Titip rindu buat Bapak...

Jika ada seseorang yg selalu saya hirup kehadirannya di setiap hela nafas, seseorang itu adalah Bapak saya.

Jasadnya sudah tiada, persis lima tahun silam. Tapi, sampai kini, saya masih bisa merasakan kehadirannya di mana-mana, di setiap langkah saya yg terayun. Di setiap penggal pedih dan bahagia yang saya rasakan.

Dan suasana Ramadan seperti sekarang, membuat kangen saya kian berlipat-lipat padanya. Sedang apa kira-kira dia di sana, sekarang? Saya kangen menikmati Ramadan, bersamanya. Sahur, dan berbuka puasa dengannya.

Gaya makan kami sama, rada slebor, hehe. Selera makan juga sama persis. Doyan sate, doyan gule, doyan makan yang berat-berat. Sama-sama gembul. Suara bersin saya yg keras itu, juga turunannya, hehe.

Biarpun seluruh orang bilang saya mirip ibu, secara fisik.. tapi justru ibu saya seorang yg setiap melihat saya sering nyeletuk: “Ooz itu persis Bapaknya.” Hahahaa. Mungkin dari sisi watak, kebiasaan, dan bahasa tubuh, ya. Entahlah. Itu dari mata ibu. Anak perempuan yg mirip Bapaknya, orang Jawa bilang, “ngerejekeni” alias bawa banyak rejeki. Saya selalu tersipu-sipu, merasakan desir bahagia di hati setiap ibu saya bilang kalau saya nge-plek Bapak. Hehehe.

Dahulu, Bapak bertugas membangunkan kami, lima anaknya, ketika sahur. Ibu bertugas memasak di dapur. Mereka berdua bangun jauh sebelum imsak. Bapak kerap shalat Tahajud lagi, meski sebelumnya sudah Tarawih. Lalu menemani ibu menyiapkan sahur. Begitu masakan siap, baru Bapak membangunkan kami satu per satu. Cara membangunkannya khas. Dipijitinya kaki kami satu-satu. Saya termasuk yang paling mudah dibangunkan. Sedangkan mbak Uci, kakak perempuan saya, dan Lisa, adik bungsu saya, adalah yang paling susah. “Ayo bangun, sahur dulu… tuh masakannya udah matang,” serunya sambil memgusap-usap kepala kami.

Sampai kami besar, sampai kakak saya yang pertama memberinya cucu pun, dia masih begitu memanjakan kami. Malah jika sedang tidak Ramadan, setiap saya pulang ke rumah dari Jogja, beliau sengaja membuatkan saya kopi susu kesukaan, agar saya sregep bangun pagi. Hehehe. Kenangan yg selalu membuat saya menyesal karena masih kurang melakukan hal serupa terhadapnya, melayaninya, berbakti padanya, memanjakannya.

Si pembangun tidur nan lembut itu berpulang ke haribaanNya, persis di bulan mulia ini, lima tahun silam. Tanggal 29 Ramadan, hari terakhir puasa di penggal Oktober 2006. Ahad pagi.

Dia, ketika itu sudah tidak mampu berbicara karena serangan stroke yang keempat kali, yang terparah. Namun ia masih bersemangat membangunkan saya sahur. Sabtu malam itu saya tidur di rumah sakit, bersama adik saya Eva dan ibu. Semalaman saya tidur di kursi di samping ranjang, mengusap-usap lengannya yang nyeri usai disuntik insulin. Mengolesi dadanya dengan Vicks agar tidurnya nyaman. Sekitar jam setengah dua pagi, ibu menggantikan saya berjaga.

Selama sahur, Bapak ikut menemani. Dia selalu ketawa lihat saya makan. Mungkin dia geli kok ada anak yg makannya sama persis gayanya dengan dia, hehe. Shubuh datang, mata saya lengket sekali, maklum baru tidur beberapa jam saja. Ibu membangunkan saya untuk shalat shubuh. Saya lihat Bapak sudah bersih mandi, abis shalat Shubuh, dan tengah disuapi dengan air pepaya. Bapak memandang ke arah saya tersenyum, saya cengengesan. “Aku ngantuk…, masih sakit tangannya?” tanya saya. Dia menggeleng, tersenyum khas. Saya kembali rebah, memandangnya dari dipan sebelah…sampai mata saya kembali lelap. Tentu saya tidak pernah menyangka, jika saat itu adalah kali terakhir saya melihat Bapak dalam kondisi sadar…

Hari Jumat-nya, Bapak memang sempat kritis, meski tidak sampai koma. Asma yang sudah lama sembuh, mendadak kambuh. Ketika itu saya seperti dipaksa Tuhan untuk berani menghadapi pikiran itu, pikiran bahwa Bapak bisa sewaktu-waktu pergi meninggalkan saya, kami. Pikiran yang sebelumnya tidak pernah saya biarkan bertahan barang sebentar saja di otak saya. Meski Bapak sudah beberapa kali terserang stroke. Saya selalu menolak pikiran itu, pikiran bahwa dia manusia biasa, yang fana, yang pasti tertelan kematian. Pikiran konyol saya ketika itu, pokoknya dia tidak boleh mati. Hahaha.

Hari Jumat itu, usai sesak nafasnya mereda, dia disuntik penenang dan tidur. Saya merenung sendirian di lobi rumah sakit. Beberapa meter dari rumah sakit itu, ada mesjid. Itu hari Jumat. Banyak yang pulang dari shalat Jumat. Pikiran itu melintas. Tentang kemungkinan dia pergi untuk selama-lamanya. Tak terasa airmata saya meleleh. Tak berdaya. Tentu ini bukan kisah ideal. Nanti siapa yang menikahkan saya kalau dia keburu pergi? Saya bahkan belum diwisuda. Demikian pikiran saya ketika itu.

Di tengah pikiran yang berkecamuk, mata saya memicing ketika melihat di kejauhan, ada seorang lelaki seumuran Bapak, memakai peci, sarung hijau persis punya Bapak, berjalan pulang Jumatan. Cara jalannya persis Bapak saya, juga cara dia memegang sajadah. Saya beranjak lari membuntuti bapak-bapak itu. Tapi lalu dia hilang. Entah berbelok kemana. “Ah, halusinasi, wong Bapak sedang tidur di kamar…” batin saya. Saya baru sadar di kemudian hari, bahwa itulah firasat yg diberikanNya, sebelum saatnya Bapak sungguh2 pulang…

Sabtu pagi, usai visiting, Dokter bilang, Bapak sudah bisa pulang, bisa Lebaran di rumah. Tinggal menjaga kestabilan kondisinya. Nanti bisa disambi fisioterapi agar dia bisa kembali berjalan dan berbicara. Ibu mulai memberesi pakaian. Kami bersyukur, tak perlu berlebaran di rumah sakit. Lima hari opname di awal puasa karena serangan vertigo, dan sepekan terakhir Ramadan menghabiskan waktu di rumah sakit, cukup melelahkan. Bapak ingin pulang. Ingin lebaran di rumah.

Ya, dia memang ingin pulang.

Minggu pagi itu, ketika baru saja mulai lelap, saya terperanjat terbangun karena suara ibu yang panik. Sesak nafas Bapak kambuh. Saya trauma dengan kejadian Jumat… Saya langsung berlari mencari suster jaga. Waktu berjalan begitu lama menunggu suster datang bertindak. Dalam kepanikan, saya menelepon rumah, menyuruh kakak-kakak saya segera ke rumah sakit. Suster datang, dokter datang. Namun Bapak sudah tidak sadarkan diri. Matanya sudah terpejam. Tapi dia tidak tersengal-sengal. Dia seperti pingsan. Dokter bilang, tekanan darah Bapak anjlok sampai 75.

Saya duduk di sisi kiri ranjang, ibu di sisi kanan, menggenggam tangan Bapak. Saya sudah pasrah. Membisu. Suster masih berusaha melakukan CPR, atau entah apalah itu namanya. Saya usap dahinya, saya sentuh nadi di lehernya. Tapi saya tidak bisa merasakan apa-apa. Hanya mampu berdoa dalam hati. “Terserah Tuhan baiknya gimana…” doa saya. Ibu memanggil-manggil nama Bapak… mengucap talkin… sembari menggenggam erat tangan belahan jiwanya selama 31 tahun…

Lalu dokter bicara dg kakak lelaki saya. Lalu kakak lelaki saya memeluk saya sambil berbisik: “Ikhlaskan Bapak ya..” saya mengangguk. Tidak ada airmata. Saya cuma menggigit bibir, bahkan akhirnya terpaksa menggigit kaos kuat-kuat untuk menahan tenggorokan yg tercekat, melihat adik dan kakak perempuan saya menangis berpelukan. Tak tega melihat adik saya menangis. Lalu, di detik ketika genggaman ibu di tangan bapak dipisahkan oleh paklik… garis nafas Bapak di mesin itu, lurus…

Dia sudah pergi…

Begitu cepat…

Tepat jam 06.45 WIB.

Saya sentuh lehernya, dahinya, masih hangat. Saya tidak percaya tubuh itu sudah tak bernyawa. Begitu tenang kepergiannya…. Bapak kayak orang tidur begitu saja. Hanya saja, dia enggak mau bangun lagi. Meski ibu saya memanggil namanya berkali-kali…

Saya kecup keningnya, masih hangat. “Baik-baik ya Pak…”, bisik saya, masih tanpa airmata. Itulah pengalaman pertama saya melepas seseorang pergi untuk selamanya.

Saya seperti mati rasa.

Usai memberesi administrasi rumah sakit dengan kakak perempuan saya, saya ingat perbincangan ini. “Kamu harus ikhlas, Os…” kata mbak Uci. Dia tahu saya lumayan mbok-mboken, apalagi sama Bapak. Kalau telpon2an ketika kami berjauhan, isinya adalah kangen-kangenan. Bapak saya memang romantis… dan saya, anak bungsu yang enggak jadi, hehe…

Saya tidak tahu bagaimana sebenarnya ikhlas itu. Yang saya tahu, saya mencoba menerima jika ini keputusan terbaikNya. Satu saja pertanyaan saya saat itu: “Gimana nanti kalau aku kangen Bapak, kangen suaranya?” tanya saya, kekanakan. Memang itulah satu-satunya pertanyaan… “Ya sudah enggak bisa..alamnya udah beda..” kata mbak Uci. Saya terdiam.

Usai dikafani, saya menciumnya lagi. Kali ini kulitnya sudah dingin. Bapak dibalut kain kafan, terpejam damai. Dan seulas senyumnya yang khas itu, masih ada di sana. Itulah saat terakhir, saya melihat jasadnya.

Malamnya, udara dipenuhi oleh suara takbir. Malam takbiran. Bapak sudah pergi mendahului kami. Dia lebaran di rumahNya yg sejati. Saya memeluk bantal Bapak kemana-mana, mencari-cari sisa kehadirannya dari bau tubuhnya yang tertinggal di sana. Juga kaosnya… Saya bertakbir lirih sambil memeluk kaos Bapak. Menghirup baunya…

Belum ada tangis yang sesungguhnya. Karena saya, entah mengapa, masih menahan-nahannya. Mungkin karena tidak tega menangis di depan ibu saya, atau adik-adik saya. Mereka tentu jauh lebih berat menghadapi ini. Adik-adik saya masih kecil, Eva masih belum lulus pesantren, Lisa masih SMP. Ibu saya? Bayangkan terpisah dari belahan jiwa yang sudah menjadi sigaran nyawa selama 31 tahun… Saya tidak bisa membayangkan perihnya. Maka saya menahannya…

Sampai dua bulan kemudian, saat saya sudah kembali ke Jogja, dan tiba-tiba seperti baru dibangunkan dari mimpi buruk. Saya seperti baru menyadari ternyata Bapak sudah benar-benar pergi, tak lagi ada di dunia ini. Tidak bisa saya dengar lagi suaranya, tawanya, mata kancilnya, senyumnya. Lalu, rasanya seperti ada lobang besar di dada saya. Sakiiiit sekali. Pediiiih sekali… tak pernah saya menangis sekeras dan selama itu…

Segala duka yang sudah mendaras di Gresik, tumpah di Jogja. Saya kangen sekali padanya. Sampai saya bertanya pada salah seorang kawan saya, “Bisakah kami bertemu lagi, berkumpul kembali?” Kawan saya menjawab, selama kami berada dalam satu ikatan keimanan yang sama, perkumpulan kembali, pertemuan kembali itu sudah dijanjikanNya. Maka itulah cara yg saya ambil sampai hari ini. Meredakan rindu dengan menyapanya dalam sujud dan doa.

Gusti, perpisahan fisik ini sungguh kadang berat sekali saya tanggung. Saya tahu, dia tidak pernah pergi, jiwanya, warisan-warisan kebaikannya, mengalir selamanya dalam darah kami, di setiap hela nafas kami… Kendati sering saya mendadak begitu rindunya, ingin mencium tangannya, memeluknya, melihat senyumnya, mendengar tawanya…bercerita-cerita banyak hal tentang segala yg saya alami…

Aku kangen Bapak.

Di setiap saya pergi, mengukur jalanan, di tengah keramaian mall, bahkan pasar seperti Tanah Abang, melihat baju koko dan batik beraneka warna, saya mengingatnya. Andai dia masih di sini, dapat ku sentuh, dapat ku telepon, akan saya belikan semua barang-barang itu untuknya. Mengajaknya makan sate kambing paling enak atau seafood paling dahsyat.. Ingin memanjakannya habis-habisan…

Ramadan seperti ini, Bapak dulu selalu sibuk mengurus kegiatan di mushola di tempat tinggal kami. Bahkan dulu rumah kami menjadi tempat shalat tarawih karena mushola kampung dipakai tarawih kelompok jamaah yang lain.

Ya, dia selalu sibuk saat Ramadan. Mengatur jadwal penceramah, juga imam shalat Isya’ dan Tarawih. Bapak juga kerap jadi imam pengganti. Dan setiap beliau menjadi imam, saya malah tak khusyu’ shalat karena kuatir beliau salah baca ayat, hahaha.

Bapak memang bukan kyai, beliau bahkan baru lancar mengaji Al Quran setelah menikah dengan Ibu. Bahasa Arabnya masih pas-pasan, sehingga dia sengaja membeli Al Quran yang ada tulisan latinnya. Saat masih kecil, mbak Uci suka iseng menutup bagian bahasa latinnya, menggoda Bapak yg sedang mengaji, sampai dia berhenti karena dia memang terbatas pembacaan huruf Arab-nya. Hehehee.

Ramadan seperti ini, saya juga kerap menemaninya pergi ke pasar. Membeli kepala kambing atau bandeng ukuran sekilo untuk Lebaran. Menikmati ramainya malam selawe atau 25 Ramadan, atau pasar bandeng setiap tanggal 28-29 Ramadan. Hajatan tahunan yang cuma ada di Gresik.

Banyak sekali kenangan itu. Dan bagi saya, bagi kami, dia memang tidak pernah pergi. Dia selalu ada di sini. Fisiknya saja yang tidak bisa lagi saya sentuh dan saya lihat. Tapi dia ada di mana-mana.

Sehari sebelum Ramadan kemarin, saya berkesempatan nyekar ke makamnya. Jangan dikira saya nangis sesenggukan saat datang ke sana, ya. Usai berdoa, saya justru sering tersenyum geli teringat segala hal yang pernah saya lalui bersamanya. Setiap mengingat dia saya malah ketawa. Tawa bercampur haru dan rindu. Teringat mata kecilnya itu, dan suaranya yg lembut…

Kapan ya kami dapat berkumpul lagi? Saya percaya janjiNya, kami akan berkumpul lagi, suatu saat nanti. Entah dg cara apa atau bagaimana, saya tidak tahu. Saya ingin sekali lagi, memeluknya, mengucapkan terima kasih untuk semua cinta dan warisan kebaikannya…

‘Til we meet again, Pak..

Jakarta, 12 Agustus 2011, usai sahur…

*In memoriam of Muhammad Arifin bin Abdurrachim

Our beloved father | my lifetime hero | my lifetime motivator

Comments

Banyak dibaca

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Inflasi Tinggi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Tarif Listrik Mahal, Turunkan Daya Listrik Jadi Solusi: Begini Cara Menurunkan Daya Listrik

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi