Saturday, March 25, 2023

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Lama sekali tidak menulis lagi di laman ini. Ada banyak hal terjadi dan berubah yang membuat waktu saya kini menjadi semakin sempit karena peran yang kian banyak dan menuntut dipenuhi. Alhamdulillah. Praise to Allah. Memasuki 2023 dengan semangat dan optimisme yang lebih cerah.

Catatan ini saya tulis pada akhir pekan yang spesial. Bulan Ramadan. Di pengujung Maret yang cuacanya masih labil. Terkadang sangat panas dan terik juga lembab. Kadangkala kering dan sejak kemarin sore, mendung disertai hujan dengan angin yang begitu dingin.

Malam pertama Ramadan kemarin, alhamdulillah saya bisa berkumpul dengan keluarga: kakak dan adik saya yang tinggal di selatan. Sholat tarawih berjamaah dan berkumpul bercerita tentang masa-masa awal merantau di ibukota. Mengingat cerita-cerita itu, saya jadi ingin menuliskannya di sini karena sepertinya belum pernah saya abadikan dalam tulisan, haha… yah, tentang kehidupan awal saya di kota besar ini. Biar jadi cerita juga untuk anak-anak kelak.

Bahwa saya hari ini adalah hasil dari ribuan bahkan mungkin jutaan langkah yang sudah terjalani sejak hari pertama hijrah ke kota yang sungguh besar ini. Ibukota Indonesia dengan jumlah penduduk 10,64 juta jiwa (BPS, 2022). Bila siang hari, mungkin jumlah orangnya bertambah lebih dari 1 juta. Pekerja yang berumah di daerah penyangga (Bodetabek) dan memakai KRL sebagai transportasi utama saja mencapai 1,2 juta orang per hari. Belum yang memakai sepeda motor, mobil pribadi, transportasi publik lain. This is a super huge city. Lebih besar daripada jumlah penduduk Norwegia atau Uni Emirat Arab.

Juni 2007

Saya lupa persis hari saya datang kesini itu tanggal berapa. Yang pasti, sekitar Juni atau Juli. Ini berdasarkan Surat Keterangan Lulus (SKL) yang saya gunakan untuk melamar kerja di salah satu media ekonomi di Jakarta. Saya ke kota ini naik kereta api, entah Gumarang atau Bima, lupa, wkkk. Yang pasti sesampai di stasiun, saya dijemput kakak lelaki saya pagi itu. Lalu diajak sarapan di warung dekat TMP Kalibata situ. Lalu, saya diajak ke kos kakak saya -masih ngekos saat itu- di Kalibata.

Sampai di kos, yang cukup mewah walau kamar mandinya bukan di dalam kamar, saya disuruh istirahat dulu -mandi lalu membayar tidur yang kurang nyenyak di kereta. Setelah itu kakak saya yang waktu itu tengah merintis bisnis penerbitan pasca resign sebagai jurnalis di majalah mingguan besar, menyuruh saya bersiap-siap untuk diajak ke sebuah kantor. Saya, kurus sekali kala itu, haha. Super lugu, penuh kebingungan, pertanyaan, tapi masih terpendam dan serba grambyang. Diajaklah saya mendatangi sebuah rumah di bilangan Pengadegan, masih di selatan Jakarta.

Di sana saya diperkenalkan dengan beberapa orang. Oh, rupanya saya di”suruh” ngenger dulu di situ sebagai reporter di Majalah Pendidikan. Berkenalan dengan anak seusia namanya Fathoni, sama-sama reporter. Sebuah kantor penerbitan milik Pak Iwan, mantan Pemred Gatra. Di sana saya bertemu Pak Ipul, Pak DH (eks jurnalis majalah mingguan terkenal), Mba Arin (sekarang tinggal di Belanda) dan Mas Robi (kini ngetop jadi analis terorisme).

Ada alasan mengapa kakak saya “melempar” saya kesini, wkk. Saya punya pengalaman di pers kampus dengan jabatan tertinggi sebagai Pemred LPPM Sintesa di Fisipol UGM, Jogja. Ya udah, saya mingle aja dan langsung dikasi penugasan. Inget banget, liputan dan tulisan pertama saya adalah tentang Lomojari di Kemendikbud, ha ha ha. Meski belum pernah jadi jurnalis profesional sama sekali sebelumnya, baru sebatas jurnalis pers kampus, saya sudah terbiasa liputan dan mewawancara orang ketika terlibat dalam berbagai riset di kampus, mulai riset terkait pemilihan presiden pertama kali dalam sejarah, wawancara untuk riset project Bank Dunia, dan lain sebagainya.

Di Kemendikbud itu, saya meliput pameran hasil karya siswa, mewawancara peserta pameran juga guru-guru yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Di sana juga saya pertama kali melihat bagaimana para jurnalis media-media besar bekerja, beramai-ramai mengejar Mendikbud kala itu, Pak Bambang Subianto. Batin saya kala itu, “Penting banget ya, orang itu sampai dikejar kayak begitu…” tanpa sadar bahwa suatu hari kelak saya bertindak yang sama sebagai jurnalis, wkwk.

Selain menjadi reporter, saya juga kadang diminta kakak saya menyumbang tulisan resensi buku, lupa untuk media mana.

Pertama kali liputan ketika itu saya diantar kakak ke Kemendikbud dan saya seperti banyak orang daerah pada umumnya yang pertama datang ke kota megapolitan ini, sibuk mendongak ke atas melihat skyscrapper itu, hahahaha. Norak yo ben, wkkkk. Dari balik punggung kakak saya, di atas sepeda motor, saya terpana. “Tinggi ya?” ledek kakak saya seolah membaca kenorakan saya di balik punggungnya, wkwk.

Hari-hari awal di Jakarta, saya menjalankan rutinitas sebagai reporter media internal di kantor Pengadegan sembari menunggu panggilan dari media ekonomi Kontan, yang saat itu baru melahirkan lini Harian Kontan (awalnya adalah Tabloid, masih ada sampai sekarang). Saban hari saya pergi ke Pengadegan naik angkot. Jalan kaki dari kos ke depan jalan raya Pasar Minggu itu, naik Kopaja atau angkot saya agak-agak lupa.

Menjalani hari penuh kebingungan dengan arah hidup dan serba tidak yakin benarkah ini jalanku, benarkah ini mauku, apa yang aku cari, apa yang aku inginkan…

Urusan Jogja tinggal menunggu jadwal wisuda. Hari-hari sendu penuh galau kala itu memberi nuansa yang membuat kehidupan awal di kota ini menjadi begitu membekas ingat.

Kebayoran Lama 1119

Suatu hari kakak saya mengabari bila saya dipanggil wawancara di Kontan. Hmm, ini akan jadi pengalaman pertama wawancara kerja. Sejak di kampus saya sebenarnya sudah beberapa kali bekerja, cari duit sendiri kecil-kecilan, tapi tanpa wawancara tetek bengek karena bekerja di kampus ketika itu saya mengandalkan networking jadi tidak pernah melewati fase formal seperti wawancara kerja dan semacamnya, apakah itu saat menjadi asisten dosen, membantu riset NGO, membantu riset Pusat Studi dan semacam itu.

Kakak saya hari itu mengantarkan saya ke sebuah kantor yang lebih terlihat seperti bangunan rumah di bilangan Kebayoran Lama 1119. “Jauh sekali ya…” batin saya. Bersepeda motor dari Kalibata-Palmerah, tentu saja jauh. Pegel pantat, wkwk.

Sebelum hari itu, saya belum pernah mendengar dan membaca yang namanya KONTAN, apakah itu Tabloid ataupun Hariannya. Kakak saya yang selalu bisa diandalkan dan perhatian, membelikan saya koran dan tabloid Kontan untuk saya baca, malam hari sebelum jadwal wawancara itu. Koran ekonomi, hmm, tema yang tidak pernah menarik minat saya selama saya di pers kampus. Sesampai di sana, saya bertemu dua orang lelaki yang juga hendak diwawancara, tapi sepertinya mereka jauh lebih senior -sudah menjadi jurnalis di media lain. Sandy Baskoro salah satunya.

Saya diminta mengisi formulir biodata termasuk ekspektasi gaji. Saya tidak tahu harus mengisi berapa. Iya, sebuta itu, wkk. Saya telpon kakak saya dan dia menyarankan saya mengisi Rp 4,5 juta (ekspektasi gaji yang sempat diketawain oleh Pak Direktur perusahaan karena dinilai halu hahahah, ketinggian cuy… dan diceletukin sama redaktur saat itu: “Ah pasti udah dimark-up itu angkanya” tanpa saya paham maksudnya markup apaan, ha ha.. Ya, meski akhirnya dapetnya ga terlalu jauh juga sih dari situ, mayanlah untuk fresh graduate daripada manyun, wkwk).

Acara interview molor dari jam yang dijadwalkan. Saya diminta datang jam 10 pagi tapi sampai jam 12 siang belum ada tanda-tanda pewawancara datang. Kata resepsionis, si pewawancara terjebak banjir. Hmm. Memang waktu itu hujan deras, sih. Sampai akhirnya orangnya datang, dan saya mendapat giliran wawancara pertama.

Saya tidak punya pilihan selain berusaha percaya diri dan mengusahakan yang terbaik. Saya anak daerah, polos dan lugu walau datang dari universitas terkenal -nomor satu di Indonesia sampai detik ini, ehem, wkwkwk, walau selama di kampus cukup aktif sebagai aktivis persma; tapi tanpa pengalaman kerja di media besar sebelumnya. Saya tidak yakin bakal lolos. But I’ve got nothing to lose. Selesai wawancara, saya dijemput mbak Elmy, jurnalis Gatra -teman kakak saya yang kebetulan kosnya di Kalibata juga. Bersepeda motor saya diajaknya pergi ke pasar Tanah Abang.

Setelah dari Tenabang, kami meluncur ke Siaga Raya, Pejaten, kantor kakak saya waktu itu. Di sana saya mendapat telpon dari si pewawancara tadi dan mengabari bila saya diterima masuk kerja di Kontan dan saya diminta datang keesokan hari. Alih-alih senang, saya malah kaget dan bingung. Lha, kok gampang banget, batin saya waktu itu. Apakah di sesi wawancara saya tadi begitu mengesankan? Wkakkak. Embuh. 

Ketika itu pertengahan tahun 2007, Harian Kontan yang baru lahir Februari di tahun yang sama memang sedang butuh banyak tenaga jurnalis. Saya disuruh langsung masuk dan melanjutkan tes rekrutmen lain seperti psikotes dengan bagian HRD, juga tes kesehatan sambil jalan, di sela-sela liputan. 

Tapi saya masih ragu kala itu, mosok iya, sih, langsung masuk begitu saja? Tidak ada surat apa gitu yang resmi. Jadilah saya tidak langsung masuk ke kantor untuk bekerja. Mau bertanya untuk memperjelas juga sungkan, tidak tahu juga harus bertanya kemana.

Di Kalibata, tempat saya menumpang kamar kos kakak lelaki, saya nganggur-nganggur saja, tidak lagi pergi ke Pengadegan karena bingung itu tadi, wkkw. Kakak saya sempat bertanya-tanya ada kabar apa dari wawancara kemarin. Saya bilang, tidak ada, tidak tahu, bingung. Sekitar dua hari kemudian, telepon saya berbunyi :“Ruis, kamu sebenarnya mau kerja enggak di Kontan?” tanya si bapak pewawancara tanpa basa basi. 

“Ya, mau. Emang beneran udah diterima?” tanya saya ragu. 

“Kamu sudah diterima. Kesini, ya, jam 10. Nanti kamu cari yang namanya Syamsul atau Wawan,” terang beliau. Ternyata saya diterima, belum menanda tangani dokumen apapun, sebagai cub reporter atau calon reporter. Strata terendah di dunia media.

Keesokan hari, saya datang ke kantor itu dan bertemu dengan dua orang tersebut, Syamsul Azhar dan SS Kurniawan, keduanya redaktur Harian Kontan. Lalu dikenalkan dengan beberapa awak media ekonomi itu. Termasuk dengan sang komandan, SBY alias Si Bos Yopie (Yopie Hidayat).

Kerjaan pertama, menyadur berita dari Bloomberg dalam bahasa Inggris yang diberikan oleh mas Syamsul. Soal obligasi negara, kalau enggak salah. Saya tidak paham sekali, haha. “Makhluk apa itu obligasi?” Penuh keringat dingin dan perut mulas saya coba memahami. Satu berita saja lama sekali itu saya tulis. Seharian kayaknya, hahaha. Tulisan itu untuk mengisi halaman 2, makroekonomi. Berita kecil saja. Tapi itu milestone pertama saya sebagai jurnalis ibukota.

Selama masa magang, 4 bulan awal saya ditempatkan di desk Nasional. Liputan awal di DPR, lalu bergeser ke Kementerian sepanjang Kuningan-Gatsu (kecuali KPK), hingga Setneg. Lalu, 4 bulan berikutnya di desk Energi. Keduanya di Harian Kontan. Hanya saat 4 bulan terakhir magang, saya lantas dipindah ke desk Investasi di Tabloid Kontan.

And the rest is history….

Kerasnya Jakarta…

Jakarta itu keras, kata orang. Banyak teman-teman saya di Jogja, terutama teman-teman di pers kampus, begitu anti bekerja ke Jakarta. Menurut mereka, Jakarta itu tidak manusiawi dan rentan membuat kita menjadi zombie. Mungkin mereka benar. Tapi, saya waktu itu tidak cukup peduli. Saya dipaksa keadaan untuk hanya fokus pada satu hal: melangkah maju, lakukan yang terbaik sebisanya, sampai mentok.

Hari-hari awal saya menjadi jurnalis adalah sebenar-benarnya perjuangan bagi saya.

Empat bulan pertama magang adalah perjuangan sangat berat. Beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis yang memang berat. Dealing with Jakarta’s traffic yang sangat mengerikan. Bersamaan dengan itu, saya juga menghadapi masalah pribadi: Hubungan jarak jauh dengan Borneo -seseorang yang tengah dekat saat itu, sesama alumni UGM yang bekerja di Kalimantan- tengah di ujung tanduk karena bentrok visi tentang keputusan saya ke Jakarta menjadi jurnalis. Hubungan yang akhirnya saya akhiri.

Namun, kinerja saya tidak malu-maluin. Saya sering mencetak berita utama alias headline, walau itu juga berkat bantuan banyak orang dan faktor keberuntungan. Berat badan saya susut 5 kilogram pada 6 bulan pertama di kota ini.

Ada beberapa momen yang melekat di masa-masa awal itu. Salah satunya adalah ketika saya ingin menyerah dan minta pulang pada kakak saya. Ketika itu bulan Ramadan. Saya tidak tahu hendak meliput apa. Hanya ada undangan acara di daerah Diponegoro. Saking sepinya berita dan acara, saya pergi kesana, siapa tahu ada beritanya. Jakarta kala itu belum mengenal ojek online. Kemana-mana saya naik bis. Sesampai di sana, ternyata acaranya diskusi tentang pertambangan. Tidak ada yang bisa dibikin berita karena isinya talking news saja, tentu redaktur tidak menerima berita isinya cuma statemen tanpa data baru atau informasi baru. Maghrib datang dan saya berbuka puasa, ngobrol basa basi dengan orang di sana, tapi dalam hati meringis merenungi nasib.

Di atas bis dalam perjalanan ke kantor (usai liputan selalu harus balik ke kantor untuk mengetik berita, belum musim bawa laptop sendiri boro-boro work from anywhere, hehe) usai acara lepas maghrib itu saya mengirim pesan ke kakak saya. Saya bilang, saya ingin pulang saja ke Gresik, saya capek.

Kakak saya membalas, “Ada apa? Kenapa? Coba dulu ya seminggu lagi…”, membaca balasan itu saya malah menangis. Bukan saya marah pada kakak saya atau merasa dipaksa olehnya, sama sekali tidak. Kakak saya justru berperan utama dalam fase hidup saya saat itu. Bahkan tiap pulang kantor bila masih sempat ketemu di kos, kakak saya kadang mijitin tangan saya sambil nanya, bikin berita apa hari ini? Ketemu siapa saja? dsb.

Saya menangis karena saya sendiri bingung mau saya apa saya ini. Hubungan yang di ujung tanduk dan hati yang masih tidak yakin dengan pilihan ini: menjadi jurnalis dan tinggal di kota segila Jakarta, am I sure? Apakah ini benar-benar yang saya mau? Menjalankan hidup 12 jam lebih di luar rumah, melepas hubungan lalu menjadi jomblo di tengah kota sedingin Jakarta, bekerja dengan jam kerja yang gila… Apakah saya yakin?

Dikepung copet di atas bis…

Lalu, ada episode lain saat saya sudah di desk energi dan harus meliput Rapat Dengar Pendapat di DPR yang dihadiri oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro kala itu. Saya naik bis 46 yang besar banget itu dari Kalibata. Penuh sekali pagi itu. Saya berdiri di dekat sopir. Saya susah payah mengeluarkan uang ongkos dan bodohnya tidak ada uang pas, saya beri 20ribu. Bodohnya lagi saya mengeluarkan hp waktu itu, Nokia Communicator. Hp bergengsi kala itu dan jadi hp andalan para wartawan.

Ketika semakin dekat dengan gedung DPR, uang kembalian saya belum dikasi. Terpaksalah saya berjalan ke ujung bis belakang mencari si kenek bis. Tak dinyana di belakang itu ternyata banyak copet. Mereka seperti sudah mengincar saya yang terlihat memegang Communicator. Saya kira si kenek bis komplotan juga. Ketika menunggu si kenek memberi kembalian, tiba-tiba ada yang melempar handuk ke muka saya. Handuk warna pink. Reflek saya tepis dan saat tangan kanan saya menepis, seseorang di dekat saya mengambil Communicator di kantong celana. Hp itu berpindah tangan.

Saya berteriak: “HP saya itu! Kembalikan!” Entah keberanian darimana yang saya dapat waktu itu, saya pukul tangan orang yang ambil HP itu sampai akhirnya si Communicator jatuh ke lantai bis. Saya tantang para copet itu, sekitar 4-5 orang… “Mau ngapain kamu? Jangan ambil HP saya!” teriak saya sebisanya. Saya berusaha mencari hp di lantai bis, di tengah bis yang masih penuh orang…

Tidak berhasil merebut hp, para copet itu lantas turun. Sekitar lima atau enam orang. Hp sudah di tangan saya tapi baterei-nya lepas, terjatuh entah di mana. Saya berusaha mencari ke seluruh sudut lantai bisa… bis mulai lengang penumpang turun bergantian. Saya berkeliling bis dengan nafas memburu. Sedihnya, tidak ada satupun orang yang berusaha membantu atau setidaknya memberi senyum simpatik…

Setelah berkeliling bis dari depan ke belakang, alhamdulillah akhirnya ketemu juga baterei itu. Gedung DPR sudah lewat, saya pun turun di Manggala.

Turun dari bis barulah saya merasakan ketakutan luar biasa. Kaki saya gemetar, jantung bergemuruh keras dan saya menangis. Menelpon kakak saya dengan tangan gemetar… “Aku dicopet, dikepung copet ada lima tadi, hapeku dicopet tapi aku ambil lagi hapenya…” isakku di telepon. Kakakku kaget dan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku bilang, aku kaget dan takut… tapi harus tetap pergi liputan di DPR. Lalu, berjalan kakilah aku ke DPR, bekerja seperti biasa dengan rasa gemetar yang masih tersisa. Sempat doorstop Pak Purnomo dan menanyakan pertanyaan titipan dari redaktur yang ternyata bikin Pak Menteri marah, dia menjawab sambil melotot ke saya (hahaha), untung saya dibantu senior dari Kompas yang membantu mem-breakdown lagi pertanyaan saya (yang saya sendiri kurang paham, hahahah. Iya, segeblek itu zaman itu, wkwkwk).

Saat kembali ke kantor untuk menulis berita hari itu, tetangga meja saya orang Batak berkata dengan gayanya -setelah tahu saya hampir saja dicopet di atas bis: “Selamat datang di Jakarta. Jakarta keras, bung! Siapa suruh datang ke Jakarta?!”

Haha. Benar, siapa suruh datang ke Jakarta?

Pernah ada satu kejadian lagi yang menegaskan bahwa kota ini memang sedingin dan sekeras itu. Saya sedang sibuk meliput isu Newmont yang tengah hot kala itu. Beberapa kali tulisan saya tentang divestasi saham Newmont menjadi headline koran dan isu itu saya running tiap hari. Di daerah Saharjo, saya menghadiri undangan konpers sebuah perusahaan, sepertinya Newmont. Ketika menyeberang jalan, saya tertabrak sepeda motor. Tergeletak di tengah jalan -untuuuuung sekali ga ada kendaraan lain lewat. Bisa-bisa kelindes saya di tengah jalan.

Saya tidak pingsan tapi terjatuh cukup keras. Dan, lagi-lagi tidak ada yang menolong saya untuk bangun. Terseok-seok saya bangkit berdiri sendiri lalu berjalan ke pinggir jalan. Kaki, lutut dan lengan saya sakit karena terjatuh gelundung dan sempat terkena stang motor cukup keras. Sepeda motor yang menabrak tadi juga terjatuh. Lalu ia, lebih tepatnya dua orang, menghampiri saya. “Mbaknya gakpapa? Mbaknya sih tadi ragu-ragu saat menyebrang jadi ketabrak deh,” celetuk si pengemudi.

Darah Jawa Timur saya sontak menggelegak. “Sampeyan sudah nabrak saya kok masih berani ngomelin saya? Apa perlu saya telpon polisi biar sampeyan diangkut? Brengsek!” Saya muntab lalu memilih berlalu pergi. Jakarta benar-benar brengsek saat itu.

Hari-hari itu, obrolan dengan dua sahabat saya -dua-duanya di luar kota- juga keluarga, yang masih bisa menguatkan saya. Kakak saya langsung mendatangi saya ke kantor malam itu dan menyuruh saya pulang saja daripada lanjut bekerja. Tapi kepalang tanggung, saya tuntaskan pekerjaan saya malam itu, hari Jumat kalau tidak salah jadi besok saya bisa libur. Badan saya ringsek sakit semua malam itu dan keesokan hari saya hanya bisa tiduran di kasur. Menyedihkan.

Bertemu teman-teman baru…

Periode 2007-2009, adalah masa struggling yang berat bukan cuma fisik atau pikiran tapi juga perasaan *tsaah. Saya sempat ambruk dan dirawat karena sakit Typhus, seminggu di rumah sakit. My lowest point…

Tapi tentu tidak ada hari-hari yang selamanya gelap. Ketika saya dipindahkan ke desk perbankan di Harian dan harus sering meliput ke lapangan -Thamrin markas Bank Indoensia dan perbankan, perlahan saya menemukan keseruan menjadi jurnalis di kota ini.

Bertemu teman-teman baru. Teman-teman desk perbankan yang masih berhubungan sampai hari ini. Bertemu orang-orang hebat, narasumber-narasumber yang inspiratif. Saya hampir selalu pulang tengah malam. Jam 11 malam mungkin paling cepat. Kalau sedang tidak ada acara nongkrong, jam 9 malam sudah di kos saya di Palmerah.

Usai kerja sering nongkrong bersama teman-teman. Maklum tidak ada yang menunggu di rumah, kan? Haha. Nongkrong di angkringan pesan wedang jahe susu dan sate kulit sambil bergosip tentang bos-bos di kantor atau rekan kerja yang aneh, hahah. Atau, bila nongkrong dengan teman-teman liputan di lapangan, seringnya di Melly’s, semacam cafe gitu. Kadang pergi berkaraoke atau sekadar nongkrong ngobrol-ngobrol sambil minum lemon tea *belum hype kopi kekinian waktu itu, wkk.

Walau sering ikut nongkrong, saya tidak pernah tergoda mencicipi miras, meski teman-teman saya banyak yang minum juga dan saya tidak menghakimi mereka, saya menghargai pilihan setiap orang. Alasan tidak pernah minum apa? Karena saya khawatir bila sampai mabuk nanti bakal lebih edan dibandingkan saat saya masih sadar (yang sebenarnya sudah cukup edan, menurut saya, wkwkk).

Berjarak dengan kantor kala itu, somehow membuat saya lebih bahagia. Saya tahu saya belum bisa resign waktu itu, meski berat menghadapi masa-masa itu -ketika itu, jadi ketika akhirnya saya bisa tetap bekerja, memiliki penghasilan dan bisa bertemu orang-orang baru, tertawa dengan teman-teman yang baik, saya kira itu jalan tengah yang tepat. Maktub.

Silih berganti nama datang dan pergi. Saya menikmati setiap momen yang hadir sepenuhnya. Teman-teman yang aku kenal tahun itu, merekalah juga kini yang bekerja sama lagi di tempat kerja saya saat ini di sini. Maktub.

Sebuah visi

Sekira akhir 2010 saya bertemu dia, pertama kali. Seseorang yang dikirimkan olehNya saat saya dinilai sudah cukup siap melangkah ke fase baru. Bukan cinta pandangan pertama. Tapi saya ingat, saya merasakan sebuah visi setiap mendapati ia mencuri pandang, ha ha ha. Bahwa lelaki ini akan menjadi seseorang yang istimewa bagi saya, entah dengan cara apa dan sebagai apa. Di Thamrin -markas bank sentral itu atau di Senayan saat meliput rapat anggaran di Komisi 11, saya tak ingat persis, kami pertama jumpa.

Saya meliput pejabat Bank Indonesia dan dia meliput Menteri Keuangan.

Walau sama-sama tahu, kenal nama, kami justru jarang ngobrol. Saya lebih dekat dengan geng yang lain. Saya juga agak segan, tidak berani akrab. Selalu menjaga jarak. Pun halnya dia.

Lalu 2011, perlahan semua semakin terang. Saya merasa, Tuhan begitu baik. Untuk diri yang sudah melewati banyak hal, seribu kesalahan, aneka macam kebodohan dan sejuta penyesalan, Dia masih memberiku kesempatan. Memberikan yang saya butuhkan. Sebuah batu karang yang kokoh untuk saya bersandar dari sekian petualangan yang melelahkan, menjemukan, sekian kegelisahan, skeptisisme dan kecemasan…

Tidak perlu waktu lama. Setahun berlalu dan ia menggandeng tangan saya tanpa ragu, tanpa syarat; hanya keteguhan -seperti namanya, juga kekeraskepalaannya mencinta dan menerima saya apa adanya, bahkan di saat saya sendiri sedang tidak cinta dan tidak menerima diri sendiri apa adanya. Seperti itu.

2023, here I am…

Jakarta bukan lagi kota yang dingin. Meski sejak 2013 saya tinggal di Tangerang, membangun keluarga kecil saya di sini, Jakarta masih tempat saya berkarya, memahat nama. Bersama teman-teman yang sudah saya kenal sejak 2009, saya kembali lagi ke dunia yang membuat saya jatuh cinta, dunia media. Back to the ball game dengan segenap tantangan juga hal baru menarik yang menanti saya di depan sana. Tetap dengan menulis, nafas saya.

Jakarta bukan lagi kota yang menyesakkan. Tempat ini telah menyimpan jejak perjuangan, sekian juta orang, yang sangat mungkin jauh lebih keras dan pahit ketimbang apa yang sudah saya jalani…

Setiap kali saya berjalan pulang, menaiki tangga penyeberangan itu lalu memandangi gedung-gedung pencakar langit itu, saya mengingat darimana saya berasal dan kemana langkah ini ingin saya ayunkan. Seberkas rasa syukur atas semua kasih sayangNya melindungi saya selama ini… menjaga saya agar tak oleng, mengingatkan saya agar selalu rendah hati… dan mempercayai proses.. apapun itu…

Kembali ke rumah, dengan tiga anak yang lahir dari rahim saya, menunggu saya setiap hari. Juga bahu tempat saya bersandar tanpa berlama-lama resah. Tidak ada kata yang bisa mewakili apa yang saya rasakan selain kata ini: Alhamdulillah. Praise to Allah.

Tuesday, November 22, 2022

Darurat Literasi Finansial Mahasiswa di Kampus

Kasus penipuan berkedok investasi di IPB menunjukkan masih minimnya literasi finansial di kampus.

Kasus penipuan berkedok investasi kembali menelan korban. Kali ini ratusan mahasiswa IPB tertipu tawaran cuan abal-abal sampai-sampai terjerat utang di aplikasi pinjol hingga ratusan miliar rupiah. Mahasiswa yang notabene anak-anak muda Gen Z di lingkungan kampus di mana budaya berpikir kritis dibangun, nyatanya bisa terjebak tipuan cuan abal-abal seperti itu. Apakah si penipu begitu canggihnya membual hingga ratusan mahasiswa sampai terjebak? Yang pasti, kasus ini menyalakan dengan keras alarm darurat literasi keuangan di Indonesia, terutama di kalangan kampus.

Bila membaca paparan sejauh ini dari Kepolisian tentang bagaimana modus si penjahat beraksi, sebetulnya ada beberapa “red flag” yg seharusnya bisa menjadi peringatan keras bahwa tawaran yang menghampiri para mahasiswa itu HANYALAH TIPU-TIPU BELAKA:

  1. Si penipu memberi iming-iming janji keuntungan pasti antara 10%-15% bila si korban “berinvestasi” atau membeli produk di toko online miliknya. Investasi dengan janji keuntungan pasti di depan, kita wajib curiga. Lha wong yang sudah “jelas” seperti deposito, ORI atau sukuk saja tidak ada yang bisa memberi sebesar itu. Bagaimana mungkin mempercayai tawaran investasi pasti setinggi itu dari orang yang kita tidak tahu pasti kredibilitasnya?
  2. Penipuan ini konon melibatkan aplikasi marketplace di mana si korban disuruh belanja di toko online si penipu di marketplace tersebut. Setahu saya, ketika transaksi di marketplace, uang pembeli seharusnya masih di rekening marketplace (rekening bersama). Baru ketika barangnya diterima si pembeli, uangnya baru bisa diterima si penjual. Nah, kalo barang belum diterima, duitnya ga mungkin juga cair ke si penipu. Kasus ini, kenapa duitnya bisa nyampe ke kantong si penjahat, ya… Fishy sekali…
  3. Kasus ini mencuat karena para mahasiswa korban penipuan tersebut akhirnya menjadi korban pinjol juga, dikejar-kejar oleh debt collector. Ini juga sebetulnya red flag besar. Hendak berinvestasi tapi modalnya justru utang dari pinjaman berbiaya mahal seperti pinjol (konon si korban disuruh ama si penipu… supaya pake pinjol saja agar bisa ikut “berinvestasi”). Adik-adik mahasiswa tersayang, investasi dengan modal duit utang itu BIG NO, ya. Walau banyak yg mempraktekkan di pasar saham dan pasar-pasar keuangan lain, tapi langkah itu sangat tidak dianjurkan karena sangat berisiko dan sangat berbahaya bagi kesehatan keuangan. Jadi, selalu ingat, ketika ada ajakan investasi bla bla bla sampai-sampai nyuruh ngutang, langsung tinggalin saja. Itu tidak benar dan menjerumuskan.
  4. Berinvestasilah ketika pondasi keuangan kita sudah cukup sehat. Cashflow positif, dana darurat ada, asuransi dasar punya, rasio utang aman, baru investasi. Jangan dibalik. Kalo belum ada disposable income, ya, jangan buru-buru investasi segala, apalagi sampai dibelain utang. Utangnya ke pinjol pula yang biayanya super mahal dengan debt collector seram-seram.
  5. Ketika sesuatu itu terlihat dan terdengar “terlalu manis” alias too good to be true, percayalah kemungkinan besar itu memang TIDAK TRUE alias tipuan!

Tingkat literasi finansial di Indonesia memang masih perlu didorong lebih massif lagi. Berdasarkan hasil survei OJK tahun 2022, indeks literasi keuangan Indonesia baru di posisi 49,68%. Angka itu sebetulnya sudah meningkat dibanding tahun 2019 lalu yang di angka 38,03%. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan mencapai 85,10%, meningkat dari posisi 76,19% pada tahun 2019.

Tingginya indeks inklusi keuangan yang tidak dibarengi indeks literasi finansial, menunjukkan ada ketimpangan di mana akses orang terhadap produk keuangan sudah cukup tinggi namun tidak diikuti oleh pemahaman alias literasi yang memadai. Ini tentu menjadi masalah dan bisa memicu lebih banyak lagi masalah di masa mendatang.

Contoh yang sering mengemuka: banyak orang beli asuransi, tapi sebenarnya tidak paham betul apa dan bagaimana cara kerja asuransi itu, banyak orang ikut-ikutan investasi saham sekadar latah ikut-ikutan influencer tanpa didahului pondasi keuangan kuat akhirnya boncos rugi, belum lagi kehebohan kripto, lalu tradingtrading yang ternyata tipu-tipu sampai triliunan itu.

Anak muda kini menjadi motor baru kegairahan masyarakat Indonesia mencari cuan di pasar finansial. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyebut, sampai Agustus 2022, jumlah investor pasar modal menembus 9,54 juta investor. Jumlah itu melesat 8 kali lipat dalam lima tahun terakhir! Yang menarik, 60% dari jumlah investor pasar modal adalah generasi milenial dan gen Z berusia di bawah 30 tahun. Ini tentu saja kabar baik. Namun, penting sekali untuk terus mengkampanyekan gerakan literasi finansial agar kegairahan para muda itu tidak lantas menjadi boomerang. Mahasiswa, Gen Z, anak muda, saatnya upgrade literasi finansial kamu biar ga mudah ditipu!

Tuesday, September 13, 2022

Strategi Pengelolaan Keuangan Generasi Sandwich Tanpa Drama

Perlu trik khusus agar generasi sandwich bisa mengelola keuangan lebih sehat dan memutus rantai “roti isi” di masa mendatang.

Harian Kompas beberapa waktu lalu memasang headline besar “Beban Berat Generasi Sandwich“. Dalam hasil risetnya, tak kurang 56 juta orang Indonesia yang kini berada di usia produktif, tergolong sebagai generasi sandwich. Generasi sandwich adalah istilah dari dunia finansial Amerika untuk menyebut mereka yang terjepit di antara dua beban tanggung jawab finansial, yaitu menghidupi keluarganya (anak dan pasangan) sekaligus juga menanggung keuangan generasi di atasnya dalam hal ini adalah orangtua atau kerabat dekat. Dengan jumlah tanggungan yang besar, tantangan finansial generasi sandwich tidaklah kecil.

Di Indonesia, keberadaan generasi sandwich sebenarnya bukan hal baru, baik itu dalam konteks agama, budaya dan sosial masyarakat. Memberi bantuan ekonomi pada orangtua, saudara kandung, kerabat, menjadi hal lumrah dan menganggapnya sebagai sebuah kewajiban moral sebagai seorang anak yang sekadar ingin berbuat baik pada orang tua dan keluarga besarnya. Itulah mengapa, tulis Kompas, dalam hasil riset tersebut mayoritas orang Indonesia tidak merasa terbebani dalam menjalankan peran sebagai generasi sandwich. Perasaan tidak terbebani ini merata, lho, di semua kelas ekonomi. Bukan hal mengejutkan, mengingat budaya kita memang kuat sekali kekeluargaan dan tolong menolongnya. Ide dari Barat lah yang menyebut peran generasi sandwich ini sebagai semata-mata “beban finansial”, hehehe. Maklum, ya, di sana nilai individualisme-nya lebih kental, kan….

Anyway, itu pula yang membuat saya tidak terlalu “ngotot” bila bicara tentang generasi sandwich karena kultur kita ini memang berbeda. Bukan saya mengabaikan bahwa ada banyak kasus di mana keuangan seseorang sulit bergerak karena beban finansialnya terlalu banyak akibat jumlah tanggungan berderet… Saya pun sepakat bila generasi sandwich ini bila tidak diintrusi atau dibantu maka lingkarannya akan terus berlanjut hingga ke generasi berikutnya… Hanya saja, perlu sensitivitas khusus supaya pembahasannya jangan lalu membuat para sandwich gen ini teracuni keikhlasannya dalam proses mereka berbuat baik pada keluarga…

Cerita saya:

Saya tidak pernah menyebut diri saya sandwich gen karena ibu saya memang tidak pernah membebani saya dengan kewajiban harus mengirim sekian rupiah saban bulan. Tanpa beliau meminta pun, saya sendiri punya kebutuhan untuk memberi dan berkontribusi terhadap kehidupan masa tua beliau. Alhamdulillah sejak mulai bekerja dan berpenghasilan, saya bisa merutinkan itu. Terhadap anak-anaknya yang lain, ibu pun tidak pernah meminta apalagi mewajibkan harus sekian dan sekian. Tidak ada seperti itu. Sesuai kemampuan saja. Selain itu, mengacu pada jalur tanggung jawab kekeluargaan dalam Islam, tanggung jawab utama memang ada di pundak anak lelaki (setelah sang ayah meninggal dunia). Jadi, dalam konteks keluarga saya, kakak lelaki saya yang lebih berperan. Suami saya pun bukan sandwich gen. Ayah mertua saya pensiunan PNS dan memiliki aset lebih dari cukup untuk menghidupi masa tuanya.

Back to topic

Saya tidak memungkiri bila di luar sana ada banyak teman-teman yang memang merasa kesulitan dan terbebani karena menanggung atas bawah dan itu banyak sampai-sampai kesulitan menabung bahkan tidak bisa menyicil pembelian aset penting seperti rumah atau yang lain-lain. Boro-boro mikir persiapan dana pensiun. Maka itu, penting juga menempuh strategi khusus supaya pengelolaan keuangan generasi sandwich bisa dilakukan tanpa drama dan sedikit demi sedikit tetap bisa menyiapkan hari tua…

Jadi, gimana strateginya? Check it out, ya.

1. Menata mindset dulu…

Tidak semua orang memiliki kesempatan berharga menyatakan cinta pada orangtua. Menjadi generasi sandwich yang membuat Anda menanggung penghidupan orangtua adalah suatu kesempatan emas untuk membalas kasih sayang mereka selama ini. Dengan menerima dan mensyukuri kondisi yang ada, akan lebih mudah bagi Anda untuk mengatur langkah selanjutnya.

Menata mindset seperti itu sangat penting Anda lakukan sejak awal. Dengan begitu, kewajiban menghidupi orangtua yang sudah lanjut usia tidak lagi terasa sebagai kewajiban apalagi beban, melainkan sebagai keharusan yang pantas. Niatkan untuk berbuat baik dan mencari berkah ridhoNya…

2. Bicarakan dengan pasangan dan orang tua

Komunikasi adalah kunci penting berikutnya dalam jurus mengelola keuangan untuk sandwich generation. Bicarakan secara terbuka pada pasangan situasi yang Anda hadapi. Ini supaya ada pengertian dari pasangan ketika suatu saat keluarga kecil Anda menemui tantangan finansial. Dengan begitu, pasangan merasa dihargai karena Anda tidak diam-diam membagi penghasilan ke orangtua.

Di lain pihak, Anda juga perlu mengkomunikasikan kemampuan finansial Anda apa adanya pada orangtua. Ungkapkan pada orangtua pos-pos pengeluaran apa saja yang bisa dan tidak bisa Anda tanggung. Misalnya, Anda membiayai kebutuhan dapur sehari-hari, biaya listrik, pulsa telpon, pengobatan, dan asuransi. Tapi, Anda tidak membiayai pos-pos tersier seperti jalan-jalan, biaya sosial, atau belanja barang bukan kebutuhan pokok.

Yang pasti, biasakan realistis sejak di titik ini. Maksudnya, hindari memaksakan diri menanggung biaya kehidupan orangtua hingga di luar kemampuan finansial yang ada. Apalagi sampai berutang. Selalu komunikasikan apabila di tengah jalan ada perubahan. Misalnya, ketika datang puncak pembayaran biaya sekolah anak, mungkin transfer dana ke orangtua sedikit berkurang. Namun, jangan pula pelit saat Anda mendapatkan rezeki lebih dengan memberi lebih banyak pada orangtua.

3. Fokus pada pos-pos utama

Resep selanjutnya adalah memastikan pengelolaan pendapatan secara cermat dan disiplin. Cobalah fokus mengamankan lebih dulu pos-pos utama yang penting. Sebagai gambaran, dalam pengelolaan anggaran, ada beberapa pos utama yang harus aman alokasi anggarannya. Pos utama tersebut antara lain pos kebutuhan dasar dan wajib seperti belanja dapur, pos utilitas (listrik, air, internet), pos pembayaran cicilan utang bila ada tanggungan kredit, pos transportasi, pos kebutuhan sekolah anak, pos asuransi, pos dana darurat, pos pengeluaran amal dan sosial, lalu pos tabungan dan investasi untuk mencapai berbagai tujuan keuangan.

Karena Anda menanggung juga kebutuhan orangtua, siapkan pos nafkah untuk orangtua di urutan yang sama penting. Baru setelah itu alokasikan untuk pos yang sifatnya sekunder dan tersier. Misalnya, pos hiburan dan pos pengeluaran pribadi seperti biaya perawatan diri.

Bagaimana bila penghasilan tidak memadai untuk menutup semua pos kebutuhan yang Anda rencanakan? Buatlah prioritas untuk pos anggaran terpenting seperti pos belanja dapur, transportasi, cicilan utang, kebutuhan sekolah anak, termasuk di dalamnya adalah pos nafkah untuk orangtua. Adapun untuk pengeluaran tabungan atau investasi, Anda bisa menerapkan prioritas lagi dengan mengutamakan tujuan keuangan yang paling mendesak dipenuhi. Misalnya, Anda tengah mengumpulkan dana untuk keperluan uang masuk sekolah lanjutan anak tiga tahun lagi. Jangan lupakan juga untuk tetap memperhatikan rencana dana pensiun Anda.

Selain itu, Anda bisa mencoba menerapkan prinsip wise spender dalam belanja rumah tangga supaya penghasilan bisa optimal dimanfaatkan sesuai rencana. Misalnya, berbelanja dengan memanfaatkan diskon merchant atau diskon kartu kredit. Selektif memilih langganan layanan berbayar yang paling ekonomis dan menguntungkan, memakai transportasi publik agar biaya transportasi bisa lebih hemat, dan cara-cara penghematan lain yang masih bisa mendukung kenyamanan hidup Anda.

4. Minimalisasi risiko dengan asuransi

Menghidupi orangtua bukan hanya memastikan kebutuhan hidup sehari-hari mereka terpenuhi. Seiring usia, orangtua yang semakin menua biasanya lebih sering mengalami risiko kesehatan. Risiko kesehatan ini bila tidak Anda kelola dengan baik, rentan mengguncang arus kas keuangan. Jadi, sebelum terjadi, lindungi keuangan rumah tangga Anda dari berbagai risiko kesehatan tersebut dengan memiliki asuransi kesehatan untuk keluarga kecil dan orangtua Anda.

Anda bisa memanfaatkan layanan jaminan sosial kesehatan seperti BPJS Kesehatan sebagai fasilitas kesehatan dasar untuk keluarga Anda dan orangtua. Bila ada dana lebih, Anda juga bisa melengkapinya dengan asuransi swasta untuk layanan lebih privat dan cepat.

5. Kerja sama dengan saudara kandung

Apabila Anda bukan anak tunggal, tidak ada salahnya mengajak kerjasama saudara kandung Anda untuk bersama-sama menanggung kehidupan orangtua tercinta. Anda bisa berbagi tugas dengan saudara Anda, pos mana yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Dengan gotong royong, kewajiban menghidupi orangtua tidak perlu menjadi beban finansial yang memberatkan.

Hanya saja, kerjasama seperti itu akan tetap bergantung pada kemampuan finansial masing-masing keluarga. Tidak perlu memaksakan kontribusi saudara kandung apabila kondisi keuangan mereka memang belum memungkinkan.

Dengan lima jurus mengelola keuangan untuk sandwich generation tadi, menjalankan peran sebagai generasi sandwich tidak perlu menjadi beban dan tidak perlu menjadi drama. Keuangan pribadi tetap sehat dan bakti Anda pada orangtua bisa berjalan dengan baik.

*tulisan sudah pernah dimuat di sini

Tuesday, August 2, 2022

Biaya Kuliah Mahal: Daripada Pusing, Mending Lakukan Ini!

Biaya kuliah mahal, itu bukan berita baru. Yang lebih penting, what can we do about it?

Headline harian Kompas beberapa waktu lalu menjadi trending topic terutama di kalangan para orangtua muda yang baru merasakan nyeseknya biaya sekolah, terutama biaya kuliah. Headline koran terbesar itu menyuguhkan data betapa kenaikan biaya kuliah di Indonesia tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan para orangtua. Alhasil, para orangtua berisiko gagal menyekolahkan anak ke tingkat universitas bila tidak melakukan persiapan jauh-jauh hari.

Berikut beberapa intisari yang dipaparkan oleh Kompas dalam laporannya 28 Juli lalu:

  • Dalam 10 tahun terakhir, kenaikan biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mencapai 1,3% per tahun. Sedangkan kenaikan biaya kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mencapai 6,96% per tahun. Jadi, bila dirata-rata kenaikan biaya kuliah pendidikan tinggi di Indonesia mencapai 6,03% per tahun!
  • Di sisi lain, kenaikan upah orangtua sejak tahun 1995-2022, mencapai 3,8% bagi orangtua berpendidikan akhir SMA. Adapun bagi orangtua lulusan universitas, kenaikan pendapatannya mencapai 2,7% per tahun.
  • Kesimpulan dari dua data tersebut: Kenaikan gaji para orangtua lebih rendah dibandingkan kenaikan biaya kuliah.

Biaya kuliah mahasiswa angkatan tahun 2022 mencapai Rp149,86 juta selama 8 semester (asumsi kuliah selama 4 tahun, bisa selesai tepat waktu). Dengan asumsi tingkat kenaikan biaya 1,3% per tahun (PTN) dan 6,96% per tahun (PTS), maka 10 tahun lagi, biaya kuliah yang dibutuhkan mencapai Rp170 juta juta (PTN) dan Rp293 juta bila hendak masuk PTS. Berapa biaya kuliah 18 tahun lagi? Bagi yang anaknya masih usia 0 saat ini, kebutuhan dana yang perlu disiapkan adalah sekitar Rp503 juta bagi yang ingin kuliah di PTS atau siapkan Rp189 juta bila kuliah di PTN.

Baca juga: Menyiapkan Biaya Pendidikan Anak, Mulai Darimana?

Melihat angka-angka itu saat ini, mungkin kita masih merasa “Wah, fantastis banget biayanya. Masak, sih, semahal itu?” Well, kalau kita tahu kejamnya inflasi, kita tahu angka itu bukan jatuh dari langit. Angka itu rasional berdasarkan data historis inflasi sehingga memang sangat mungkin mencapai itu pada tahun-tahun mendatang.

Ya, nyatanya Melisa dulu beli bakso semangkok cuma 200 perak, kok, dan sekarang bakso semangkok yang spesial bisa 20ribu, kan? *yhaaa, Melisa lagi dibawa-bawa, hahaha. Salam dari anak 90-an, hihihi

Intinya itu, biaya kuliah itu memang mahal. Kabar baiknya, ternyata inflasi biaya sekolah ga semahal yang digembar-gemborkan media sebelumnya, ya. Sebelumnya, kan, selalu angka 10%-15% yang jadi acuan kenaikan, ih serem. Nah, laporan Kompas ini memberi satu sisi melegakan bahwa kenaikan biaya sekolah ternyata ga setinggi itu. Meski begitu, bukan berarti kita bisa leha-leha sebagai orangtua. Kalau udah tahu perkiraan kebutuhan biayanya, maka kita bisa melakukan langkah lebih konkret yakni menyiapkannya jauh-jauh hari. Dengan cara apa? Menabung?

Menyiapkan dana pendidikan: Menabung atau Investasi?

Saat saya mau masuk kuliah, biaya meraih pendidikan di universitas itu, yo, memang mahal. Jadi, sebetulnya bukan berita baru. Orangtua saya dulu bekerja sangat keras supaya saya dan kakak-kakak saya juga adik saya bisa meraih pendidikan tinggi. Fase menguliahkan anak boleh jadi menjadi fase perjuangan paling berat yang pernah dijalankan oleh orangtua saya. Ibaratnya, kaki di kepala, kepala di kaki. Ini juga pengalaman luar biasa bagi saya, pertama kali sekolah jauh dari rumah dengan kondisi serba terbatas. Alhamdulillah, happy ending. Lima anak bapak ibuku semua bisa lulus sarjana.

Baca juga: Dunia Saya Ketika UGM Menerima

Ada banyak cerita bagaimana perjuangan orangtua memberikan pendidikan tinggi pada anak-anak mereka dibela-belain sampai jual tanah, mencairkan tabungan emas, menjual hewan ternak, dan lain sebagainya. Semua penuh perjuangan kecuali anak-anak konglomerat dengan harta yang tidak akan habis tujuh turunan dan tujuh tanjakan, hihihi.

Para orangtua muda yang saat ini anak-anaknya mungkin masih bayi atau di sekolah dasar, kelak juga akan sampai di fase itu. Berjibaku menyekolahkan anak dengan segala kerja keras. Nah, beruntungnya kini kita, para orangtua muda, memiliki akses informasi yang bisa menjadi bekal berharga agar bisa lebih mengantisipasi kebutuhan biaya-biaya tersebut. Biaya sekolah, biaya kuliah anak itu mahal, bukan lagi kabar baru.

Yang terpenting sekarang adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk menyiapkannya?

Inflasi jangka panjang yang tidak bisa diabaikan

Inflasi atau kenaikan harga adalah sebuah fakta yang tidak bisa kita ingkari. Tahun 2022 ini kita sudah sama-sama merasakan bagaimana wajah “kejam” inflasi itu, haha. Harga pangan naik, harga energi naik, yang ga ikut naik mungkin pendapatan, yha, ha ha ha. Jadi, bila kita bicara tentang persiapan dana pendidikan atau biaya sekolah anak, kita tidak bisa mengabaikan faktor inflasi jangka panjang ini.

Opsi menabung secara konvensional dengan menyisihkan sebagian pendapatan ke rekening tabungan, mungkin masih menjadi pilihan banyak orang. Namun, apakah cara itu bisa membantu mewujudkan dana pendidikan sesuai kebutuhan?

Baca juga: Dana Darurat, Asuransi atau Investasi: Mana yang Lebih Penting?

Imbal hasil di bank untuk produk tabungan rencana sejauh ini masih terbilang rendah. Data Bank Indonesia (BI) mencatat, bunga tabungan bank rata-rata 0,72% per tahun per Juli 2021. Itu di bawah inflasi kenaikan biaya kuliah di PTN dalam 10 tahun terakhir. Belum lagi produk rekening bank dibebani dengan aneka rupa biaya: biaya administrasi bulanan, biaya ATM, dan sebagainya. Jadi, kalau kita hendak mengumpulkan kebutuhan biaya kuliah anak dengan cara menabung biasa dalam jangka panjang, akan sulit tercapai.

Jadi, cara apa yang lebih masuk akal? Pilihan satu-satunya adalah menabung di instrumen yang bisa tumbuh nilainya di atas inflasi biaya jangka panjang. Bahasa sederhana: kita harus berinvestasi agar bisa mengalahkan inflasi jangka panjang.

Pilihan instrumen investasi ada banyak, tinggal kita sesuaikan dengan profil risiko dan rencana keuangan. Misal, mau mengumpulkan persiapan biaya kuliah anak dengan menabung emas rutin tiap bulan, itu bisa jadi pilihan. Dalam 12 tahun terakhir, harga emas sudah naik 140% atau 11% per tahun. Angka kenaikan itu jauh di atas tingkat inflasi biaya kuliah.

Baca juga: Beli Emas di Pegadaian, Brankas LM, Tokopedia atau TanamDuit: Mana Lebih Oke?

Anggaplah biaya kuliah yang ingin kita siapkan 10 tahun lagi adalah sebanyak Rp200 juta. Sedangkan harga emas per hari ini (2/8/2022) adalah Rp984.000 per gram. Maka, kita butuh sekitar 203,25 gram emas untuk biaya kuliah anak. Dengan demikian, kita tinggal menyicil beli emas tiap bulan sebanyak 1,7 gram emas. Dengan histori tingkat pertumbuhan harga emas yang di atas inflasi biaya kuliah, kita bisa berharap kebutuhan dana itu bisa terkumpul lebih cepat.

Investasi selain emas, apakah bisa?

Selain emas, ada banyak yang bisa menjadi opsi. Beberapa teman saya ada yang nyicil beli tanah di daerah-daerah pelosok. Ada juga yang mencoba menanam modal di bisnis hewan ternak. Sebagian lagi yang lain lebih nyaman berinvestasi di instrumen investasi pasar modal seperti reksa dana atau saham.

Tinggal kita menyesuaikan dengan profil risiko, target jumlah dana dan kapan digunakan, kemampuan penyisihan penghasilan untuk diinvestasikan.

Yang terpenting, setelah tahu hitungannya adalah konsisten menjalankan rencana keuangan. Rezeki anak sudah ditentukan bagiannya dan ini adalah bagian dari ikhtiar, ya. Kalau sudah tahu ada banyak kebutuhan yang perlu disiapkan, kita ‘kan jadi ga mudah khilaf chekout di sana-sini ya gaaakkk, hahahhaha. Juga, kita jadi disadarkan untuk ga terus rebahan, melainkan harus terus qerja qeras bagai quda demi anak tercintah, wkkk.

Semoga ikhtiar kita semua dimudahkan olehNya dan anak-anak bisa mendapatkan pendidikan terbaiknya. Amin ya robbal alamiin.

Masih bingung dan ingin dibantu menyusun rencana persiapan dana sekolah anak? Klik banner di bawah ini ya 🙂

Sunday, July 17, 2022

Jastip Tipu-Tipu Menelan Korban Miliaran Rupiah: Waspadai Penipuan Jastip Skema Ponzi

Aksi penipuan skema ponzi berkedok jastip alat rumah tangga menelan korban dengan kerugian hingga miliaran rupiah. Hati-hati, bun!

Media sosial beberapa hari ini dihebohkan oleh skandal penipuan berkedok jastip alias jasa titip. Korbannya ratusan orang, utamanya ibu-ibu yang sudah lama berkecimpung di bisnis sebagai personal shopper alias jastip, juga para konsumen yang kena jebak. Nilai kerugiannya bukan kaleng-kaleng, disinyalir sudah mencapai lebih dari Rp20 miliar! Wow.

Membaca kronologis yang disampaikan di Instagram para korban, postingan di Facebook dan Twitter, terlihat penipuan jastip ini berbau skema ponzi. Jadi, si oknum yang mengaku mendapat barang dari supplier tangan pertama (pabrik), menawari barang elektronik rumah tangga dengan harga miring. Ia mengajak beberapa orang (jastiper level 1) di empat kota untuk ikut mempromosikan tawaran barang ini yaitu oven. Empat orang ini lalu menawarkan lagi pada pemilik bisnis jastip lagi untuk ikut menawarkan ke grup-grupnya. Di bawah empat orang ini ada banyak sekali grup jual beli ibu-ibu, yang memang selama ini terbiasa berjual beli.

Penawaran barang dilakukan dengan sistem open PO (purchase order). Sistem ini berarti, barang baru akan tersedia beberapa minggu atau bulan ke depan. Sedangkan pembayaran diminta di depan (kurang jelas apakah memakai uang muka dulu atau langsung diminta full payment). Orderan awal ini berjalan mulus, barangnya datang beneran. Kepercayaan pun diraih.

Konsumen yang membeli hepi karena berhasil mendapat barang dengan harga murah. Para jastiper apakah dia level 1 atau level 2 dan seterusnya, juga ikut hepi karena dapet untung. Setelah kepercayaan dikantongi, si oknum mulai beraksi. Ia kembali menawarkan orderan dengan sistem sama yaitu sistem PO, namun kali ini harus dengan pembayaran penuh (full payment) di awal. Nah, ibu-ibu reseller alias jastip di bawahnya juga bersemangat mempromosikan.

Sistem jual beli PO atau jastip begini sudah lazim banget di dunia ibu-ibu, terutama mamak-mamak yang mencari cuan lewat WA grup. Jadi, kita nitip beli barang ke seorang jastiper (yang terhubung dengan supplier, entah tangan pertama atau tangan kelima), di mana barangnya baru tersedia beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan ke depan. Umumnya, para jastiper ini meminta uang muka (DP) untuk mengikat keseriusan pembeli. Jadi, saat nanti barang datang, si pembeli tinggal melunasi sisa pembayaran. Beberapa jastip malah tidak mensyaratkan DP apapun. Jadi, memang 100% mengandalkan rasa saling percaya antara penjual dan pembeli saja.

Sistem PO dengan bayar penuh di depan?

Dalam kasus penipuan ini, si oknum meminta pembeli membayar penuh di depan dengan janji kedatangan barang sekitar 1-2 bulan. Mungkin ada banyak yang bertanya-tanya: “Lha kok percaya-percaya aja, sih, beli barang bayar duluan 100% dengan janji barang menyusul datangnya tanpa jaminan apa-apa?” – Di sinilah keculasan itu terjadi: si oknum memanfaatkan para penyedia jastip yang sudah cukup punya nama karena memang sudah bertahun-tahun menggeluti bisnis jastip sehingga pelanggannya juga bejibun (pelanggannya bisa seorang reseller (menjualnya lagi ke pasar) atau konsumen end user). Iming-iming harga murah juga membuat banyak yang silap mata.

Lalu, seperti umumnya skema ponzi, piramida penipuan ini perlahan mulai runtuh lalu ambruk berantakan. Barang yang dijanjikan tidak kunjung datang ke konsumen yang sudah membayar. Para reseller atau jastip level 2, 3 dan seterusnya kelabakan, kalang kabut mempertanggungjawabkan orderan ke konsumen di bawahnya. Beberapa di antaranya terpaksa nombok mengembalikan uang para konsumen demi menyelamatkan reputasi bisnis jastipnya. Para pemilik bisnis jastip merasa ditipu oleh reseller di atasnya. Reseller juga merasa ditipu oleh reseller di atasnya. Padahal, ya, sama-sama korban. Persis skema piramida. Penipunya ada di pucuk piramida. Si oknum di pucuk piramida ponzi ini menghilang bak ditelan bumi setelah berhasil menggondol duit puluhan miliar rupiah.

Apa, sih, sebenarnya bisnis jastip itu?

Jastip berasal dari kata “jasa titip”. Sebenarnya ini sistem bisnis biasa. Bedanya adalah, barang yang dijual biasanya tidak langsung tersedia. Kita beli barang A di penjual B, namun barang tersebut baru tersedia nanti (biasanya seminggu atau sebulan ke depan, kadang sampai berbulan-bulan. Namun, informasi KAPAN ini biasanya diungkap di awal). Pembeli diminta memberikan uang muka dulu sebagai tanda keseriusan membeli. Kadangkala ada juga yang tanpa DP. Seringkali juga ada yang meminta full payment di depan. Sistem open PO ini digemari ibu-ibu karena biasanya barang yang ditawarkan sedikit lebih murah. Kehadiran WA grup juga membuat acara berbelanja berjamaah itu terasa lebih menyenangkan (ya gak, buibuk, hehehe).

Sebutan “jastip” ini sejatinya agak kurang tepat untuk menyebut mekanisme transaksi di atas. Jastip lebih tepat mirip kayak personal shopper. Di mana, kita memakai jasa pebelanja (yang datang ke toko dan memilihkan barang), lalu kita transfer duit sesuai harga barang ditambah harga jasa si pebelanja. Makanya disebut jasa titip, maksudnya jasa nitip dibelanjain sama si personal shopper. Berapa besar jasanya? Macam-macam. Ada yang dipatok tetap sekian ribu untuk barang apapun dengan harga berapapun. Ada juga yang memakai sistem persentase harga barang. Jadi, misalnya, si jastiper mematok Rp25.000 untuk setiap item belanjaan. Saat saya beli baju anak merek terkenal sebanyak 4 item dengan total belanja Rp1 juta misalnya, maka saya bayarnya sebanyak Rp1 juta + Rp100 ribu plus biaya ongkir ke personal shopper tersebut.

Tahun 2016 silam, saya sempat menulis profil seorang personal shopper yang cukup populer di kalangan emak-emak, terutama untuk barang-barang fashion bayi dan balita. Tulisan saya bisa dibaca di sini. Kala itu, peluang cuan sebagai personal shopper atau penyedia jastip memang mulai menggeliat. Kehadiran WA grup semakin membuat banyak orang terpincut menggeluti bisnis ini. Bagi konsumen, memakai jasa jastip ini enaknya, kita bisa beli barang-barang oke, umumnya barang branded, dengan harga bersaing. Ga perlu capek keliling mal. Ga ikut pegel berdesakan berebut barang sale, hehehe. Belanja sambil rebahan.

Seiring semakin ramainya WAG, penyedia jasa titip beli alias jastip personal shopper ini akhirnya merambah pula menawarkan barang-barang lain sebagai reseller. Umumnya, ya, barang yang masih terkait kebutuhan rumah tangga dan ibu-ibu kayak baju, hijab, baju anak, mainan, buku, dan lain sebagainya. Nah, penawaran barang kebanyakan masih memakai mekanisme PO. Inilah yang dimanfaatkan oleh oknum jastip tipu-tipu seperti kasus yang sedang meledak saat ini.

Pengalaman saya…

Saya pernah beberapa kali belanja memakai jasa titip beli atau personal shopper. Beli baju anak di akunnya mbak Bianca, beberapa kali. Jastip buku Big Bad Wolf (BBW) yang buku-buku impornya terlalu susah untuk diabaikan, juga beberapa kali ikut. Mainan anak juga pernah. Sedangkan belanja dengan sistem PO, pernah juga tapi hanya 1-2 kali seinget saya. Saya juga pernah iseng open PO buku anak. Jadi, saya open PO sebuah barang dari teman yang juga open PO, hahaha.

Pengalaman belanja lewat jastip saya sejauh ini, hampir tidak ada yang mengenakan uang muka, sih. Jadi, tidak berbeda dengan belanja barang biasa sebenarnya. Kalau via Instagram, ya, saya tinggal nunjuk ingin dibelikan apa saja yang umumnya sudah dipampang di akun jastip tersebut. Kalau barangnya tidak ada, si jastiper akan pergi ke toko untuk mencarikan barang. Kalau barangnya sudah pasti ada, saya tinggal transfer uang belanjaan ditambah fee jastip dan ongkir.

Sedang saat saya belanja dengan sistem PO, saya pernah diminta uang muka, pernah juga tanpa uang muka. Biasanya yang meminta uang muka adalah karena nilai order kita cukup besar. Sedangkan yang tidak meminta uang muka, tak lain karena saya beli cuma dikit dan nominalnya tidak seberapa. Alhamdulillah berjalan mulus semua.

Personally, saya sebenarnya tidak terlalu nyaman belanja dengan sistem PO ini lebih karena saya tipikal pembeli “you get what you pay”. Jadi kalau belanja barang, keluar duit tapi barangnya baru datang beberapa minggu bahkan beberapa bulan di depan, rasanya kurang sabar, hehehe. Makanya saya tergolong jarang ikutan belanja dengan sistem PO ini.

Hati-hati beli barang PO, kenali jastip tepercaya

Prinsip mendasar dalam bertransaksi apakah itu transaksi jual beli langsung atau dengan sistem PO melalui sosok penyedia jasa titip beli, sebenarnya tidak jauh berbeda. Mencari penjual yang komunikatif, yang amanah alias tepercaya, servisnya oke, dan sebagainya, itu hal yang manusiawi. Namun, khusus untuk transaksi dengan sistem PO yang meminta uang muka apalagi meminta pembayaran penuh di depan, wajib banget hukumnya bagi kita agar lebih waspada dan jeli…

1. Kenali sosok penyedia jastip, kantongi identitas

Selama tidak memakai rekening bersama sebagai tempat bertransaksi (rekening bersama misalnya seperti di marketplace -ada pihak ketiga yang menengahi urusan jual beli), kita wajib tahu identitas orang yang kita ajak bertransaksi. Apalagi bila membeli dengan sistem PO, pastikan kita lebih dulu mengantongi informasi tentang sosok “lawan” transaksi kita. Kalau memungkinkan, minta copy identitas diri. Bila sulit sampai kesana, setidaknya kita perlu tahu identitas standar seperti nama asli, alamat rumahnya, dan sebagainya.

Berkaca pada kasus yang lagi heboh itu, ternyata si oknum di pucuk piramida itu identitasnya masih sumir. Kalau sudah bobol, jadi susah meminta pertanggungjawaban, kan…

2. Manfaatkan marketplace untuk bertransaksi

Nah, gimana kalau tahu hanya lewat media sosial? Susah juga, kan, minta identitas begitu? Mau langsung percaya karena follower-nya sudah ribuan? Hmm, bila masih skeptis dan berjaga-jaga agar jangan sampai terkena jebakan betmen, saya dan teman-teman biasanya minta transaksi di marketplace saja. Sekalian memanfaatkan promo dari marketplace, seperti gratis ongkir, cashback, diskon, dan lain-lain. Jadi, si penjual atau pemilik jastip bisa membuat akun barang di marketplace seperti Shopee atau Tokopedia, gitu.. bahkan bila mau sistem PO juga bisa, kok, lewat marketplace.

Dengan memanfaatkan marketplace, kita bisa meminimalisasi risiko gagal transaksi. Karena uang yang kita bayarkan ditampung dulu di rekening bersama di marketplace. Begitu barang sudah di tangan, baru uangnya diterima oleh si penjual. Aman, deh!

3. Skeptislah terhadap apapun yang “too good to be true”

Selalu ingat kata-kata ini: “If it seems to good to be true, it probably is…” Segala hal yang terlalu bagus, terlalu sempurna, terlalu wow, terlalu murah, terlalu enak, biasanya menyimpan hal yang perlu dicurigai, hihi. Ditawari barang dengan harga yang terlalu murah dari harga pasaran… kita tetap perlu kritis bertanya: kok bisa murah?

Kebanyakan pelaku penipuan itu memanfaatkan titik psikologis manusia yang memang memiliki sisi lemah. Kita punya banyak kelemahan sebagai manusia. Bila itu terkait dengan urusan perduitan, sisi lemah kita adalah “greedy”. Kita cenderung serakah: ingin barang bagus tapi maunya harga murah. Maunya banyak tapi enggan keluar banyak, hehe. Serakah. Ya, itulah salah satu sisi lemah kita sebagai manusia. Dengan menyadari sisi itu, kita bisa sedikit kritis ketika menghadapi penawaran-penawaran yang sepertinya too good to be true itu.

Oven yang biasanya harga sejuta lebih, kok bisa ditawarin cuma separo harga? Alasan reject pabrik juga bisa dipertanyakan, se-reject apa kok bisa dijual semurah itu?

Penipuan, apakah itu di ranah barang dapur ataupun di industri keuangan, mirip-mirip polanya. Yaitu, menawarkan produk yang terlalu bagus untuk menjadi produk yang masuk akal dengan memanfaatkan sisi lemah manusia yakni keserakahan.

4. Minta jaminan yang jelas

Membeli barang dengan sistem PO apalagi si penjual meminta full payment di depan, sudah sewajarnya kita sebagai pembeli meminta pula jaminan atau garansi pada si penjual, dong, ya… Pertanyaan yang harus dijawab, kan, gimana kalau pada waktu yang dijanjikan, barangnya tidak juga datang… sedangkan uang sudah dibayarkan? Mending bila itu uang sendiri, kalau uang yang dibayar adalah uang pembeli di bawah kita (karena kita bertindak sebagai reseller), tentu pertanggungjawabannya jadi lebih besar lagi karena menyangkut hak orang lain.

Sepercaya-percayanya kita pada lawan transaksi, bukan hal aneh, kok, kalau kita meminta garansi agar lebih nyaman dalam transaksi tersebut. Jangan naif mendasarkan diri pada rasa percaya saja. Urusan duit itu seringkali orang lupa teman, lupa sahabat, lupa kerabat (lha jadi nyanyi, wkk). Jadi, jangan segan meminta garansi bila sampai terjadi default atau gagal transaksi.

Garansi apa yang bisa diminta? Apa saja yang penting setara berharganya di mana itu bisa mengikat komitmen si penjual tersebut. Bisa berupa sertifikat deposito, BPKB, atau apapun itu yang penting berharga… “Duh, ga enak mba kalau minta garansi sampai segitunya.. kayak ga percaya kesannya…”

Well, better safe than sorry, honey…

Kalau nurutin rasa enggak enak, ya, siap-siap saja menanggung risiko bila sampai terjadi apa-apa. Sekadar mengingatkan, penyesalan itu datang di belakang. Kalau di depan, namanya pendaftaran, wkk.

Jadi, kira-kira itulah yang perlu kita cermati lagi ketika hendak bertransaksi dengan jastip atau bertransaksi dengan sistem PO. Waspada itu perlu tanpa harus paranoid. Karena pada akhirnya, uang kamu, ya, tanggung jawabmu. Kalau sampai tertipu, polisi mungkin bisa membantu mengusut bahkan menangkap si penipu itu. Namun, berharap uang akan benar-benar kembali, itu akan memakan waktu lama bahkan mungkin mustahil mengingat duit udah digarong si penipu… jadi siap-siapa aja kalau ujungnya “Sudahlah, ikhlaskan saja…”

Jakarta, Saya dan Seribu Cerita...

Lama sekali tidak menulis lagi di laman ini. Ada banyak hal terjadi dan berubah yang membuat waktu saya kini menjadi semakin sempit karena p...

Labels