Aqua Revlon, atau compact powder Sariayu.

Next, untuk perawatan lain seperti masker atau scrubbing, saya akan banyak-banyak memanfaatkan bahan alami di kulkas dan dapur. Thanks to para ladies di Femaledailyyang banyak berbagi resep homemade skin remedies. Rajin-rajin aja deh bikin resep sendiri dan beberes muka biar gak perlu sering2 ke salon, penghematan hahaha.

Terakhir facial adalah di salon Mosz, sepekan lalu, karena saya enggak sanggup bersihin komedo sendirian (saking banyaknya, wkwkwkw), secara belum facial sejak sebelum menikah Desember kemarin!

Kalau untuk kulit tubuh, produk yang saya pakai masih bermacam-macam. Ada The BodyShop, GMS, Mustika Ratu, lulur Bali, dsb. Olive series-nya Body Shop enak banget!! Apalagi scrub-nya. Aaaah mau repurchase tapi sayang duit, hihi.

Sejauh ini, kulit muka saya memang mulai bruntusan, efek sakaw karena lepas dari Natasha (yang disinyalir mengandung steroid itu… apa tuh steroid, coba aja googlingefek buruknya *sigh). Tapi, alhamdulillah engggak yang parah gimana. Cuma jadi rada kasar aja sekarang ini. Semoga aja pelan-pelan bisa halus lagi dan kenyal dan cerah sesuai harapan 🙂

Meski saya sadar, mustahil mendapatkan kulit idaman jika asupan makanan enggak dijaga (jadi apa kabar target menjalankan #foodcombining dengan serius? Hahaha).

Eniwei, jika memang GMS ternyata cocok di wajah saya, saya berniat untuk menjadi reseller-nya, ah. Haha. Mengajak sebanyak mungkin orang untuk beralih ke produk lebih sehat dan aman.

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi